26

1.1K 285 7
                                    

Aku tidak bisa tidur. Sungguh aneh. Tidak biasanya mataku sulit terpejam. Sebagai anak-anak kebiasaan tidur milikku terbilang bagus. Jarang kesulitan tidur. Sekalipun berada di bawah siksaan Belinda pun tubuhku masih bekerja normal dalam mengatur waktu tidur dan kerja.

Sekarang posisiku beda.

Kupandang langit-langit, mulai menghitung domba khayalan, dan berharap bisa tidur secepatnya.

Akan tetapi, kantuk tidak kunjung tiba. Kamarku yang pencahayaannya telah padam pun tidak cukup membuaiku menuju alam mimpi.

"Kurang tidur bisa menghambat pertumbuhan," gumamku sembari meringis. "Tidak bagus."

Di saat aku sedang mempertimbangkan meminta tolong dibuatkan segelas susu hangat atau berusaha memejamkan mata dan berharap bisa langsung tidur, kudengar suara jendela yang tengah dibuka.

Sontak kewaspadaan pun menerjang. Kuabaikan keinginan tidur, menyingkirkan selimut, dan berusaha merangkak turun dari ranjang.

Jendela telah terbuka. Tidak ada tanda-tanda didobrak. Seolah akulah yang sengaja membiarkan jendela dalam keadaan terbuka.

"Aneh," ucapku pada diri sendiri.

Kusangka akan melihat pembunuh, tetapi di jendela tidak ada apa pun.

Angin malam bertiup, memasuki ruangan, dan membuat kulitku merinding. Kugosok lengan, berharap bisa mengusir gigilan yang mulai merambatiku seperti sulur tanaman beracun.

Kuseret kursi, menempatkannya tepat di bawah jendela. Aku pun naik ke kursi. Jangan sampai nyamuk masuk dan menghantui tidurku yang tidak berkualitas ini. Susah payah kutarik jendela hingga menutup. Kali ini kupastikan terkunci.

"Beres!"

Bukan pekerjaan mudah, tapi aku berhasil. Kukembalikan kursi ke tempat semula. Saatnya istirahat. Itu pun kalau berhasil.

Belum sempat aku naik ke ranjang, kudengar suara derit engsel.

Mulutku menganga begitu menyaksikan jendela terbuka lagi. Bel di kepalaku pun berdering, memberi peringatan. Aku pun bergegas lari menuju pintu. Dengan segenap kekuatan kucoba menarik pintu agar bisa terbuka. Namun, benda itu tidak merespons. Sama sekali!

"Anne! Duke! Siapa pun! Tolong!"

Teriakanku pastilah bisa memancing seseorang agar lekas bergerak. Aku memukul pintu, menendang, dan berteriak seolah kamarku kebakaran. Namun, nihil. Tidak ada satu orang pun yang menyahut.

"Hihihi lucu sekali."

Seluruh tubuhku seolah diembus angin sedingin es. Aku mendengar suara. Bukan berasal dari satu orang, melainkan banyak orang. Seakan ada paduan suara yang bersatu mengodaku dengan candaan tidak lucu.

"Anak yang lucu."

Cahaya berupa titik-titik mungil, mirip cahaya kunang-kunang, masuk melalui jendela. Sinarnya memendarkan warna merah muda lembut yang pekat. Satu, dua, puluhan, ratusan, mungkin ribuan kerlip cahaya membanjiri kamar. Seiring datangnya cahaya, terdengar tawa cekikikan bermacam suara.

Aku gemetar. Tidak ada buku maupun guru yang pernah mengajariku cara menghadapi makhluk aneh! Lebih baik bertemu monster macan. Setidaknya aku tahu cara membunuhnya.

"Jangan takut. Kami tidak akan menyakitimu."

Keringat pun bercucuran sekalipun tidak kuinginkan. Bahkan punggungku telah basah dan membuat gaun tidurku menempel ke kulit. Kuraba permukaan pintu, berharap menemukan tombol ajaib yang bisa menyelamatkanku.

"Anak Manis, bukankah kau ingin bertemu dengan kami?"

Bertemu? Mungkinkah?!

"Peri?"

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang