16

1.4K 314 20
                                    

NOTE: DEAR LADY IVY EKSTRA EPISODE KHUSUS 3 SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA. :”) Selamat membaca episode khusus di sana hahahahahaha. Terima kasih.

***

Enua memiliki suatu tradisi. Putra pertama raja akan mewarisi nama yang menyerupai ayahnya. Eza. Iza. Sungguh tidak kukira bukan hanya nama saja yang ia warisi, melainkan sifat selembut kapas. Pantas saja Lilia, tokoh utama, memilih menggandeng tangan Iza daripada Ray. Itu menjelaskan segalanya. Iza waras. Ray perlu mengunjungi psikolog terdekat.

Adapun yang tidak kupahami ialah, mendadak semua anak akur dan bersedia bermain dengan cara normal. Padahal Iza hanya bilang, “Ayo jangan bertengkar. Bagimana bila Elvan main catur melawan Ray?”

Sudah. Begitu saja.

Kini Elvan duduk berhadapan, tatapan fokus ke bidak yang berdiri di papan kotak-kotak hitam putih, dan sesekali menengok ke arahku sekadar berkata, “Aku pasti akan memenangkan pertandingan ini untukmu.”

Tidak perlu. Aku tidak butuh.

Baru satu menit, Elvan kalah. Dia meminta tanding ulang, kalah lagi. Perlawanan ketiga, tetap kalah. Sampai ketujuh kali, masih kalah. Dasar tidak berguna!

“Biar aku yang main!” seruku sembari mendorong Elvan agar menyingkir dari kursi.

Untung saja kursi yang tersedia di sini tidak tinggi. Khusus untuk anak-anak. Jadi, aku tidak perlu bersusah payah merangkak naik seperti kali terakhir di kuil.

“Kyaaa Ivy!” Lilia menyemangati, dia sengaja berdiri di sampingku. “Kakak akan memberimu semangat.”

Kuputar bola mata, pura-pura tidak mendengar ucapan setulus salju yang Lilia lontarkan.

Elvan pun ikut berdiri di sampingku. Kini aku diapit oleh dua anak kecil. Sungguh tidak membuatku bersemangat sama sekali. Di seberangku ada Ray yang duduk manis dan seperti beberapa detik lalu, ekspresi di wajahnya tidak terbaca. Iza berdiri di samping adiknya, memberiku senyum manis.

Bidak catur pun ditata ulang. Aku memegang putih, sementara lawanku menguasai bidak hitam.

Tidak seperti Elvan yang terburu-buru, aku memilih memilih memajukan bidak yang berdiri di depan kesatria. Satu kotak. Ray langsung menggunakan kesatrianya. Kutempatkan menteri di kotak yang tadinya ditempati bidak mungil. Selama sekian menit belum terjadi pertempuran. Aku fokus membuat pertahanan. Jangan sampai benteng dan ratuku lenyap. Itu adalah dua hal yang paling kusukai dalam menyerang.

Pada kesempatan pertama yang kudapatkan, aku menggunakan menteri untuk melahap kesatria milik Ray yang ada di jalurku. Dengan begitu, dia pun menggunakan ratu untuk memangsa menteri pertamaku.

Imbang. Kami berdua menyerang dan bertahan. Untuk ukuran bocah belasan tahun, Ray berbahaya! Bolehkah kubunuh dia sebelum tumbuh besar jadi seorang pembunuh sinting? Anggap saja demi menyelamatkan masa depan Enua.

“Wah Ivy cerdas,” puji Iza.

Iza mengusap kepalaku dengan lembut. Begitu selesai, Elvan ikut membelai kepalaku. Tentu saja dia langsung mendapat tabokan tepat di punggung tangan.

“Jangan sentuh kepalaku!” geramku seraya memamerkan gigi.

“Hei kenapa kau pilih kasih?” Elvan menepuk pelan tangan yang kuserang. “Tunggu saja sampai kau bertemu kakak pertamamu.”

“Dia akan kugigit!” ujarku, tegas.

Lilia yang tidak kuperhitungkan langsung memeluk dan menggosok-gosokkan pipinya ke wajahku. “Duh lucunya. Ayo pulang dan tidur di kamarku.”

Ha sekarang memang mereka manis dan menggemaskan. Namun, tunggu saja beberapa tahun ke depan. Mereka akan memberiku masalah. Lupakan!

Aku berusaha mati-matian melepaskan diri dari Lilia. Dia keras kepala. Lengket seperti gurita! Apa ini akan jadi tayangan dewasa dengan tambahan tentakel? Hiiiiii!

“Jangan peluk aku!” Lilia masih saja menempel erat. Aku bahkan mulai mempertanyakan asal kekuatan Lilia! “Peluk Putra Mahkota sana!”

“Jangan begitu,” erang Lilia. “Aku hanya ingin melepas rindu denganmu.”

