Aku siap memeluk maut, sebagaimana yang dulu kuhadapi, dan menerima apa pun. Entah jatuh ke neraka ataupun kembali ke titik awal, akan kuhadapi. Akan kucari Igor, memperjuangkannya, dan melindungi siapa pun dari Ray.
Itulah yang kupikirkan ketika ajal terasa begitu dekat.
“Renula,” ucap Ray dengan suara getir, “kau harus membayar rasa sakit hatiku.”
Dingin. Betapa dingin berada di titik terendah. Tidak bisa melawan. Hanya bisa menerima segalanya dengan lapang dada dan pedih. Sangat sakit. Sangat menyedihkan. Apa aku hanya akan berakhir seperti ini? Mati berkali-kali. Hidup sembari membawa ingatan ... hanya aku seorang yang ingat?
“Jangan sentuh dia!”
Sesuatu menghantam Ray. Cukup kuat hingga cengkeraman tangan Ray di leherku pun lepas. Aku terbatuk, berusaha meraup udara sebanyak mungkin, dan menahan rasa perih di mata.
“Jangan sentuh dia.”
Di hadapanku ada Alera. Dia masih sama seperti terakhir kali kami berjumpa. Kecuali satu, kedua tangan Alera berubah warna menjadi hitam sebagaimana warna kukunya yang kini memanjang, meruncing.
“Adikku,” sindir Ray dengan seringai keji, “dulu kubiarkan kau hidup, tapi sekarang tidak ada belas kasih untukmu.”
“Kau mengambil kekuatanku,” balas Alera. “Membuatku terjebak dalam wujud seekor gagak menyedihkan. Lantas, saat aku berhasil mendapatkan wujudku kembali....”
“Aku berusaha membunuhmu karena melindungi inkarnasi Renula,” Ray melanjutkan. “Sedari dulu kau lemah terhadap manusia. Tidak bersedia lepas dari mereka, mengira bisa memperbaiki segalanya berdasarkan simpati belaka. Pantas saja para iblis membuangmu. Kau produk cacat. Suatu kegagalan.”
Igor masih berjuang melawan naga. Dia berusaha mendekat, tapi selalu saja ada naga yang menghalangi. Aku tidak memiliki tenaga, bahkan sekadar bangkit. Terlalu lemah. Beberapa peri mungil menyelinap, mendekatiku. Mereka menangis melihat leherku. Andai aku Putri Sugar Plum, pastilah para peri mungil ini sanggup membawaku pergi. Namun, mereka bukan peri yang bisa membantu menyeberangkan Putri Sugar Plum. Mereka hanya peri menggemaskan yang gemar bermain.
Kuamati punggung Alera, kutebak dia pun memiliki banyak rahasia yang belum terungkap. Apa perwujudan gagak yang dipanggil Saint Nasha kala itu adalah Alera? Ataukah Alera bukan nama aslinya?
“Kau membunuh Lady Renula dan Ivy,” kata Alera dengan suara getir. “Aku berusaha menyelamatkan Lady Renula, membawanya ke kerajaan peri, tapi dia tidak bisa kuselamatkan. Lantas aku memohon perpanjangan tangan dari ayahku.”
Ray terdiam. Kulihat kedua tangannya terkepal erat.
“Ya,” Alera membenarkan, “Kakak, ayah kita, Baginda bersedia menolongku dengan harga yang mahal. Dia tidak bisa menghidupkan Lady Renula, tapi ia mengajariku cara lain. Dia menyuruhku meminta pertolongan dewa.”
“Kau gila!”
“Aku memang gila,” Alera mengakui. “Aku tidak ingin kehilangan teman-temanku, terutama Lady Renula. Kepada Yulo, Dewa Bulan, yang pernah memberiku berkat, aku meminta agar mempertemukan Saint Nasha dan Lady Renula pada kehidupan berikutnya. Akulah yang menjatuhkan perlindungan, yang lebih mirip kutukan, kepada Lady Renula saat ini.”
“Alera,” panggilku dengan suara lirih, “kau ... kau yang?”
“Maafkan aku,” ucap Alera yang sama sekali tidak berani menatapku. “Aku hanya ingin agar kau bisa hidup bersama kekasihmu. Sebagai saint, Saint Nasha tidak bisa bersamamu. Dia milik manusia, semua manusia, bukan hanya untukmu. Dulu kau menyelamatkanku dari serangan salah satu saudaraku, maka sekarang aku ingin balas budi kepadamu walau caranya amat menyakitkan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...