24. Lamunan

1.1K 52 13
                                    


Tarikan cepat yang Rendi terima dari Aya mengarahkan peluru pistol melesat mengenai perut gadis itu. Aya mengangga, begitu merasakan perutnya seperti dirobek di dalam sana.

Darah segar memuncrat mengenai tangan suaminya. Kedua bersaudara itu lantas saling tatap panik, Rendi juga tidak menyangka kalau Aya akan melakukan hal itu. Dirinya hanya ingin menembak kepala Deka bukan Aya.

Matanya memerah menahan rasa sakit luar biasa, tak terbendung air mata ikut turun seolah menggambarkan betapa tersiksa dirinya saat ini. Tubuhnya seketika lemah, ia meringis meraih tangan sang suami yang tak kunjung sadar.

Nafasnya mulai tersengal-sengal, bibirnya ia gigit kuat.

"K-kak, A-Aya minta maaf." Lumuran darah membasahi tangan Deka. Cowok itu duduk dengan posisi tertunduk, sedangkan istrinya tengah berjuang hidup dan mati di depannya.

Darah semakin banyak keluar, mengotori kaos oversize yang Aya pakai. Tubuhnya susah payah bergerak demi meletakkan kepala di paha suaminya.

"Aya gak kuat, sakit b-banget."

"Waktunya singkat ya. Harapannya pengen bahagia selamanya bareng kakak, taunya Aya pergi duluan kak."

"Semoga kakak cepat tau kebusukan kak Rendi dan Eva. Aya mati karena mereka, Aya tuh sebenernya gak mau kak Deka jadi duda. Aya mau hidup lama bareng orang yang aku sayang, tapi mungkin waktunya jadi sia-sia dan gak ada harganya. Karena Aya belum sepenuhnya ngerasain itu."

"Kalau Aya mati, kakak jangan nikah lagi ya." Tangan Deka yang tergenggam kini berada di pipi gadis itu. Sebagian wajahnya terlumuri darah, Aya tidak peduli. Satu tangannya masih berusaha menahan darah agar tidak keluar lebih banyak.

Nyawanya bahkan tidak akan lama lagi, Aya tau. Bibirnya pucat sekaligus bergetar, genggaman di tangan Deka semakin mengerat.

"Kalau selama hidup, Aya ngeselin dan nyusahin kakak, maafin ya. Semoga kakak sadar ya kalau selama ini Aya tuh cinta banget sama kakak. Aya posesif karena gak mau kakak direbut sama siapapun, kalau kak Deka berubah itu kayak sakit banget kak. Aya gak mau. Selain kedua orang tua aku, kakak orang kedua yang paling aku sayang," tuturnya dengan terbata.

"Kak, kalau Aya mati sekarang. Tolong kabarin Kak Rin sama Disa ya, jangan sedih lama-lama. Nanti aku gak tenang di sana, Aya juga bakalan sedih kalau kalian sedih. Kak Rin sama Disa, Aya mau bilang kalau kalian sahabat terbaik buat aku. Kak Rin, orang yang selalu belain aku, nenangin aku. Aya gak punya kakak, tapi pas kakak Serin ada Aya ngerasain kasih sayang seorang kakak. Kak Rin baik-baik ya, jaga kesehatan. "

"Untuk mamiku tersayang, semoga mami bahagia selalu. Aya banyak salah sama mami, maafin ya mi. Aya gak nyangka bakal secepat ini nyusul papi, tapi seenggaknya rindu Aya selama ini terobati. Kalau mami rindu Aya, jengungin aja di makam. Semoga Aya hadir di mimpi mami."

Sebelum berbicara panjang lebar, Aya menyempatkan diri mengambil ponsel lalu merekam semua ucapannya. Dan sekarang rekamannya sudah selesai.

Pasokan oksigen menipis, mata sayunya perlahan tertutup.

"Aku cinta kakak selamanya."

Ketokan pintu dari luar sontak membuyarkan lamunan buruk yang Aya alami. Ia terperanjat lalu segera membersihkan diri, kemudian membuka pintu toilet.

Terpampang sosok Deka yang menatapnya intens.

"Lo gak papa kan?" tanya Deka khawatir.

Aya tersenyum tipis. Lamunan tadi sukses membuat suasana hatinya kacau. Tanpa meninggalkan jawaban, dirinya malah melewati sang suami menuju ranjang.

Deka mengikuti dari belakang, mengamati tingkah gadis itu dari dekat. Alis tebalnya mengerut pertanda ia tak menyukai sikap cuek yang ia terima dari sang istri.

USAI? (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang