53

586 161 7
                                    

NOTE: DEAR LADY IVY EKSTRA EPISODE KHUSUS 13 SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA! :") Selamat membaca.

***

Bagaimana cara membunuh seekor naga tanpa bantuan penyihir? Kesatria Joa tidak memiliki keahlian sebaik Duke Joa maupun Duke Res. Andai ada alat pelontar tombak, mungkin keadaan bisa sedikit lebih baik daripada saat ini. Semua orang sibuk mempertahankan diri, berlindung di balik reruntuhan, berusaha sebaik mungkin tidak terbakar hidup-hidup.

"Cepat lari ke taman peri!" teriak Igor. Dia menggandeng tanganku, mengajakku berlari menghindari naga.

Kami berdua, aku dan Igor, mirip tikus kerdil lari dari kejaran sepasukan kucing cerdik. Bila Duke Joa dan Duke Res yang kenyang makan asam garam pertempuran cukup kewalahan menghadapi naga, tidak terbayangkan dengan anak-anak Duke Res serta kawan lain yang terjebak api di sini.

Semua ramuanku telah musnah. Aku tahu, yakin, bisa memastikan karena bengkelku hancur lebur. Segala penelitian, bahan, dan catatan penting rusak. Tinggal abu seperti pasir kelabu. Api berkobar liar, menyengat kulit, dan membuat mataku pedih. Dadaku terasa terbakar karena kesulitan bernapas. Terus terang aku tidak terbiasa lari sekuat tenaga. Kondisi fisikku tidak sebugar Ekiel maupun Igor. Harusnya aku melatih fisik dan tidak terlena dengan ketenangan selama berdiam di kediaman Joa. Aku terlalu sombong, mengira kejadian buruk yang akan tiba ke pintuku hanya ancaman kematianku belaka. Sungguh bodoh tidak mempertimbangkan bahwa bisa saja teror yang jauh lebih mengerikan daripada kematianku ternyata ada.

"Apa ini yang bisa kaubanggakan?!" ejek Duke Res. "Kau seharusnya bisa menyingkirkan naga semudah membalikkan telapak tangan!"

"Jangan bercanda!" balas Duke Joa, tidak kalah sengit. Terdengar suara debum dan pekikan naga. "Aku hebat! Sebelum mengomentari diriku, lebih baik kau berkaca pada dirimu sendiri! Apa itu? Tidak bisa memotong seujung kuku pun!"

"Kalian berdua," ratap Ekiel, "kumohon berhenti mengolok satu sama lain."

Duke Joa tetap berusaha menjebak setiap naga menggunakan berkat peri. Bermacam pohon tumbuh, menjerat naga, dan memerangkap mereka agar tidak bisa terbang.

Duke Joa, Duke Res, dan Ekiel menghunuskan pedang. Ekiel berhasil membutakan salah satu mata naga, sementara Duke Joa dan Duke Res mengincar bagian leher naga. Kedua duke itu kesulitan menembus sisik naga. Pedang tidak mampu merontokkan sisik yang terlampau keras.

"Incar matanya!" Ekiel memberi contoh. Sekali lagi dia menusuk mata naga. "Bagian paling lunak!" Lantas kemudian dia menyingkir begitu naga hendak menyemburkan napas api.

"Ikuti Igor!" perintah Duke Joa kepadaku. Wajahnya diliputi keringat dan tercoreng arang. "Aku akan menyusulmu setelah semua beres."

"Ayah akan melindungimu!" sahut Duke Res. "Kedua kakakmu, Elvan dan Lilia, berusaha menghubungi penyihir. Bantuan mungkin akan datang."

Sama seperti Duke Joa, Igor memerangkap semua naga yang hendak meraihku. Pohon dengan ranting tebal pun menjerat para naga. Setiap naga yang berhasil tertangkap akan langsung dibutakan oleh kesatria mana pun. Dengan begitu mereka bisa mengulur waktu mencari titik lemah naga.

Dalam pertarungan melawan makhluk seliar naga, bantuan dari penyihir jauh lebih dibutuhkan daripada apa pun. Setidaknya penyihir mampu memanipulasi cuaca dan elemen alam lainnya, tidak terbatas sebagaimana berkat peri yang bergantung pada peri yang menghadiahi berkat.

Andai aku memiliki kekuatan, maka semua orang yang ada di sini bisa kuselamatkan. Namun, aku bukan pahlawan. Aku hanyalah anak manusia berdarah campuran yang mungkin akan segera mati. Tewas di tangan musuhku.

"Ivy, bertahanlah."

Napasku mulai tersengal-sengal. Sesekali aku terbatuk, berusaha meraup udara di antara kepungan asap dan jilatan api membara. Sulit berkonsentrasi dalam kondisi semacam ini. Ketika tidak ada satu pun harapan yang bisa kuraih. Seolah aku tengah berdiri di atas lapisan es setipis tisu. Kapan pun bisa retak dan aku akan jatuh ke pelukan air sedingin es.

