35: Di Ujung Jalan

35 13 2
                                    

Riko berdiri di depan kelas, menatap sekeliling. Suasana kelas yang tadinya berisik seketika menjadi hening saat Riko mengucapkan kata-kata pertamanya.

"Mohon perhatiannya teman-teman," ucap Riko dengan suara lantang. Ia menggerakkan tangannya ke arah papan tulis dan mengetuknya. Bunyi ketukan itu menarik perhatian semua siswa yang berada di kelas.

"Ok, jadi berdasarkan informasi yang gue dapat dari Pak Satya. Jadwal latihan kita untuk acara class meeting sekolah tetangga. Dimulai besok sore dari jam empat sampai jam setengah enam."

"Latihannya cuma besok aja Rik?" tanya Tiara.

"Latihannya setiap hari Selasa sama Jumat. Dan untuk perlombaan class meeting-nya dimulai lagi 2 minggu. Jadi gue harap kita bisa semaksimal mungkin untuk pertandingan kali ini," ujar Riko.

***

Sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Riko sehari sebelum menjelang latihan, kini Barsha tengah bersiap-siap sebelum menuju sekolah. Ia memandangi cermin, menata rambutnya yang masih berantakan setelah bangun tidur.

"Yah, Barsha pamit dulu ya," pamit Barsha
Ia menyalami punggung tangan Ali.

Ali mengangguk pelan, "Iya nak, hati-hati di jalan."

"Iya Pak," jawab Barsha.

Barsha melangkah keluar rumah, menghirup udara sore yang sejuk. Ia kemudian berjalan menuju perkarangan rumahnya, lalu mengambil motor milik sang ayah yang terparkir di sana. Motor butut itu seolah menjadi teman setia Barsha dalam menjelajahi jalanan kota.

Gadis itu pun melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang, membelah keramaian jalanan kota. Suara mesin motor berpadu dengan kicauan burung yang merdu, menciptakan simfoni yang menenangkan. Butuh 45 menit bagi Barsha untuk sampai ke sekolah.

Tiara yang sedari tadi menunggu di pinggir lapangan, berlari ke arah Barsha yang kini sedang memparkirkan sepeda motornya.

"Lo kok lama banget?" tanya Tiara, suaranya menggambarkan kebingungan.

Barsha menggelengkan kepala dan menampilkan senyum yang lebar, sehingga kedua matanya menyipit. "Sorry ya, Ti, gue nggak bisa kalau ngebut pakai motor ini. Udah butut soalnya. Kalau gue paksain, takutnya mesinnya nggak kuat," ujarnya.

"Yaudah, mendingan kita ke sana aja sekarang, lagi bentar latihannya mau di mulai," ucap Tiara sembari menarik pelan pergelangan tangan Barsha. Nada suaranya sedikit mendesak, menunjukkan kecemasan karena waktu latihan sudah hampir mulai. Matanya menatap arah lapangan sekolah.

"Baiklah anak-anak, sebelumnya bapak ucapkan selamat sore dan terima kasih atas partisipasi kalian semua hari ini. Jadi ini semua udah pada datang atau sebagian belum ada yang datang?" tanya Pak Satya. Ia menatap sekeliling lapangan mencoba menilai jumlah siswa yang hadir di latihan sore itu.

Suasana lapangan seketika menjadi hening. Para siswa menatap satu sama lain, seolah mencari jawaban yang tepat.

"Di hitung aja pak," usul Syifa.

Hampir 7 menit berlalu, suara teriakan anak-anak menghitung jumlah yang hadir akhirnya terhenti. "Oke, jadi totalnya ada 61 murid yang hadir hari ini," ucap Riko dengan suara yang jelas.

Pak Satya mengangguk dengan senyum puas. "Bagus, anak-anak. Berarti sebagian besar sudah hadir," ujarnya sembari tersenyum puas melihat keseriusan anak didiknya. Namun, senyum itu seketika menghilang saat matanya mencari seseorang yang tidak ada di antara mereka.

"Bumigora Prameswara ini yang belum datang, kira-kira kalian tahu dia di mana?" tanya Pak. Tetapi, keheningan yang menjawab. Seolah tak ada yang tahu keberadaan Bumigora.

BUMIGORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang