Aku merasa populasi sayuran yang dihidangkan di piringku bertambah. Tunggu dulu. Bukan sekadar bertambah, melainkan berkembang biak!
“Ivy,” tegur pengasuh yang sedari tadi menemani anak-anak sarapan, “jangan sisakan.”
Sebagai orang dewasa yang belajar menghargai semua makanan, aku tidak keberatan makan sayur apa pun. Namun, beda cerita bila sayuran yang masuk ke perutku jauh lebih banyak daripada protein!
“Ivy....”
Anak-anak yang lain sibuk menikmati makanan. Mereka tidak terganggu dengan makanan apa pun yang tersaji di piring. Berbeda denganku yang semakin ngeri karena sadar potongan wortel dan tomat milikku tampak gemuk.
Setelah mempertimbangkan antara menikmati hidup atau protes, aku memilih makan. Tidak baik pilih-pilih makanan. Saat bersama Belinda, bisa makan tomat tiga biji pun terbilang bagus.
Hmm asam! Tomat punyaku asam sekali rasanya. Aku sampai memejamkan mata, bergidik karena tingkat keasaman si tomat di luar dugaanku. Anak-anak tertawa melihatku berjuang menaklukkan tomat. Pengasuh pun tidak banyak membantu. Dia senyam-senyum seolah penderitaanku amat layak ditonton olehnya.
Ini semua pasti gara-gara semalam! Erica sedang menghukumku.
Aku teringat ekspresi Erica kala itu. Persis pemilik kucing yang menangkap basah peliharaannya berusaha memangsa burung perkutut milik tetangga. Jangankan menengok si tamu yang ada di ruang kerja, Erica telanjur menggendongku menuju kamar.
“Berat sekali menjadi anak kecil,” gumamku di sela-sela kunyahan.
Usai menandaskan sarapan, kami semua—anak-anak—diperkenankan mengikuti kegiatan harian. Aku ikut kelas sejarah bagi pemula. Tidak banyak hal menarik selain riwayat saling bunuh yang dilakukan oleh anggota kerajaan demi sebuah takhta. Cukup menarik. Sayang pengajar tidak memberi tahu kami metode yang digunakan oleh masing-masing pelaku ketika menyingkirkan pesaing.
Sianida? Sihir hitam? Monster? Sebut saja dari ujung sana sampai sini, keanekaragaman metode sungguh akan membuat siapa pun terperangah.
Setelah makan siang, aku langsung kabur ke taman lain. Waswas andai Duke Res maupun Elvan memilih muncul dan menggangguku.
Aku sengaja membawa buku tulis dan pena. Tidak lupa meluncur ke tempat persembunyian. Tepatnya, di bawah naungan pohon apel. Ada banyak buah matang layak makan yang masih menggantung di ranting. Sebagian jatuh dan telah menjadi incaran pengerat.
“Sempurna!”
Lekas kutulis cerita apa pun yang menurutku menarik. Rencana cadangan. Akan kuterbitkan ceritaku di koran, lalu nanti uangnya kugunakan untuk pergi ke luar negeri. Enua berisi ranjau! Pengalaman mengajarkanku agar memilih kerajaan lain yang tidak ada satu pun karakter penting!
“Memang paling benar adalah mengutamakan keselamatan di atas kepentingan apa pun.”
Itulah prinsipku!
***
Anak-anak mengajakku main kejar-kejaran.
“Ivy, kejar aku!”
“Ayo, Ivy! Cepat!”
“Kenapa, Ivy? Aku ada di sini!”
Katakan itu pada dua kakiku yang pendek! Semua anak lincah seperti anak rusa, sementara aku lebih mirip serigala ompong kekurangan gizi! Tidak ada satu pun anak yang bisa kutangkap. Mereka bahkan sengaja mengurangi kecepatan, tapi saat hendak kutangkap justru kabur.
“Ivy, cepat!”
Siapa aku? Ada di mana aku? Kenapa aku di sini?
Napasku terengah-engah, keringat membasahi tubuh dan pasti sekarang bau badanku sungguh luar biasa wangi semerbak. Harum sekali hingga membuat seekor kucing tumbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...