"Ini vendor yang barusan beneran nggak mau dibayar habis event aja?" Tanya Satya yang baru saja masuk kedalam mobil dan memasang sabuk pengaman.
"Nggak kayak biasanya. Seolah mereka nggak percaya sama kita, ya kan?" Sahut Windy yang duduk di kursi belakang bersama Dino.
"Bener. Kayaknya yang tadi orang baru. Ganti yang nge-handle, ganti peraturan juga kali. Padahal kita udah sering pake vendor yang ini."
Seno yang sedari tadi sibuk pada ponselnya akhirnya ikut menimpali, "It's okay, guys. Selagi harganya nggak naik nggak masalah." Lalu tersenyum menenangkan.
"Yang penting masalah vendor udah beres, jadi kita tinggal ngurusin sisanya aja. Okay guys?"
Satya mengangkat bahu lalu mengangguk.
"Mau langsung balik kantor kan? Apa mau beli makan siang dulu?" Tanya Satya sambil melirik sisi kanan kiri mobil melalui kaca spion, sebelum memundurkan mobil dan melajukannya pada jalanan kota Jakarta.
"Langsung balik aja, Sat. Kata Clara kita udah dipesenin makan sama anak-anak. " Sahut Dino setelah membuka group chat kantor.
Perjalanan dari tempat meeting ke kantor The One sebenarnya tidaklah terlalu jauh. Kalau bukan karena bertepatan dengan jam makan siang perjalanan bisa saja ditempuh cukup dalam setengah jam perjalanan. Tapi yang namanya macet mau bagaimana lagi.
Satya mengetuk-ngetukkan jarinya pada roda kemudi, sesekali kepalanya juga ikut mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang diputar Windy di dalam mobil.
"Lagu siapa nih? Boleh juga." Tanya Satya.
"Kaleb J"
"Hah? Scallop?"
"Kaleb, Satya! Kaleb. God! Do I need to spelling out for you? k-AI-l-uh-b, kale-b."
Satya mendengus mendengarnya, "Yes, ma'am. Understood. Kaleb. Right?" Yang dibalas Seno dan Dino dengan kikikkan pelan.
"By the way, judulnya apa?"
"Di balik pertanda. Kenapa? Lo relate sama lagunya?"
"Nggak. Suka aja."
"Kalo relate juga nggak apa-apa kok, Sat. Kita kan temen lo nih, ya. Udah kayak saudara malah. Ya kan, Mas Seno?"
Seno tersenyum dan mengangguk saja mengikuti apapun yang sedang dilakukan Windy.
"Tuh, jadi lo boleh banget kalo mau curhat. Anggap aja kita saudara lo. Siapa tau kita bisa bantu ngasih solusi kan."
Satya mengangguk dan mendengus panjang, "Excuse me? Ini kenapa gue rasanya kayak lagi dipojokin, ya? Kayak lagi diinterogasi." Keluh Satya yang dibalas ketiga temannya dengan kekehan.
Meskipun begitu, Satya paham temen-temennya itu hanya sedang menggodanya saja. Karena memang dirinya tidaklah terlalu banyak menceritakan kehidupan pribadinya, bahkan pada mereka yang sudah cukup lama mengenalnya.
Toh buat apa. Nggak ada spesial-spesialnya. Orang Satya aja aktivitasnya cuma di rumah sama di kantor.
"Eh eh... itu si Hana kenapa?" Ujar Windy yang berhasil mengembalikan fokus Satya saat mobilnya mulai memasuki area kantor.
"Kok digebukin pake tas? Brutal banget lagi."
Satya menautkan kedua alis tebalnya, mengamati kemungkinan apa yang sedang terjadi sampai-sampai Hana diamuk seseorang sebrutal itu.
Hana ketahuan maling? Nggak mungkin.
Ketahuan nggak balikin utang? Nggak mungkin juga.
Kemungkinan paling lumayan masuk akal sih....Hana sedang dilabrak? Tapi kan setahu Satya, Hana nggak punya pacar. Apa diam-diam emang punya pacar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Colleague, Brother or Lover?
أدب نسائيFrom colleague, became brother, and ended up being a boyfriend? Is it possible? Written in Bahasa