Perjalanan berlanjut. Medan yang kami tempuh semakin tidak bersahabat; berlumpur, kadang bersinggungan dengan monyet pemarah, tanaman berduri yang bila kulit bersentuhan dengan sedikit saja bagian darinya akan terserang gatal, pepohonan dengan akar besar jalin-menjalin pun makin melambatkan langkah. Dengan kata lain, tidak mudah!
Akan tetapi, aku tidak merasa terlalu rugi. Beberapa kali aku menemukan tanaman obat. Cukup ambil benihnya saja, nanti akan kucoba tanam. Andai berhasil, bisa kumanfaatnkan untuk bahan kosmetik. Bila gagal.... Hmmm tidak boleh gagal. Demi uang semua jalan dan rute harus kutempuh! Enak saja melepaskan uang!
“Sebentar lagi, Ivy,” Duke Joa menyemangati. “Kita hanya perlu menemukan pohon berkulit putih, maka tujuan kita semakin dekat.”
Aku tidak lekas membalas. Pertama, napasku putus-putus. Kedua, keringat bercucuran. Sesekali aku menyeka kening dengan lengan baju demi menghindarkan mataku kena sengat keringat. Pedih!
“Peri suka bersembunyi,” sindirku sembari mengatur napas. “Sungguh menyenangkan.”
“Karena manusia senang memburu mereka,” Duke Joa menjelaskan. “Sekalipun Enua memiliki aturan ketat, tapi beberapa manusia lebih suka mengikuti nafsu daripada logika.”
Mendadak hati nuraniku kena cubit. Aku akui diriku bukan orang baik. Ada banyak hal yang kuinginkan. Padahal tidak baik mengikuti nafsu duniawi, tetapi yang namanya keserakahan kadang bisa berubah wujud. Dampak kemiskinan di kehidupan lamaku begitu hebat. Aku tidak ingin mengalami penderitaan gara-gara kekurangan uang. Berada dalam kubangan kemiskinan benar-benar tidak tergambarkan. Kesengsaraan berlapis, segalanya terbatas, dan mimpi besar harus terkikis.
Aku mendongak, menatap jalinan ranting yang menamengi kami dari pancaran mentari. Beberapa burung mungil dengan jambul kuning sibuk berceloteh. Mereka tidak peduli ada rombongan manusia. Lalu, kualihkan pandang pada pohon. Tanaman rambat tumbuh subur, merayapi permukaan pohon dengan daun-daun mungil dan bunga yang bentuknya mirip terompet. Ada seekor kadal seukuran telapak tangan. Kadal itu menjulurkan lidah, mata merahnya mengawasi manusia.
“Ivy, tinggal melewati barisan pohon maka kita selesai.”
Seperti yang Duke Joa ucapkan, kami berhasil lewat.
Tidak seperti vegetasi apa pun yang baru saja kami lihat. Di sini, tepat di hadapan kami, berjejer pepohonan putih dengan sejumlah daun emas. Mirip pohon yang ada di taman Joa. Hanya saja pohon yang satu ini begitu besar, tinggi, dan daunnya mirip sirih.
Sejauh mata memandang hanya ada tanaman putih berdaun emas. Udara di sekitr sini pun jauh lebih ringan dan harum. Aku tidak mengendus aroma lumpur dan jamur. Hanya.... Keharuman.
“Kenapa?”
Kesatria yang ada di depan melaporkan kepada Duke Joa bahwa mereka tidak bisa masuk. Kesatria yang lain pun mencoba. Namun, hasilnya sama saja. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bisa masuk.
“Simpan senjata kalian,” Duke Joa memberi komando. “Mungkin kita tidak diizinkan mendekat karena penghuni hutan merasa terancam.”
Semua kesatria pun menyembunyikan senjata. Namun, saat bersiap masuk selalu saja gagal. Seakan-akan ada tembok tidak terlihat yang menggagalkan mereka.
Duke Joa mencoba masuk. Dia langsung didorong mundur oleh sesuatu. Entahlah. Keningnya berkerut dan kupikir dia berusaha menahan sumpah serapah. “Tolong biarkan kami masuk,” ucapnya sembari menggeretakkan gigi.
Tidak ada balasan.
Keheningan menguasai. Kami saling pandang, mencari jawaban.
Mundur? Yang benar saja! Aku butuh jawaban atas kutukan kematian dan kehidupan yang menimpaku. Sejauh ini lantas mundur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...