Zenith membuka pintu kamarnya dengan terburu-buru. Sebuah tas yang lumayan besar ia sampirkan di bahu dan salah satu tangannya menggenggam kuat tangan sang adik kembar untuk diajak bergerak cepat. Keduanya harus pergi sebelum bangsa vampire menyadari keberadaan mereka.
"Kita akan ke mana?" Tanya Niana sembari menunggu sang kakak mengunci pintu flat kecil yang sudah mereka tinggali selama beberapa tahun.
"Busan." Ucapan singkat Zenith membuat Niana terdiam mematung.
"Apa kita akan pulang?"
Suara Niana terdengar bergetar, membuat si pemuda yang sejak tadi sibuk langsung memberi perhatian penuh pada sang adik.
"Ya, kita akan pulang. Di sini sudah tidak aman."
"Tapi bagaimana jika mereka datang?"
Zenith terdiam, semua tempat sudah tidak aman untuk mereka. Jadi, ia hanya berfikir untuk kembali ke negri mereka yang sudah hancur lebur, berharap tidak ada bangsa immortal yang akan berkunjung ke tempat yang sudah sangat lama ditinggalkan tersebut.
"Lebih baik kita pergi terlebih dahulu, aku akan memikirkan sisanya nanti."
"Zenith, kapan kita bisa hidup dengan damai?"
Pertanyaan dari Niana membuat Zenith yang masih berusaha mengunci pintu flatnya tercenung. Di lubuh hati paling dalam, Zenith tentu saja sangat menginginkan kebebasan seperti kata si adik kembar namun sejauh apapun ia menerawang, tak ada kilas kebebasan yang menghampiri mereka. Maka dari itu, ia kembali ke kenyataan. Kembali berusaha mengunci pintu flat yang terasa sedikit pelik karena terlalu terburu-buru. Zenith tak ingin banyak berharap.
"Ayo kita pergi."
Niana tak menjawab, gadis itu menurut saat Zenith menarik lembut lengannya. Memasrahkan diri pada perlindungan sang kakak, meninggalkan harapan yang sedikit demi sedikit menumpuk di hatinya.
Kedua kakak beradik itu berjalan menelusuri trotoar jalan dengan langkah yang terburu-buru. Si pemuda yang memimpin jalan tak berhenti menarik lengan sang adik agar keduanya bisa berjalan lebih cepat.
"Zenith aku lelah."
Benar saja, detik berikutnya suara batuk menggema di tengah jalan yang lumayan sepi. Zenith langsung memutar tubuhnya, melihat sang adik yang tengah terbatuk hebat. Satu tangannya yang bebas menutup mulutnya.
"Kau baik-baik-" ucapan Zenith tak selesai begitu melihat banyak noda darah di telapak tangan sang adik sesaat setelah si cantik mengulurkan tangannya yang tadi digunakan untuk menutup mulut.
Zenith panik luar biasa, segera membawa sang adik duduk di halte yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Mata rusa yang nampak begitu menawan itu menatap khawatir keadaan sang adik yang tiba-tiba seperti ini setelah sekian lama.
"Niana, sajak kapan kau kembali muntah darah seperti ini?"
Si gadis nampak tak mau menjawab, tertunduk lesu dengan kedua tangan yang saling menggenggam dengan erat.
"Jawab aku Niana!" Suara Zenith meninggi, sontak membuat sang adik sedikit terkejut namun tetap tidak memiliki keinginan melontarkan jawaban.
Oleh sebab itu, Zenith dengan sigap meraih tubuh sang adik kembar. Membawa tubuh kecil itu ke dalam gendongan nya.
"Zenith aku bisa berjalan sendiri." Lirih Niana.
"Diam lah atau aku akan marah. Kita harus cepat pergi agar aku bisa mengobati mu."
Langkah zenith kembali dibawa menyusuri trotoar. Berniat pergi ke stasiun bawah tanah yang akan membawa mereka ke busan, tempat pintu segel menuju dunia mereka, ia letakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glimpse [Nomin]
FanfictionNa Jaemin, seorang aktor dengan banyak skandal dibuat terkejut dengan kedatangan sosok Lee Jeno yang tiba-tiba memanggilnya 'ratuku' dan bersikukuh membawanya 'pulang'. Entah 'pulang' kemana yang Jeno maksud karena Jaemin tak merasa mempunyai rumah.