32

1.2K 273 5
                                    

NOTE: DEAR LADY IVY EKSTRA EPISODE KHUSUS 6 SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA! Selamat membaca, teman-teman.

***

Kiriman bahan pembuatan ramuan tiba di kediaman Joa setelah tiga hari yang dijanjikan oleh Raja Eza. Berpeti tanaman baik yang kering maupun segar tertata rapi dan aman dalam peti kayu. Aku mulai mempertanyakan loyalitas Raja Eza demi beberapa botol ramuan. Bila dirupiahkan, mungkin sekitar lima ratus juta. Bisa juga lebih. Harga fantastis yang sanggup dikeluarkan Raja Eza. Dia mungkin tidak akan keberatan bila suatu hari nanti aku minta surat rekomendasi agar bisa mendirikan pabrik.

Jadilah selama beberapa hari aku sibuk di bengkel, sebutan bagi ruang kerjaku, membuat ramuan. Pertama, mempersiapkan bahan. Kedua, mulai mengolah. Ketiga, memastikan tidak ada orang yang berani mengusik kegiatanku mengaduk ramuan di dalam kendi. Keempat, mendinginkan ramuan.

“Nona, biarkan aku membantumu,” Anne menawarkan pertolongan. “Kau butuh istirahat.”

Aku melambaikan tangan. “Tidak perlu. Lagi pula, semuanya sudah selesai. Aku hanya perlu menunggu ramuan dingin. Kemudian menyaring, memisahkan ampas. Terakhir, memasukkan ke dalam botol.”

Untung aku menggulung rambutku membentuk sanggul lucu. Aha sanggul acak-acakkan. Beberapa anak rambut menempel di kening karena keringat. Sesekali aku berusaha menyeka kening menggunakan lengan, sekadar memastikan keringat tidak masuk ke mataku.

Jendela berada pada posisi terbuka. Angin segar sangat kubutuhkan. Jangan sampai ruanganku bau jamu. Tidak lucu kawan. Beberapa ekor burung mungil bertengger di jendela. Mereka memperhatikan kendi besar yang tengah mengepulkan asap tipis beraroma rempah. Salah satu dari mereka memilih kabur dan lenyap di balik rimbun pohon.

Aku mengaduk dengan segenap kekuatan. Kedua otot di tanganku pastilah telah terbentuk gara-gara kegiatan semacam ini. “Anne, apa tidak ada surat dari Igor?”

“Belum, Nona.”

Jawaban dari Anne membuat hatiku tidak enak. Kupikir Duke Joa berlebihan mengirim satu-satunya penerus Joa ke medan perang. Pasti Igor sibuk sehingga belum sempat menulis selembar pun surat.

“Mungkin aku perlu menulis surat.”

“Nona, ide bagus,” puji Anne. Sedari tadi dia duduk manis, sibuk merajuk.

Ada puluhan karya kerajinan buatan Anne. Mulai dari boneka sampai pembatas buku. Semua benda indah yang bila ada di dunia modern pastilah bernilai ratusan ribu.

“Anne, bisakah kau membuatkan diriku kantung lucu?” Sejenak aku beristirahat. Kupijat bahuku dengan cara mengepalkan tangan dan memukul pelan, sekadar berusaha mengusir pegal. “Kantung berhias bunga matahari? Oh, aku juga ingin jaket buku! Aku tidak ingin buku agendaku rusak gara-gara kotor!”

Rasa pegal telah sirna. Kini aku melanjutkan acara mengaduk menggunakan sendok kayu raksasa. Ramuan berwarna merah muda mulai meletup-letup. Suara letupannya tidak terlalu kencang. Justru aneh, mirip nyanyian kodok sawah.

“Nona, aku akan membuatkan kedua benda itu secara sempurna!”

“Akan kubeli, ya?” Sekuat tenaga aku mempercepat proses mengaduk agar tidak ada ramuan yang menempel di dasar kendi. “Sayang sekali kalau karyamu tidak dihargai dengan sepantasnya!”

“Nona, tidak perlu. Lagi pula, bukan sesuatu yang patut disombongkan. Ada banyak lady yang bisa merajut jauh lebih baik daripada diriku.”

Aku menggeleng seraya mendecih. “Jangan begitu. Tenaga dan proses berpikir kreatif pastilah tidak mudah. Setidaknya, izinkan aku berbuat sesuatu.”

Di dimensi asalku, negara republik tempatku berasal, jarang ada orang yang bekerja di area seni bisa hidup. Terlebih sistem yang ada tidak meindungi pekerja seni secara total. Karya bisa dibajak, diperjualbelikan dengan harga murah, tetapi pelaku seni yang memiliki ide tersebut tidak mendapat hasil dari jerih payahnya. Seperti beberapa pelukis yang meninggal karena suatu hal. Karya mereka mendadak dicari di pasaran, dijual dengan harga luar biasa, dan menjadi buruan.

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang