7

1.5K 343 22
                                    

Duke Res rajin menengok ke panti. Ibarat pejuang, pantang menyerah. Bisa saja memaksaku ikut, terlebih setelah memiliki sejumlah bukti yang menyatakan bahwa diriku memanglah putri kandung Duke Res. Hukum kerajaan akan menguatkan klaim Duke Res. Erica tidak bisa berkutik. Kalah.

Akan tetapi, aku memiliki satu celah. Panti yang kudiami berada di bawah naungan Duke Joa. Salah satu keluarga tertua di Kerajaan Enua. Bahkan anggota keluarga kerajaan pun tidak berani main-main dengan Joa.

Konon Joa mewarisi berkat dari peri. Keturunan Joa terkenal kuat. Andai ingin, Joa mampu menggulingkan pemerintahan dan mengambil alih takhta. Namun, sejauh ini belum ada satu pun keturunan Joa yang berniat menjadi kepala pemerintah. Mereka lebih memilih mengasingkan diri, menyembunyikan taring dan cakar, serta hanya muncul pada acara tertentu.

Berkat Joa, Duke Res tidak bisa menyeretku keluar dari panti. Itu sama saja dengan menantang Joa. Satu-satunya cara yang bisa Duke Res pilih ialah, meminta pertolongan keluarga kerajaan agar Duke Joa melunak. Setahuku hubungan antara Joa dan Res tidak dekat, tetapi tidak sampai taraf saling memusuhi ala keluarga Romeo dan Juliet.

Intinya, aku aman!

Meski begitu, tampaknya Erica tidak bisa melarang Duke Res datang berkunjung. Itu bahkan semakin membuatku kesal! Perpustakaan bukan lagi tempat nyaman. Lagi pula, mana bisa aku merasa senang ketika melihat wajah orang yang membuatku mati? Lupakan!

“Ivy....”

Duke Res berdiri di dekat pintu keluar. Aku baru saja selesai membaca petualangan dua sahabat dalam menemukan segentong emas. Terlalu asyik menikmati bacaan, lupa bahwa ada bahaya mengancam.

“Paman, hanya orang dekat yang boleh memanggil namaku!”

Rekan sepanti yang kebetulan ada di perpustakaan pun melirik kami. Mereka tersebar di beberapa titik. Ada yang duduk di depan jendela, bersantai di depan rak, dan adapula yang sedang naik tangga hendak mengambil buku di rak teratas. Di panti akulah anak termuda dan terkecil dan termengenaskan dan terkasihan. Iya! Aku borong semuanya!

“Ivy,” Duke Res menjulurkan tangan, hendak mendekat tapi aku langsung mundur, “kenapa kau tidak ingin bertemu ayahmu? Ayo pulang.”

“Aku tidak punya ayah,” ucapku dengan tegas. Jarak di antara kami tidak terlalu jauh. Duke Res hanya perlu melangkah dan dengan mudah memaksaku pergi. “Di sinilah tempatku. Bersama keluargaku.”

“Nak, kau punya kakak. Mereka menunggumu.”

Maksudnya pasti: menunggu membantaiku. Persis salah satu lagu dangdut yang pernah kudengar. Cukup sekali aku merasa kegagalan cinta. Nah muak!

“Paman, berbohong akan membuat hidungmu maju lima senti.”

Tidak perlu bicara panjang lebar dengan Duke Res. Percuma. Lekas kuraih tangan seorang bocah perempuan yang usianya kira-kira dua belas tahun. “Antar aku ke gerbang naga,” perintahku kepadanya.

Dia hanya mengerutkan alis, berusaha memahami ucapanku. Salah satu anak pun berteriak, “Maksud Ivy ke kamar!” Barulah dia paham. Ia mengangguk, membalas genggaman tanganku, dan mengantarku pergi melewati Duke Res.

Sesuai dugaanku, Duke Res mengekor dan masih saja berusaha membujukku. Kami terlihat konyol! Memangnya dia sedang bermain ular panjang melingkar pagar berputar-putar, huh?

“Jangan memaksa!” teriakku saat kami hampir sampai ke kamar. “Di sini area anak-anak. Orang dewasa dilarang masuk. Kalau melanggar, pantatnya bersinar terang!”

Duke Res membatu. Setidaknya dia tidak berani mengikuti dan berhenti merecokiku.

Rasakan!

***

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang