Tinggal di panti jauh lebih baik daripada bertahan hidup di kediaman utama maupun pondok milik Belinda. Di sini aku bisa makan tiga kali sehari, tidur di ranjang, mengenakan pakaian bersih, belajar, dan tidak mendapat perundungan. Hebat!
Anak-anak yang berusia di atas sebelas tahun bertugas sebagai kakak-kakak baik hati. Mereka membantu penghuni yang mungil, memastikan tidak ada yang berulah, dan mengajarkan junior perihal bertanggung jawab terhadap tugas masing-masing.
Sekalipun tinggal di panti bintang lima (anggap saja begitu), semua anak tetap diberi tugas. Semisal, membantu memasak, membersihkan, ataupun mencuci. Kami jadi memiliki ikatan kekeluargaan antara satu sama lain. Ha! Aku belum merasa punya ikatan semacam itu sebab terakhir kali memercayai orang lain, diriku berakhir diserang monster.
Adapun hal lain yang kuketahui ialah, anak-anak yang berusia enam belas tahun akhirnya meinggalkan panti. Sebagian mendapat beasiswa sebagai kesatria, yang lain peneliti, atau bekerja sesuai dengan minat masing-masing. Adapula yang setelah bekerja di luar sana pun memilih kembali dan membantu Erica mengelola panti.
Sudah sekitar satu bulan berada di sini. Aku cukup terkenal karena pengasuh yang bertanggung jawab mengurusku, seorang gadis delapan belas tahun, berteriak histeris kala melihat semua bekas luka yang Belinda buat di tubuhku.
Catatan penting. Kerajaan Enua merupakan salah satu kerajaan makmur yang menjamin kesejahteraan rakyat. Jarang ada kekerasan dalam rumah tangga maupun anak terlantar. Hasil bumi dikelola sebaik-baiknya demi kesejahteraan bersama; baik kaum ningrat maupun jelata. Buruh mendapat jaminan keselamatan saat kerja dan ... intinya, aku masuk kasus pengecualian.
Hih mereka tidak melihat daerah pinggiran saja. Beberapa orang dewasa tidak segan menendang anak mereka. Bahkan saat Belinda memukul diriku menggunakan rotan pun bisa dipastikan jarang ada yang mau menengahi dan menyelamatkanku. Mereka butuh Belinda.
Untuk apa?
Hahahaha Belinda menjual sejumlah ramuan pemikat. Bila petugas kerajaan tahu, tamatlah Belinda! Cepatlah buru Belinda! Aku tidak sabar melihatnya dipenjara seumur hidup! Eh buang-buang pajak! Buang saja ke hutan agar jadi buruan beruang!
“Hihihihi,” aku menertawakan Belinda yang tengah menjadi bulan-bulanan. Lucu sekali.
“Ampun, si kecil sedang bersemangat, ya?” Erica menepuk pelan pipiku. Ha semua orang akhir-akhir ini suka mencolek pipiku. “Apa kau bersemangat menyambut festival anak-anak?”
Festival anak-anak dirayakan setiap akhir musim semi. Semua anak diwajibkan menuju kuil, meminta berkat, dan mengikat rambut maupun pergelangan tangan dengan pita putih bertuliskan doa-doa suci.
Hari ini kami berencana mengunjungi kuil. Semua anak di bawah sepuluh tahun harus ikut. Kami mengenakan pakaian terbaik. Aku pun memakai pita putih dan hahahaha siapa yang memiliki ide menguncir rambutku menjadi dua bagian? Apa mereka pikir rambutku bisa jadi antena?
“Siap!” Aku tidak tertarik! Biarkan aku makan kue yang disediakan pendeta. Konon semua anak boleh menikmati kudapan di sana.
Erica memanggil seorang anak perempuan yang kira-kira berusia sembilan tahun. Dia memiliki rambut berwarna jahe dan suka sekali tersenyum. Ia menggandeng tanganku, membawaku keluar panti.
Kami naik kereta kuda. Berjejalan! Ada anak yang secara sengaja mencium pipiku! Bocah itu! Akan kuadukan kepada Xar saat dia mampir nanti. Ini namanya pelecehan!
Sampai di kuil pun wajahku masih saja terasa lengket. Iler. Liur! Ini jelas bukan air liur ajaib!
Pengasuh dari panti mengeluarkan kami dari kereta kuda. Satu per satu. Kami semua menganga menatap kuil yang begitu megah. Patung manusia bersayap berjajar di setiap pilar. Mereka tampak hidup, seolah seniman berhasil menangkap jiwa dan mengembuskannya ke dalam pualam. Lantai marmer tampak mengilap. Pohon-pohon scymore, cemara, pinus, dan willow tumbuh subur di sekitar bangunan.
Kulihat beberapa pendeta mulai menyambut anak-anak. Berbeda dari kami, anak panti, anak-anak bangsawan mengenakan pakaian mewah berhias permata.
Hmmm tunggu dulu! Aku tidak mungkin bertemu anak-anak Duke Res, bukan? Amit-amit! Pahit!
Kudorong pikiran buruk sebelum memengaruhi suasana hatiku. Pendeta memberi intruksi kepada pengasuh agar kami bersabar, menunggu anak-anak yang pertama tiba mendapat pemberkatan. Maka dari itu, pengasuh pun mengajak kami menunggu di sebuah taman yang telah ditunjuk oleh pendeta. Bila sudah tiba waktunya, pendeta akan memanggil kami.
Teman-temanku sibuk mengagumi ikan di kolam. Pengasuh mewanti-wanti agar kami tidak mencelupkan jemari ke dalam kolam. Namun, tentu saja larangan merupakan tantangan. Ada saja anak yang menggoda ikan dan itu membuat pengasuh kelabakan.
Aku dengan sabar menyaksikan adegan konyol anak kecil menangis karena tidak ingin menunggu. Sama seperti kami, mereka pun menunggu giliran.
“Coba lewat jalur VIP,” celotehku sembari menatap sengit sekelompok anak bangsawan yang melenggang santai menuju kuil.
Dunia memang tidak adil. Iya, begitulah dunia. Buktinya aku menjalani mati hidup mati hidup sekian kali. Apa ini artinya sebentar lagi ada piring cantik menantiku?
“Awas! Minggir!”
Terdengar gongongan. Anjing-anjing yang entah dari mana asalnya menyerbu, mengincar siapa pun, dan menciptakan kepanikan. Itu seharusnya tidak bisa terjadi! Ada penjaga! Bagaimana bisa kekacauan tercipta?
Orang berlari, riuh. Anjing-anjing mengejar, menyalak. Pengasuh mencoba menyelamatkan anak-anak, sementara aku tentu saja memilih bersembunyi di bawah bangku terdekat. Hei aku kecil. Nanti kena injak!
Kupikir di bawah bangku merupakan tempat teraman. Salah, sih. Salah besar.
“Dasar anak biadab!”
Belinda menatapku dengan pandangan sengit. Dia menarik pergelangan tanganku, menyeretku keluar, dan membawaku pergi. Anehnya anjing-anjing itu seolah melindungi Belinda. Tidak ada satu pun yang membiarkan penjaga menyentuh Belinda.
Aku meronta, berusaha memukul, menendang.
Percuma. Belinca justru menarik kerah bajuku, kemudian menghantamkan kepalaku ke sisi bangku. Pelipis berdenyut. Tercium aroma anyir. Pandangan mataku berkunang-kunang dan rasanya aku akan mati!
“Kau seharusnya tidak membuat ibumu kecewa.”
Setiap kata yang Belinda ucapkan kepadaku seperti duri beracun. Tubuhku lunglai, kehilangan daya. Belinda menyeretku menyeberangi taman. Aku tidak tahu bahwa dia bisa begitu kuat. Kukira levelnya sebatas F, penyihir peramu atau apalah. Ternyata....
Hahaha salah perhitungan. Belinda berani menantang semua orang, terutama di kuil, secara terang-terangan. Itu artinya dia memiliki rencana bagus.
Anjing-anjing mendengih saat kesatria bermunculan. Mereka menebas anjing, menyingkirkan pengganggu.
“Kau ditahan!”
Alih-alih ciut, Belinda justru tertawa. “Kalian tidak sadar tengah berhadapan dengan siapa, huh?”
Seorang kesatria berusaha maju, tapi Belinda melemparkan debu yang membuat pria itu meringkuk di tanah. Hanya dalam hitungan detik, pria itu berubah. Sama seperti para anjing.
“Singkirkan mereka.”
Pria itu menerjang, menyerang rekannya.
Tidak sampai di situ. Belinda pun menaburkan bubuk yang mengenai sembarang orang. Mereka semua diserang kegilaan dan dengan mudah dimanfaatkan oleh Belinda.
Darah membuat mataku pedih. Aku kesulitan bernapas. Belinda sama sekali tidak membiarkanku berontak.
“Dasar anak jahanam!” Belinda menamparku. Di sekitar kami ada neraka ciptaannya, tapi ia tidak peduli dan memilih menyerangku. “Akan kuberi kau pelaja—”
“Hentikan!”
Di hadapan kami ada sosok-sosok baru. Di antara mereka berdirilah pria yang ingin kutendang ke laut!
***
Selesai ditulis pada 9 September 2024.***
Huahahahahahahahahahahahaha!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...