33

1.1K 265 4
                                    

“Sampai jumpa!”

Kulambaikan tangan, melepas kepergian para peri. Mereka meluncur melalui jendela, meninggalkan jejak debu berwarna perak dan merah muda. Sungguh elok para peri ini. Tawa riang berkumandang, sekalipun sosok mereka telah lenyap di antara rimbun tanaman di luar sana.

“Baguslah,” kataku kepada diri sendiri sembari menepuk telapak tangan, “setidaknya aku bisa mengirim bantuan untuk Igor.”

Salep buatanku bisa menutup luka dalam hitungan detik. Resep yang kudapat dari salah satu koleksi buku milik Penyihir Dorga. Luka ringan semacam gores, tentunya. Beda dengan luka tebas. Luka semacam itu butuh lebih dari sekadar salep ajaib. Penyembuh, penyihir, maupun pendeta dengan berkat sucilah yang paling dibutuhkan oleh mereka yang terluka.

Anne datang membawa troli berisi puding, kue, dan teh. Sesuai dugaanku, peri menjahili penghuni Joa. Sihir mereka tidak berlaku bagi binatang, mungkin. Sebab burung-burung dan serangga masih bisa bergerak leluasa. Haaa bisa juga hanya manusia yang mereka usili di sini.

“Koki menyiapkan teh buah kesukaanmu, Nona.”

Dengan cekatan Anne memindahkan muatan troli ke meja. Satu demi satu kudapan kesukaanku pun terhidang, siap kusantap.

Lekas kuempaskan diri ke kursi. Puding menjadi sasaran pertama. Setelah berhasil menikmati sepiring puding, kuputuskan memindahkan ramuan ke dalam botol-botol mungil seukuran genggaman tangan. Botol itu berbentuk seperti tabung percobaan ilmiah, hanya saja versi mungil dan tidak mengerikan.

Anne pun ikut membantuku mengisi setiap botol hingga terkumpul sekitar tiga puluh buah. Jumlah yang lumayan. Tinggal kupindahkan ke peti khusus dan mengirimnya ke istana.

“Nona, kau luar biasa!”

“Lumayan, Anne. Lumayan. Lagi pula, peramu di menara justru lebih mahir daripada diriku. Mereka bisa membuat pil pengubah suara. Lain kali akan kucoba. Sepertinya menarik.”

Terdengar suara ketukan di pintu. Anne menyambut kehadiran pelayan perempuan. Dia mengabarkan bahwa ada tamu yang ingin menemuiku. Pasti bukan dari Res. Sulit masuk ke Joa tanpa persetujuan Duke. Maka, hanya ada satu kemungkinan.

Aku tidak perlu berganti pakaian. Biar saja si tamu tahu bahwa aku tidak peduli dengan kedatangannya. Lagi pula, dia tidak boleh bersikap kurang ajar. Semoga Duke, yang telah menemuinya terlebih dulu, melakukan sesuatu.

Di ruang tamu kulihat Duke Joa terlihat seperti hendak mencacah seseorang. Terutama, tamu yang duduk di seberang meja.

“Duke, ada yang bisa kubantu?”

Tidak sudi menyapa si tamu. Tidak sudi!

“Oh, Ivy,” kata Duke Joa, kaku, “Pangeran Ray mendadak ingin bertemu denganmu.”

Oknum yang paling kubenci setelah Res tengah duduk manis. Dia mengenakan setelan mewah bernuansa putih dan emas. Jenis warna yang tidak akan kupilih sembarangan karena mudah kotor.

Ray langsung mengalihkan pandang kepadaku. Aku tidak bisa membaca ekspresi di wajahnya yang selalu terlihat datar. Barangkali hidup di keluarga politisi membuat beberapa orang memilih berlatih mengontrol ekspresi wajah. Tidak bisa kusalahkan, sih. Penting sanggup menyembunyikan suasana hati dalam kondisi maupun situasi apa pun.

Di belakang Ray berdiri dua orang kesatria kerajaan. Mereka mengenakan seragam dan keduanya tengah membawa kotak berhias pita merah. Mungkin Ray baru saja datang dari berbelanja dan memutuskan mampir ... itu konyol! Tidak mungkin!

“Saya ucapkan salam kepada Pangeran,” aku memberi hormat. Basa-basi. “Bila ramuan yang Anda inginkan, maka besok saya akan mengirim peti pertama ke istana.”

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang