Ramuan terbaru telah kukirimkan ke istana. Semoga efek penenangan bisa menekan kegilaan dalam diri Ray. Aku tidak mau berhadapan dengan Ray versi gila. Dia tidak seperti monster mana pun saat sinting. Setidaknya melawan monster aku cukup melempar ramuan ataupun menyerang titik vital. Namun, cara serupa tidak berlaku pada kasus Ray. Dia gesit, sadis, dan akalnya bukan main mengerikan.
Jantung peri, menurutku, bukan satu-satunya opsi. Ritus suci pasti bisa memberikan diriku pengetahuan baru. Kudengar dari Madam Nana dan Penyihir Dorga, di ritus suci tersembunyi catatan penting peninggalan kaum terlupakan. Disebut kaum terlupakan karena sebelum berdirinya Enua ada bermacam kerajaan yang muncul lalu lenyap dilindas sengketa.
Inilah yang ingin kuketahui, catatan.
Maka, aku dan Igor berangkat ke situs suci terdekat. Letaknya tidak jauh dari hutan yang Imene tempati. Duke Joa ingin ikut, tapi dia memiliki tugas lain yang jauh lebih mendesak daripada bermain sebagai peneliti.
Kami semua diburu waktu. Ray bisa meledak kapan pun dan sebaiknya harus menemukan jalan keluar sebelum dia membunuh siapa pun.
Butuh lebih dari dua minggu bagiku, saat telah sampai ke ritus pertama, menggali semua informasi. Penyihir dan peneliti, baik dari bermacam bidang keilmuan, banyak memberiku pertolongan. Mereka menjelaskan bahwa ritus yang kudatangi pada mulanya merupakan sebuah desa. Di sana, di desa itu, hanya boleh ditinggali oleh para peri berdarah campuran. Desa itu tidak bernama. Adapun informasi penting yang kami, aku dan Igor, tahu adalah desa tersebut memuja Yulo, dewa bulan.
Tidak ada catatan mengenai kutukan. Hal yang membuatku makin sedih.
“Kita akan menemukan jalan keluar,” Igor menyemangati. Dia memberikku segelas cokelat hangat. “Aku pasti akan berusaha membantumu, Ivy,”
Kami berdua sedang berdiri di luar gerbang pembatas antara desa dan hutan. Andai tidak ada beban pikiran, pasti menyenangkan menikmati keindahan alam dan mendengarkan nyanyian burung.
“Igor, aku tidak yakin kita bisa menemukan catatan.”
“Belum,” koreksi Igor, “kau dan aku belum menemukan pintu yang tepat. Bukankah Madam Nana dan Penyihir Dorga berpesan bahwa tidak semua orang cukup beruntung menemukan catatan tersembunyi?”
Aku mengangguk. Kusesap cokelat hangat, membiarkan cairan manis membasahi tenggorokkan.
“Ada beberapa hal menarik,” komentarku sembari mengamati ukiran di gerbang. Sepasang merpati dan setangkai mawar. “Dulu keturunan antara peri dan manusia tidak bisa hidup dengan bebas. Mereka diburu oleh kerajaan mana pun, terutama kerajaan sebelum Enua berdiri, dan dijadikan objek sihir. Darah mereka diperas, energi mereka diisap habis, dan sebagian yang tidak memiliki sihir pun menjadi objek bangsawan.”
“Manusia pada masa itu memang liar,” Igor mengakui. Dia mengambil daun yang menempel di rambutku. “Aku bersyukur kau hidup di eraku, Ivy.”
Seharusnya wajahku memanas dan aku merasa ada ribuan kupu-kupu terbang di perut. Namun, kegelisahan akibat memikirkan Ray membuatku jengah. Aku tidak bisa membiarkan diriku lengah sedikitpun.
“Igor, aku takut,” ujarku menyuarakan isi hati. “Aku tidak mau mati. Bukan karena ingin menikmati hidup saja, melainkan ... aku tidak mau berpisah denganmu maupun Ayah Joa.”
“Aku pastikan kau akan tetap di sini,” janjinya, “bersama kami.”
Seolah ada lilin dengan sinar mungil dalam hatiku. Aku sempat pesimis dan ragu bisa menghadapi Ray. Namun, menyerah bukanlah jawaban. Aku tidak ingin kembali ke masa tertentu dan harus memulai segalanya dari awal. Tidak ingin melewatkan momen apa pun, terutama mengenai Joa.
Aku meneguk habis cokelat hangat dan berniat meletakkan gelas ke meja, tapi sesuatu tertangkap pengelihatanku.
Kuraih tangan Igor dan mengajaknya berlari mengikuti sesuatu itu.
Sesuatu itu seperti cahaya mungil. Mirip kuning-kunang gesit yang setiap kali kupikir bisa kudekati ternyata justru mengajakku dan Igor lebih jauh. Kami melewati rimbun pohon berkulit hijau dan baunya amat tajam. Jalan yang kami tempuh pun bukanlah jalan utama. Aku berusaha menyibak rimbun semak, dibantu Igor, dan kami semakin dalam masuk.
Desa terlupakan ternyata memiliki sisi lain yang masih belum tersentuh oleh manusia. Aku dan Igor pun terpaku melihat reruntuhan bangunan yang kini dikuasai oleh tanaman. Sejauh mata memandang hanya ada lumut, semak, dan pohon yang tumbuh rapat.
“Bagaimana bisa tidak ada yang mengetahui ini?” tanya Igor.
“Mungkin desa atau siapa pun yang menjadi penguasa di sini tidak menghendakinya,” jawabku dengan napas tercekat. Kulepaskan tangan Igor. Satu-satunya benda yang kubawa hanya gelas kosong bekas cokelat. Sama sekali bukan senjata ampuh. “Igor....”
“Kita perlu tahu, bukan?”
Meski enggan, kuputuskan masuk ke salah satu bukaan. Aroma lumut basah menghajar hidungku. Aku sempat membayangkan spora yang bisa saja mengubah manusia menjadi mayat hidup. Namun, pikiran konyol semacam itu jelas tidak membantu dalam usaha menyelamatkan diri dari pangeran gila.
Tanaman benar-benar menjadi penguasa. Dinding dirambati lumut dan ada akar yang menyembul keluar dari lantai yang retak. Langit-langit pecah, membuat cahaya menghambur masuk, satu-satunya penerang.
“Igor!”
Cahaya mungil yang kukejar melayang di sekitar pecahan jendela. Gerakannya amat aneh, mirip peri usil, lalu cahaya itu menabrakkan diri ke dinding. Cahaya terang meledak dan membuatku silau. Aku memejamkan mata, tidak kuasa menahan diri.
Perlahan-lahan aku berusaha membuka mata, memastikan cahaya telah redup, dan saat pandangan mata telah beradaptasi....
“Igor, apa ini?”
Kami menyaksikan seluruh ruangan berubah. Segala kerusakan telah lenyap. Tidak ada lumut. Tidak ada tanaman mengusik seperti anak kecil usil. Dinding berdiri kokoh, menahan beban langit-langit, dan lantai pun begitu mulus seakan ada sentuhan sihir yang memperbaiki segala kerusakan.
“Ivy,” kata Igor sembari menuntunku mendekati satu altar yang ada di tengah ruangan, “anggap saja kita dipersilakan.”
Aku tidak mendebat. Kami memeriksa altar. Di sana tidak ada buku. Kosong. Namun, tidak benar-benar kosong. Di altar tercetak segala catatan dalam bahasa yang untungnya kumengerti. Penyihir Dorga pernah menasihatiku agar belajar bahasa lama milik penyihir. “Tidak ada salahnya mempelajari ilmu baru,” katanya. Sungguh terbukti benar!
“Ivy, aku tidak bisa membacanya.”
“Untung aku bisa.”
Kuajak Igor ke sisi kanan. Cara baca tulisan dari bahasa lama memang dari kanan ke kiri. Jadi, itulah yang kulakukan.
“Kami mengurung si pendosa,” ucapku membaca kalimat pertama. “Sebab dia mengira bisa menjadi penguasa utama. Yulo tidak menyukai manusia serakah. Namun, si pendosa ini terus saja melanggar pantangan Yulo. Peri campuran tidak bisa kembali ke tanah milik leluhur. Terpenjara oleh tirani manusia. Tidak ada harapan.”
“Ini mirip dengan raja yang dikutuk jadi naga,” ujar Igor.
“Si pendosa ini terus memburu peri campuran,” lanjutku. “Tidak ada yang boleh lolos. Yulo berbaik hati menciptakan suaka bagi darah campuran. Namun, persembunyian terbaik pun tetap terendus oleh si pendosa.”
Terus terang aku tidak suka akhir cerita ini.
***
Selesai ditulis pada 16 November 2024.***
:”) Ternyata bisa selesai juga saya nulisnya. Jadi, saya terbitkan hari ini saja. Ahahahaha. Maaf pendek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...