"Igor, aku kehabisan napas...."

"Kau bisa," bujuk Igor, pantang menyerah. "Ivy, bertahanlah!"

Aku dan Igor berlari semakin jauh. Di kanan dan kiri hanya ada puing, arang, dan kehancuran. Tinggal beberapa langkah lagi kami berdua sampai. Kupaksakan kaki, paru-paru, dan seluruh tubuh agar tidak menyerah. Aku tidak mau berakhir. Tidak seperti di masa lalu mana pun. Entah sebagai manusia menyedihkan, Lady Renula, maupun Ivy. Harus berjuang demi diriku sendiri.

Sedikit lagi....

Api membara, sangat tinggi, menghalangi akses menuju taman peri. Benteng api begitu menjulang, panasnya bukan main hingga aku berjengit. Satu-satunya harapan, suaka, yang mungkin bisa kudapatkan pun lenyap.

"Igor...."

Kami berdua tengah diolok-olok oleh realitas. Apakah tidak ada keselamatan bagi semua manusia di sini? Haruskah aku mati demi menolong sekian nyawa? Lalu, bagaimana dengan mimpi dan keinginanku sebagai manusia?

Air mata membuat pandanganku nanar. Aku tidak menangis karena putus asa, melainkan marah.

"Seharusnya aku senang melihatmu putus asa."

Seekor naga hitam menampakkan diri di hadapan kami. Aku tidak butuh bantuan untuk mengenali sosok yang tengah menguasai sekian naga. Dia bukan Ray. Kutebak kegilaan atau ingatan lama miliknya telah berhasil kembali.

Ray memerintahkan naga hitam agar mendarat tepat di seberang kami. Dia turun dari naga dan memberi kami sambutan berupa senyum angkuh. Sama sekali tidak ada sentuhan kemanusiaan dalam diri Ray yang sekarang. Dia mirip dengan Ray yang pernah membunuhku di kehidupan pertama kala aku sadar diriku terjebak dalam suatu cerita.

Tidak. Lebih buruk daripada yang pertama. Ray mirip penggambaran pria yang ingin melenyapkan Saint Nasha. Seluruh tubuhku pun menegang seiring debar jantung yang menggila. Mataku terasa panas dan napasku kian memburu. Sekalipun aku tidak lagi berlari, tetapi paru-paruku benar-benar sakit.

"Butuh usaha keras bagiku," lanjut Ray. Bila suara bisa membunuh, maka suara milik Ray mirip pedang tajam yang tidak ragu diayunkan kepada siapa pun. Termasuk, diriku. "Mengingat semuanya. Aku harus melewati labirin mimpi, menahan sakit yang seolah hendak mengoyak kepalaku, dan menerima identitas palsu ini. Cukup disayangkan aku kecewa pernah menghabisimu, Lady Renula."

Pasti yang dia maksud ialah dirinya sebagai Ray yang membunuhku. "Apa maumu?"

"Bukankah kau bisa menduganya?" ejek Ray. Naga yang ada di belakangnya meraung, memamerkan mulut penuh dengan gigi-gigi setajam belati. Makhluk itu memberiku tatapan tajam nan menusuk. "Kau menolakku, Ragna, dan memilih pendeta terkutuk! Aku menawarimu kejayaan, kekuasaan, harta, dan segala yang bisa diinginkan oleh seorang manusia. Namun, kau lebih suka mati demi manusia daripada bersamaku. Tentu saja itu menyakiti harga diriku, Lady Renula." Dia berhenti sejenak, memberiku dan Igor tatapan menyelidik. "Apakah hanya aku seorang yang sadar atau kalian berdua ... oh tentu saja," ucapnya sembari tertawa sinis, "di kehidupan kali ini kau bukan pendeta," tunjuknya kepada Igor, "kau manusia. Dengan senang hati akan kuperlihatkan kepadamu rasanya terpenjara dalam ketidaktahuan, terjebak sebagai orang lain, tapi itu tidak menyenangkan bila kulakukan saat ini."

Kewaspadaan dalam diriku pun meningkat. Ray ... dia.... Bila dia sama seperti pria mengerikan yang kami, aku dan Igor, saksikan di reruntuhan, sudah pasti dia hanya akan memberi kami teror.

"Dulu aku bersumpah akan menghancurkan hal yang paling kausayangi," senandung Ray sembari memamerkan seulas senyum yang di mataku terlihat memuakkan. "Sebaiknya kupersembahkan tontonan terbaik bagimu, Renula Sayang."

***
Elvan: "Heeeeeeeeeeeeeeeeeeelp!"
Lilia: "..."

***
Selesai ditulis pada 25 November 2024.

***
Sebentar lagi tamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat! Yeiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiy! So happy! Happy!

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang