BAB : XI

115 58 24
                                    

Klik votenya dulu teman!

READY MASTER?!

□■Happy Reading■□

•Color of Catur•
°Sweet memory°

Matahari begitu terik memancarkan sinarnya, padahal ini baru jam 10 pagi. Raka sampai harus menggunakan payung untuk melindungi tubuhnya yang kini tengah berdiri menunggu seseorang tepat didepan pagar rumahnya.

Tak berselang lama, gadis dengan rambut sebahu yang memakai dress hitam selutut keluar dari pagar rumahnya disusul gonggongan anjing yang mengantarnya sampai depan rumah.

"Gue pergi dulu, jaga rumah ya Jhon."

Guk!

Anjing itu menyahut sambil menggoyangkan ekor pendeknya.

Gadis itu sedikit kesusahan membuka pagar rumahnya yang besar dan tinggi, karena ia membawa buket bunga juga bunga sekar untuk ditabur.

Raka dengan sigap membantu gadis tersebut, menyimpan barang bawaannya ke mobil. Kalung salib yang setia melingkar di lehernya berkilauan saat terkena panas terik matahari, membuat Raka salah fokus.

"Maaf ya gue repotin lo," ucap Silla tak enak hati.

"Ayo masuk, disini panas," ajak Raka sambil memayungi Silla.

Setelah Silla masuk Raka menutup payungnya. Lalu masuk dan tancap gas. Tujuannya adalah pemakaman Rietta.

"Kemana Zanayya emangnya?" Silla penasaran. Pasalnya, ia hendak meminta Zanayya untuk mengantarkannya ke makam Rietta, karena orang tuanya menitipkan bunga segar untuk ditabur di makam Rietta.

Ia meminta izin pada Raka untuk mengajak Zanayya mengantarnya, tapi Raka menolak ia beralibi bahwa Zanayya sedang sibuk, supaya ia yang mengantar Silla. Biarlah Zanayya bersama Cakra asal jangan sampai rabies.

"Di rumah om Setya, ngebahas soal kasus itu," alibi Raka sambil fokus mengemudi.

Silla hanya mengangguk ber-oh ria saja. Sambil memainkan handphonenya. Samar-samar pantulan Raka terlihat lewat layar handphone yang baru saja ia matikan.

Cool.

Sebuah senyum kecil terbit di bibir Silla, ia terus memandang pantulan itu tanpa bosan sepanjang jalan.

Raka yang merasa diperhatikan menoleh, tatapannya tepat pada layar handphone Silla. "Gue tau gue ganteng," ceplos Raka membuat Silla terperanjat.

"Narsis," cibir Silla.

Raka terkekeh, "gue ada disamping lo, kalo mau liat mah liat aja."

"Apasih lo! Gue gak liatin lo lewat layar handphone juga," sangkal Silla.

"Gue gak sebut lo liat gue lewat layar handphone tuh."

Mampus!

Silla kehabisan kata-kata, ia lebih memilih membuang muka, menatap jalanan yang lumayan ramai. Raka terkekeh melihat hal itu.

Sesampainya di pemakaman, Silla menaburkan bunga juga meletakkan buket bunga mawar putih segar titipan orang tuanya. Pohon mawar yang sempat Raka tanam diantara makam kedua orang tuanya pun sudah menunjukkan tumbuh kembangnya.

Mereka tak lupa mendoakan dengan caranya masing-masing. Silla menyatukan kedua telapak tangannya sedangkan Raka menadahkan kedua tangannya. Silla menoleh sejenak pada Raka yang berdoa sambil memejamkan matanya.

Sebuah senyum getir terulas di bibirnya, mengingat tembok besar begitu membentang kokoh diantara mereka. Sulit sekali untuk diruntuhkan.

Raka menoleh pada Silla yang termenung setelah doanya selesai. "Sil." Raka menyentuh pundak Silla, takut jika Silla kerasukan.

Color of CaturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang