Kemarin merupakan pengalaman menyenangkan. Minus Res. Setidaknya aku bisa menghadiahi Xar dengan sejumlah peralatan tulis berkualitas dan sekumpulan buku mengenai kehidupan. Dia suka membaca sesuatu yang ada hubungannya dengan seni kehidupan. Mungkin bila ada di duniaku, dia tidak akan keberatan membaca tulisan Lo Kuang Tiong ataupun Seneca. Pasti akan dia lahap dengan rakus.
Anne memilih sebuah gaun berwarna ungu gelap. Aku tidak keberatan dengan gaya busana kesukaannya. Kecuali, sepasang sepatu dengan kaus kaki berenda. Itu cukup manis, tapi tolong beri aku yang biasa saja.
Sarapan, jalan santai di taman ditemani Igor, belajar bersama Madam Nana, kemudian setelah makan siang aku dipertemukan dengan seorang pria tua berjubah. Dia memperkenalkan diri sebagai Penyihir Dorga. Mungkin usianya sekitar lima puluh tahun. Gaya rambutnya berpotongan pendek dan ia memiliki janggut. Bukan janggut embek, tapi yang rapi persis kakek-kakek banyak uang.
“Halo, Nona Ivy,” Penyihir Dorga menyapa, “mulai sekarang aku akan bertanggung jawab sebagai gurumu.”
Di ruangan hanya ada aku, Duke Joa, dan Penyihir Dorga. Andai tidak sedang duduk manis di kursi, mungkin aku akan langsung terjengkang dengan gaya berlebihan.
“Kenapa aku harus belajar sihir?” Aku mengamati Duke Joa yang sama sekali tidak memberiku senyum menenangkan. “Aku tidak tahu sihir! Ibuku yang bisa, bukan aku! Dia terbiasa mengutuk dan menjampi orang. Tolong percayalah,” kali ini kutatap Penyihir Dorga, “aku tidak bisa sihir. Lihat saat kujentikan jari begini. Tidak ada debu emas. Aku tidak bisa sihir!”
“Kita akan lihat nanti,” Penyihir Dorga mencoba menenangkan, dan tidak berhasil, diriku. Dia meraih sesuatu dari sakunya. Sebuah kelereng bening muncul. “Coba genggam kemudian letakkan di meja.”
Berhubung jarak antara kursi dan meja cukup jauh bagi anak kecil sepertiku, aku terpaksa berdiri. Sesuai dengan arahan Penyihir Dorga, kelereng kugenggam dan kuletakkan di meja.
Kelereng berubah warna menjadi ungu pekat gelap. Tidak bagus! Warnanya mencurigakan! Itu lebih cocok disandingkan dengan warna tokoh jahat dalam romansa picisan.
Penyihir Dorga menggaruk janggut. “Menarik.”
“Bagaimana?” Duke Joa ikut berdiri. Dia mengamati kelereng yang sampai detik ini masih berwarna ungu gelap. “Apa artinya bagus?”
Firasatku sedang memberi tahu diriku bahwa sesuatu yang merepotkan akan terjadi.
“Kita perlu mengujinya.”
Aku ingin mengajukan protes! Penyihir Dorga menyuruhku menirukan beberapa kata yang ia ucapkan. Sampai situ, tidak terjadi apa pun. Berlanjut ke tongkat aneh. Tidak mirip dengan tongkat keren dalam film sihir apa pun. Tongkat itu lebih mirip alat penggaruk punggung yang biasa digunakan sebagai pijat! Bahkan alat aneh itu pun tidak memberiku reaksi luar biasa.
“Hmmm mungkin bisa kita coba ke hal lain,” Penyihir Dorga mengusulkan. “Untuk itu, Anda perlu ikut saya ke menara.”
Duke Joa ingin membantah, tetapi dia mengurungkan niat.
Jadilah kami berangkat ke menara apalah. Di sana tempat yang keren! Ada banyak orang berjubah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Menurutku menara mirip laboratorium yang dihuni peneliti. Beberapa penyihir melambaikan tangan kepadaku sembari tersipu. Hmmm dia pedofil. Wajib dijauhi. Kemudian ada penyihir perempuan yang juga melambaikan tangan kepadaku sembari tersenyum. Hmmm dia bisa saja penculik. Wajib dihindari.
Penyihir Dorga mengajak kami ke lantai teratas. Di sana hanya ada sebuah ruangan berisi bermacam peralatan yang mirip dengan yang digunakan ilmuan sinting. Pipa, tube, mangkuk keramik, ulekan aneh, dan alat rebusan. Baunya pun aneh. Campuran rempah, tanaman, dan orang tidak mandi!
“Uuuuu!” Lekas kututup hidung. Oh astaga baunya.
Duke Joa pun ikut berjengit. Dia memelototi Penyihir Dorga. Berkat itu sang penyihir pun menyuruh semua penyihir yang ada di ruangan agar membuka jendela. Perlahan udara segar masuk, mengganti aroma bau badan pembunuh!
“Ada yang sedang meniliti ramuan cinta,” jelas Penyihir Dorga. “Sepertinya tidak berhasil.”
Tentu saja tidak berhasil! Tirulah Belinda. Dia jago memanipuliasi hasrat Duke Res. Buktinya aku lahir.
Penyihir Dorga menarik kursi tanpa sandaran ke dekat meja yang kini kosong dari pengguna. Dia menyuruhku naik ke kursi. Itulah yang kulakukan. Naik ke kursi dan mengamati selembar kertas.
“Coba kerjakan sesuai dengan intruksi yang tertulis di kertas.”
Di meja telah tersedia bermacam wadah berisi tanaman maupun benda asing. Setiap wadah dilabeli tulisan. Cukup mudah, pikirku. Aku hanya perlu mencampur setetes ini, sejumput itu, dan segenggam antah berantah.
Bohong. Ada kegiatan merebus dan untungnya aku tidak takut. Belinda biasa menyuruhku memasak. Pasti inilah manfaatnya! Hahaha aku jadi tukang buat jamu!
“Jadiiiiii!” seruku menunjuk segelas cairan kental berwarna merah muda. “Mau?” Kuserahkan gelas itu kepada Penyihir Dorga.
“Tentu,” sambut Penyihir Dorga yang langsung memaksa penyihir terdekat agar meminum ramuanku.
Hei bukan begitu cara mainnya! “Duke?”
Duke Joa telah mengamankan diri di pojokan. Dia terlihat tidak merasa bersalah telah memilih keselamatan pribadi dibanding meminum ramuanku! Aku tersinggung, ya!
Si penyihir yang terpaksa jadi kelinci percobaan pun terbatuk. Hanya sebentar saja.
“Bagaimana?” tanya Penyihir Dorga.
Oknum yang bersangkutan pun melengkungkan senyum. “Tidak beracun. Tubuhku segar.”
“Tentu saja putriku hebat!” Duke Joa yang merasa aman pun kembali mendekat. Dasar tidak tahu malu! “Putriku hebat.”
Aku menelengkan kepala. “Tuan, semua orang bisa membuat yang seperti ini. Hanya perlu ikuti resep.”
Penyihir Dorga menggeleng. “Tidak semua orang, Nak.” Dia meletakkan gelas yang kini kosong ke meja. “Hanya penyihir saja. Kau berbakat jadi tukang ramu.”
Maksudnya, aku bisa membuat jamu. Bagus! Itu ide keren. Akan kubuat pabrik jamu dan mendistribusikan jamu sakit perut ke sepenjuru Enua!
“Jarang ada peramu yang sukses,” Penyihir Dorga melanjutkan. “Lihatlah di sini. Hanya ada beberapa saja.”
“Berarti kau sudah menemukan metode pengajaran yang tepat, bukan?”
“Tentu, Duke,” Penyihir Dorga menjawab, “Nona Manis perlu belajar tanaman, pengukuran materi sihir, dan hmmm tertarik bersekolah di akademi sihir?”
“Tidak,” aku menolak, “aku ingin jadi wartawan saja.”
Aku tidak mau bekerja 24 jam di bawah tekanan. Itu belum termasuk cuti yang mungkin tidak kuperoleh. Memangnya ada berapa banyak perusahaan yang mewajarkan cuti datang bulan? Jarang! Aku tidak mau jadi penyihir. Setahuku penyihir harus patuh kepada pemerintah. Hahaha ogah.
“Sayang sekali,” ujar Penyihir Dorga dengan nada suara sedih. “Padahal kupikir baru saja menemukan seorang legenda.”
Penyihir yang baru saja menjadi kelinci percobaan terlihat sangat sehat sejauh ini. Memangnya apa yang baru saja kubuat?
“Tuan, apa yang tadi kubuat?”
“Minuman penambah energi,” Penyihir Dorga memberiku jawaban mengagumkan.
Hahaha jadi aku tadi baru saja membuat minuman penambah stamina?
Hoooo ide bisnis. Aku bisa membuat berbotol minuman, lalu kujual di pasar gelap, dan tinggal dapat uang!
Ahahahaha uang!
***
Duke Res: “Yang Mulia, aku ingin putriku!”
Raja Enua: “Sebenarnya aku juga ingin putrimu. Betapa beruntungnya ada bantuan merancang peraturan yang layak.”
Duke Joa: “Akan kutebas siapa pun yang berani mendekat!”***
Selesai ditulis pada 27 September 2024.***
Huhuhu senang bisa update. Hiks. Hati-hati. Musim hujan. Ular berseliweran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...