“Terima kasih,” ucap Raja Eza. Senyum profesional tanpa cela ala iklan pasta gigi. Dia mampu menampilkan senyum semacam itu dengan sempurna. “Informasi yang amat berguna. Duke, berhubung ada banyak hal yang ingin kubahas denganmu....”
“Aku tidak datang ke sini demi mengurangi beban pekerjaanmu,” potong Duke Joa. “Yang Mulia, semua rasa keingintahuanmu telah terpuaskan. Maka, saatnya aku pulang!”
Alih-alih tersulut amarah, Raja Eza hanya mengangkat salah satu alisnya dengan gaya elegan. “Benarkah? Kau pasti akan berpikir ulang bila tahu ‘topik’ yang ingin kubahas denganmu.”
Kupikir Duke Joa akan keras kepala dan menolak perintah Raja Eza, ternyata dia justru menghela napas, sangat panjang, kemudian berkata, “Sekarang?”
“Sekarang,” Raja Eza menjawab. “Ray, kau tidak keberatan menemani Si Kecil jalan-jalan?”
Aku tidak kecil! Oh lupakan penghinaan, aku tidak mau ditinggal berdua saja bersama pembunuhku! Tidaaaaaak!
Akan tetapi, Duke Joa memilih menurunkanku dari singgasana penyelamat. Air muka yang dia perlihatkan pun teramat serius sehingga aku mengurungkan niat pura-pura kesurupan macan. Itu tidak akan berhasil. Maksudku, ide kesurupan.
Akhirnya aku terpaksa mengalah, membiarkan Ray menggandeng tanganku dan membawaku keluar dari ruangan. Kami diikuti oleh pelayan dari istana, kesatria istana, dan kesatria milik Joa. Aku hanya kenal satu orang saja, si pria gagah yang dulu kufitnah. Sisanya, hmmm tidak tahu.
Ray tidak mengatakan apa pun. Dia membawaku menyusuri lorong. Mataku jelalatan, sibuk mengagumi vas dan sejumlah lukisan yang ada di lorong. Satu lukisan yang ada di sini setara tiga mansion!
Satu per satu lukisan berlalu. Baru kusadari bahwa kecepatan jalan Ray disesuaikan dengan kemampuanku. Hah! Meski begitu, tetap tidak bisa meluluhkan hatiku! Dia penjahat! Pembunuh! Si gila! Akan kutempelkan sejumlah label jelek kepadanya!
“Sudah sampai,” katanya. Singkat dan padat.
Kami berhenti di depan sebuah pintu. Penjaga membukakan pintu dan dengan begitu aku bisa melihat ada tiga anak yang sedang berkumpul.
“Woh Mungil!”
Elvan?! Berengsek!
Oh bukan hanya Elvan, ternyata ada Lilia Froa Res! Dia seperti boneka peri. Rambut merah muda bergelombang. Sepasang mata berwarna biru muda. Ia mengenakan gaun bernuansa hijau yang membuatnya makin mirip putri peri.
Di samping Lilia ada seorang bocah berambut pirang. Dia sedikit mirip dengan Raja Eza. Maka, bisa kutebak siapa gerangan. Iza Sa Belgrave. Putra mahkota!
Aaaa tidak!
“Mungiiiiiil!”
Elvan berlari menuju ke arahku. Terlalu bersemangat. Dia makin mirip anjing yang ingin menyambut majikan. Aku keberatan jadi majikan Elvan! Pergi sana!
Sebelum Elvan berhasil meraihku, secepat kilat aku mengelak. Ha berhubung tanganku masih digengam Ray, itu artinya aku harus berimprovisasi seolah sedang menari Tango. Lewat depan, berkelit, ke belakang, dan diriku terlihat seperti sedang memeluk Ray dari belakang!
“Kenapa?”
Suara Elvan terdengar amat kecewa. Aku tidak peduli. Tanganku sibuk mencongkel jemari Ray yang tidak kunjung bersedia melepaskanku. “Pangeran, aku sudah bertunangan dengan Igor. Itu artinya, Anda sedang cari perkara!”
“Siapa?” pekik Elvan. “Aku tidak sudi adikku bertunangan dengan Kepala Lumut!”
“Aku bukan adikmu!” koreksiku sembari susah payah melepaskan jemari. Lepas satu, tinggal empat-eh? Kenapa kembali menempel? “Pangeran, Anda bisa berhenti mengganggu saya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...