40

1K 240 10
                                    

Aku tidak bisa tidur nyenyak. Membayangkan Duke Res muncul amat ampuh mengusir kenyamanan dalam hidupku. "Ini tidak akan mudah," gerutuku sembari memaksakan diri menelan roti isi. "Tidak mudah."

Usai bersantap, aku keluar dari tenda. Semua orang tampak bersemangat menyambut kegiatan membantai monster. Kulihat beberapa kesatria bersiap; menajamkan pedang, merapikan zirah, dan mengecek satu sama lain. Mungkin hanya pelayan dan aku sajalah yang mengenakan pakaian berbahan ringan.

Semua kesatria memakai zirah berat. Ini menandakan, menurutku, pertempuran tidak sehat. Maksudku dengan pertempuran tidak sehat ialah, akan ada adegan bantai berdarah-darah. Luar biasa mengurangi selera makan.

"Semoga aku tidak perlu bertemu dengan monster," ucapku kepada diri sendiri.

Kupastikan barang penting tersimpan rapi dalam ransel mungil milikku. Tidak banyak benda yang kubawa. Hanya beberapa ampul ramuan, pelples, jurnal, dan alat tulis. Rute yang akan kuambil nanti berbeda dengan para kesatria pembantai monster. Aku hanya akan meneliti, membuktikan dugaan. Tidak ada agenda memburu monster.

"Mungkin perlu menemui Igor...."

Aku bermaksud pindah secepat mungkin. Namun, dasar sial. Dari arah berlawanan kulihat ada rombongan lain. Kelompok yang baru saja tiba di perkemahan. Tidak sulit menebak asal mereka. Ada lambang keluarga Res pada bendera dan sejumlah zirah. Pemilik Res pun, Duke, berdiri di antara mereka.

Duke Res mengedarkan pandang, seperti mencari sesuatu, lalu pandangannya berhenti ... tepat ke arahku. Kedua matanya melebar, senyum terkembang, dan dia bergegas menghampiriku.

"Putriku!"

Dalam balutan zirah, Duke Res terlihat mirip kesatria dalam dongeng. Tidak mengherankan Belinda begitu tergila-gila ingin merebut hati Duke Res. Wajar, tapi tidak perlu sampai mengesampingkan moral.

"Aku bukan putrimu, Paman," koreksiku dengan nada suara datar. "Ayah Joa belum muncul, jadi sebaiknya Paman minggir."

"Nak, Ayah menyesal atas apa pun yang pernah terjadi. Kenapa kau tidak bersedia bergabung bersama kami, keluargamu?"

"Karena keluargaku ada di sini, bersamaku. Joa telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Paman, sudahi saja permainan 'aku ayahmu, Nak' ini. Omong-omong," aku menunjuk Elvan yang baru keluar dari tenda, "dia anakmu."

Elvan, oknum yang menjadi topik pembicaraan, sedang menguap. Astaga lebar sekali mulutnya. Dia bahkan tidak peduli pada tatapan geli yang diberikan oleh kesatria lain. Sesekali dia menggaruk kepala, kemudian melakukan peregangan tangan. Terus terang zirah tidak membantunya terlihat keren.

"Dia kakakmu," Duke Res menimpali. "Kenapa kau ada di sini, Nak? Apa Joa sudah gila? Seharusnya kau ada di kota, jauh dari monster. Tempat ini berbahaya."

Kuketuk pelipis dan tidak lupa kupamerkan seringai keji. "Ibuku jauh lebih berbahaya daripada monster. Oh ya, aku datang ke sini bukan untuk berburu."

Tidak perlu menjelaskan detail rencana. Duke Res tidak penting.

"Nak, kapan kau bersedia menerima keluargamu?"

Kugosok tengkuk yang mendadak terasa dingin. "Selamanya," jawabku, tegas. "Aku tidak ingin menjadi bagian dari Res. Apa Paman tidak bisa menghargai pilihanku?" Langit di atasku menampilkan kumpulan awan putih gemuk. Persis sekelompok domba. "Lagi pula," aku menambahkan, "aku merupakan putri seorang wanita sinting. Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab atas eksistensiku. Cukup usahakan mengurung Elvan agar tidak menggonggong setiap kali kami bersua. Itu merepotkan."

Kuputuskan cukup bicara dengan Duke Res. Aku tidak mau suasana hatiku makin hancur.

Dingin. Aku merasa ada bagian dalam diriku yang membeku. Sikapku memang kurang ajar, tapi pengalaman mengemis cinta dari Res ampuh membuatku makin batu. Mereka yang sekarang memang berbeda dengan mereka yang hidup di masa sebelumnya. Namun, rasa sakit yang tertinggal tetaplah besar. Aku tidak sanggup menampung kekecewaan lainnya dari Res.

Kupercepat langkahku menuju tenda Duke Joa. Hanya dia satu-satunya orang yang berani melawan Duke Res.

"Nak, tolong biarkan ayahmu berusaha memperbaiki keadaan." Duke Res ikut berjalan di sampingku. Dia bahkan tidak kesulitan mengikuti kecepatanku. Mudah sekali baginya berpindah sembari memakai zirah. "Ayah tidak paham. Nak, Ayah berusaha memberimu apa pun. Apa pun," tegasnya, "asal kau memberi kami kesempatan."

Denyut nadiku makin cepat, membuat dadaku sesak. Mau tidak mau aku teringat segala ucapan yang pernah mereka ucapkan kepadaku. Apa aku tidak pernah berusaha memahami mereka? Berusaha sekeras mungkin hingga mengabaikan perasaanku sendiri. Aku bahkan tidak peduli bahwa diriku sendiri perlu mendapat kasih sayang.

"Kau anakku," katanya, "sampai kapan pun."

Pucuk dicinta ulam tiba! Duke Joa keluar dari tenda bersama Igor. Ekspresi Duke Joa amat masam, sementara Igor tidak memperlihatkan apa pun. Begitu mereka berdua melihat kedatanganku, secara serempak keduanya menampilkan wajah cemberut.

"Apa kau tidak bosan berusaha merebut anak orang lain?" Duke Joa berjalan, mendekat, dan mulai membimbingku agar bersembunyi di belakangnya. "Kita berdua telah mencapai kesepahaman, atas dasar perintah Raja, bahwa Ivy menjadi bagian dari Joa."

"Kau dan akal licikmu," tuding Duke Res.

"Aku dan kecerdasanku," koreksi Duke Joa. "Sungguh menawan. Oh ya, kau datang ke sini atas perintah Raja, bukan? Jadi, selesaikan tugasmu. Jangan ganggu Ivy dan pastikan monster tidak berhasil masuk ke pemukiman warga."

Tidak ada gunanya mendengarkan perdebatan kedua duke. Aku memilih meraih tangan Igor, mengajaknya menjauh dari pertengkaran.

Igor menuruti keinginanku. Kami menjauh, masuk ke tenda.

"Lihat." Aku meletakkan ransel di meja. Kuambil beberapa ampul yang menyimpan cairan berwarna biru muda. "Coba kau gunakan ramuan ini," kataku sembari menyerahkan ampul kepada Igor. "Bila dugaanku benar, seharusnya ramuan ini manjur."

"Kapan kau membuatnya?" Igor mengamati ampul seukuran ibu jari. Senyum kagum masih melekat di wajahnya. "Layak dicoba, Ivy."

"Itu hasil dari percobaanku dengan peramu," aku menjelaskan. "Di menara ada seorang peramu yang membawa tanaman aneh. Bunga! Iya, bunga pemakan daging. Bunga tanaman tersebut besarnya hanya sekepalan tangan, tapi sangat mematikan. Dia memiliki lidah panjang. Lidah itulah yang digunakan untuk menangkap mangsa. Tepatnya, katak dan tikus yang ada di menara."

"Aku bisa bayangkan kekacauan di sana."

"Tanaman ini hobi mengamuk," jelasku dengan tampang berkerut, sesak mengingat pengalaman tidak menyenangkan. "Dia tidak puas makan dua ekor tikus. Selalu mengincar makhluk lain. Masalahnya," desahku dengan segenap beban, "lidahnya beracun. Makhluk yang kena cambuk akan lumpuh. Di tikus dan sebangsanya? Mematikan. Pada manusia? Cukup merepotkan mati rasa selama beberapa saat."

Igor memasukkan ampul ke dalam kantong mungil dan mengikatnya di dekat sabuk pedang.

"Jadi," ucapku melanjutkan, "aku berusaha mencari solusi. Ramuan ini hanya perlu dibalurkan ke pedang dan senjata. Efeknya bertahan selama ... emm tergantung jenis monsternya."

"Bakatmu makin luar biasa," pujinya. "Aku takut Raja akan mengganggu pernikahan kita dan...."

Aku tidak mau dengar!

Astaga! Bisa-bisanya dia merayu? Tolong kasihani jantungku!

Aku belum siap!

Lekas aku pura-pura batuk. "Igor, mungkin kita perlu mengecek Duke? Aku takut mereka terlibat pertengkaran."

"Oh tidak perlu." Igor keluar, memamerkan dua manusia yang tengah berkelahi menggunakan pedang. "Mereka sudah mulai."

Bagaimana Igor bisa tahu secepat itu?!

***
Duke Res: "Licik."
Duke Joa: "Aku cerdas!"
Duke Res: "Pantas saja tidak ada lady yang bersedia menjadi istrimu."
Duke Joa: "Setidaknya aku bukan buaya darat."
Duke Res: "Aku setia."
Duke Joa: "Katakan itu pada rumput bergoyang."
Beberapa pelayan wanita: "Jantungku! Mengapa ada dua pria tampan bersama?!"

... dan novel terlarang pun mulai ditulis oleh beberapa oknum.

***
Selesai ditulis pada 1 November 2024.

***
Tadi hujan deraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaas! Sekarang udara sejuk dan nggak gerah. Hihihi senang suasana malam tenang dan nggak berisik.

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang