BAB : XXXIII

30 14 23
                                    

VOTE, KOMEN!

READY MASTER?!

□■Happy Reading■□

•Color of Catur•
°Penipu handal°

"Ciko adalah anak saya."

Kelereng mata Zanayya bergulir menatap Arthur penuh selidik. "Saya sudah klarifikasi hal itu kemarin," imbuh Arthur berusaha meyakinkan.

Tatapannya beralih pada Cakra yang diam seribu bahasa. "Jadi, tuduhan wartawan itu bohong, kak?" tanya Zanayya.

Anggukan samar Cakra lakukan, terpaksa. "Kenapa kakak gak bilang dari tadi? Kak, cita-cita aku ini jadi pengacara, dan bunda bilang aku cocok jadi pengacara karena aku bawel. Aku sanggup bungkam mulut mereka yang udah sebar fitnah soal kakak."

Cakra tersenyum tipis, tersirat rasa bersalah dan kagum dalam satu waktu. "Makasih."

Tangan Zanayya terulur mengusap lengan kekar Cakra, "jangan sedih lagi ya kak," ucap Zanayya.

Senyum terbaik Cakra tunjukkan, lagi-lagi terpaksa. Hatinya gundah, karena terus berbohong demi menutupi kebohongan lain. Kemarin Cakra mencecar Raka karena ia berbohong, kali ini giliran dirinya.

Cakra menjilat ludah sendiri.

Mobil tiba di pekarangan rumah Zanayya, Cakra keluar untuk membukakan pintu Zanayya, "maaf aku gak bisa mampir, dikantor masih banyak kerjaan," kata Cakra.

Zanayya mengangguk seraya melambaikann tangan.

"Stop pak stop." Raka heboh sendiri saat sampai di rumah, ia takut supir Cakra tak berhenti, padahal itu adalah pak Aji. Ia sudah mengetahui lokasi rumah Zanayya.

"Heboh banget," cibir Zanayya saat Raka keluar dari mobil.

"Takut dibawa kabur," bisik Raka.

Zanayya memutar bola matanya jengah, "makasih ya pak Aji," ucap Zanayya dengan seulas senyum.

"Mari non," pamit pak Aji.

"Kamu kenal?"

"Kenal atuh," balas Zanayya sambil merangkul tangan Raka, "hayu masuk, Nayya kangen bi Ratih."

°•°•°

Brak!

Pintu kamar dibuka secara kasar mengejutkan pemilik ruangan. Tatapan Cakra begitu nyalang pada seorang wanita yang tengah menggantungkan baju kedalam lemari.

"CAKRA!" Setya membentak putra semata wayangnya itu, perilakunya benar-benar tak terpuji.

Cakra meyngambil langkah masuk menghampiri Jenni, jarinya menunjuk tepat dihadapan wajahnya. "Saya peringatkan anda sekali lagi. Jangan pernah ikut campur dengan urusan dan kehidupan pribadi saya. Di keluarga da Silva, anda hanya seorang pendatang dan istri dari Setya da Silva, karena sampai kapanpun saya tidak akan pernah menerima anda sebagai seorang ibu pengganti."

Setya bangkit dari tempat tidurnya, berdiri tepat didepan Cakra seolah menjadi tameng bagi istrinya. "Cukup! Ini keterlaluan. Kamu kenapa, Cakra?"

"Tanya sama istri papa itu! apa yang udah dia lakuin sama perusahaan kita." Cakra menggebu, jiwanya meronta ingin mencabik-cabik Jenni saat itu juga.

Setya menoleh, "apa yang kamu lakuin, Jen?"

"A-aku gak berbuat apapun, mas. Cakra baru pulang dari Jepang dia langsung nuduh aku gitu aja, kamu kenapa Cakra? Kita bicarain baik-baik ya nak," tutur Jenni, rautnya bingung.

Color of CaturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang