"Terima kasih. Pergi ke negeri peri sungguh tawaran menggiurkan, tetapi aku tidak bisa meninggalkan Joa begitu saja. Terkesan tidak tahu diri. Terlebih berkat bantuan Duke Joa aku bisa tumbuh besar dan menjalani kehidupan normal. Sekalipun negeri di sana memang elok, tapi aku tidak boleh jadi kacang lupa kulitnya. Budi baik haruslah dibalas serupa. Habis manis sepah dibuang? Aku tidak mau jadi manusia laknat begitu."
Imene menertawakanku. Dia mungkin menganggap ucapanku yang panjang itu sebagai hiburan segar. "Aku suka gayamu, Nak. Berkelas. Andai kau langsung menerima tawaranku, maka kupastikan dirimu tipikal manusia yang hanya ingin cari untung belaka."
Emmm sebenarnya yang diucapkan Imene tidak salah. Aku suka keuntungan. Di kepalaku ada rancangan masa depan terkait bisnis jamu. Modal, pasar, cara penjualan, dan keuntungan. Mana mungkin kubuang begitu saja?
"Joa tidak akan mengecewakanmu, Nak. Mereka selalu menepati janji. Di antara sekian manusia, Joa termasuk barang antik."
Aku tidak berani menyampaikan pujian Imene kepada Duke Joa. Dia disamakan dengan barang antik. Untung tidak disamakan dengan satwa terancam punah.
"Ada lagi hal yang ingin kautanyakan kepadaku, Nak?"
"Anda berkata bahwa naga yang dibasmi oleh raja dari Enua, maksud saya, naga yang mengutuk...."
"Nak, kutukan yang dijatuhkan naga tersebut bukan main liarnya." Eksperi wajah Imene berubah masam. Kedua mata Imene pun menajam, seolah melihat sesuatu yang berbahaya. "Jangan pernah berurusan dengan keturunan Akasa. Yang mana pun."
"..."
Telat. Aku sudah berurusan dengan keturunan Akasa. Aaaaa aku ingin berguling-guling sembari menyanyi dengan suara sumbang. "Mengapaaaa kubeginiiiii?!" Sial. Keserakahan milikku sendiri yang membawa celaka! Oh tunggu. Aku akan lekas pergi ke negeri asing. Secepatnya!
"Sebaiknya kau kembali," Imene menyarankan. Beberapa burung terbang sembari membawa kantong. Total ada lima kantong. Semua kantong terbuat dari kain berwarna hijau tua. "Di sini ada bibit tanaman yang mungkin berguna bagimu. Lalu, bila kau masih penasaran dengan sejarah leluhurmu...." Dia mengedipkan mata. "Kau bisa mencoba berkunjung ke hutan-hutan lain yang dijaga oleh peri musim semi."
"..."
Mohon maaf. Perjalanan ini terasa sangat panjang. Kupikir cukup di sini. Namun, salah. Aku masih belum menemukan alasan tepat diriku bisa mati dan hidup kembali pada waktu berbeda. Sekarang pun diriku mulai ragu fenomena yang menghantuiku itu ada kaitannya dengan kutukan.
Setelah menghela napas dan mengembuskannya secara perlahan, aku pun mulai belajar menerima kenyataan. Kutatap kantong-kantong yang tergeletak di meja. Kuambil satu, aroma herbal nan menenangkan pun menyambutku.
Boleh juga. Mungkin biji yang ada di dalam kantong bisa kulempar saat diriku dikejar musuh. Timun Emas, semoga saja kesaktiannya bisa kupinjam.
"Terima kasih, Imene."
"Jaga dirimu, Nak."
Angin berembus. Daun-daun berterbangan. Suara angin begitu bising dan aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku terpaksa memejamkan mata karena takut kemasukan debu. Kunaungi wajah dengan tangan, membiarkan daun dan ranting menghantam tubuh. Saat segalanya reda, barulah aku berani membuka mata.
"Ivy!"
Tidak ada danau.
Tidak ada peri.
Tidak ada hutan indah.
Aku tengah duduk bersimpuh. Tepatnya, di hadapan rombongan Joa. Kantong pemberian Imene ada di pangkuanku. Belum sempat aku merespons fenomena aneh tadi, Duke Joa bergegas menghampiriku. Dia memeriksa kepalaku seolah ada benda yang menghantam di sana saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...