Andai aku punya ayah normal! “Ayaaaaaaaah!” teriakku karena merasa putus asa. “Ayaaaaah selamatkan aku dari penculik!”

Kemudian terdengar suara pintu yang didobrak. Koreksi, ditendang. Kami para anak-anak pun terdiam. Di pintu ada sosok yang ingin kuhindari yakni, Duke Res. Dia terlihat berantakan seolah baru saja maraton sembari menebas monster. Hal menyebalkan darinya. Dia tetap terlihat keren sekalipun berantakan!

“Ayah ada di sini, Nak,” ujar Duke Res yang kini memamerkan senyum cemerlang yang membuat beberapa pelayan perempuan sesak napas. Oh tunggu, ada pelayan yang tersipu. “Kemarilah,” ia merentangkan kedua tangan dan berlutut dengan satu kaki tertekuk, “Ayah ada di sini.”

Siapa yang mengundangnya?!

Elvan dan Lilia hanya diam. Mereka seolah baru saja melihat sesuatu yang seharusnya dikurung di kandang. Putra Mahkota dan Ray pun melakukan hal serupa, diam.

“Hei,” aku menyikut Elvan, “kau dipanggil ayahmu.”

“Dia memanggilmu.” Elvan menolak bekerja sama menjadi anak manis. “Cepat lari ke pelukannya.”

Aku tidak mau! Dia bukan ayah yang kumaksud!

Di saat aku sedang mempertimbangkan antara menggigit Ray, menjambak Ray, menendang Elvan, atau melempar Elvan, sosok lain muncul di belakang Duke Res.

Tidak seperti beberapa saat lalu, kali ini aku melepaskan diri dari Lilia. Dengan langkah menggemaskan, aku berlari sembari merentangkan tangan. Hahahaha akhirnya muncul. “Dukeeeeeeeeeeee!”

Duke Joa mendorong Duke Res sampai tersungkur. Dia tidak menyesal. Duke Joa meraihku dan menggendongku. “Pasti menakutkan di sini sendirian.”

“Heiiii lepaskan adikku!” seru Elvan sok pahlawan.

Duke Res perlahan bangkit. Dia menggosok hidungnya yang merah. Hmmm tahu begini kuinjak saja sekalian tadi. Sayang sekali.

“Pulang?” Aku sangat bersemangat! Ayo pulang! “Boleh mampir menemui Xar?”

“Tentu saja!”

Duke Joa mengedarkan pandang. Elvan berjengit saat menerima tatapan sengit dari Duke Joa. Lalu kepada Putra Mahkota Iza dan Pangeran Ray, Duke Joa memberi salam.

“Paman, bagaimana kabar Igor?”

“Dia baik-baik saja, Yang Mulia,” Duke Joa menjawab pertanyaan Putra Mahkota. “Anda dipersilakan mampir ke Joa.”

Tolong penggal Ray! Dia impostor! Tolong dengarkan suara hatiku!

“Ivy,” Duke Res memanggil, “Ayah boleh ikut?”

“Tidak!” aku menolak. Enak saja! “Paman, anakmu menggangguku!”

Aku mencari keberadaan Raja Eza. Dia tidak ikut. Huh rencana mengadukan kelakuan Ray pun harus kuundur.

“Baiklah, Sayang,” ujar Duke Joa terlampau bersemangat. Dia bahkan secara terang-terangan memberi senyuman congkak kepada Duke Res. Seakan dia baru saja memenangkan sesuatu. “Kita pergi.”

Aku melambaikan tangan kepada Putra Mahkota. “Sampai jumpa lagi, Putra Mahkota. Jangan lupa banyak minum air putih. Selamat tinggal.”

Kenapa para pelayan tersipu? Aku tahu Duke Joa tampan, tapi reaksi para pelayan terlalu....

Duke Joa membawaku menjauh dari ruangan. Apa yang terjadi selanjutnya? Ha ternyata Duke Res menggendong Lilia dan salah satu tangannya menggandeng Elvan. Dia berjalan tepat di samping Duke Joa. “Dia putriku.”

“Putriku,” Duke Joa mendebat, “kau tidak bisa mengklaim yang satu ini.”

Lilia masih saja mengamatiku dengan tatapan kagum. Itu membuatku jengah. Maka, aku pun membenamkan wajah di bahu Duke Joa. Biar saja! Dia tidak bisa melihat wajahku.

“Ayah, aku tidak bisa jalan cepat!” protes Elvan. “Biarkan aku bergelantungan di belakangmu!”

Saat aku mendongak, Duke Res terlihat aneh! Lilia di depan, sementara Elvan duduk di bahu ayahnya. Apa yang kulihat ini?! Tidak ada harga dirinya!

***
Elvan: “Wooooo aku lebih tinggi dari siapa pun!”
Ivy: “...”

***
Selesai ditulis pada 25 September 2024.

***
Hihihi akhirnya bisa update juga! Senaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang!

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang