Aksa menatap miris cowok yang kini terbaring lemas di bangkar rumah sakit. Aksa memalingkan wajahnya di kala mendengar nada dering telfon dari saku celannya. Ia pun beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan ruangan untuk menjawab panggilan telfon dari nomor yang tak dikenal itu.
Bersamaan dengan itu, jari-jemari Bumi bergerak, perlahan kedua matanya mulai terbuka. Bumi memegang bagian belakang kepalanya yang masih terasa sakit.
Bumi menatap sekeliling, binggung untuk sesaat mengapa dirinya bisa berada di rumah sakit. Namun setelah ia menginggat kejadian kemarin, cowok itu berganti posisi menjadi duduk. "Gue harus nolongin Adel," ujar Bumi, di saat hendak melepas infus yang mengalir pada urat nadi, dengan cepat Aksa menghentikan aksi pemuda itu.
"Gue harus tolongin Adel!" ucap Bumi, berusaha menepis kedua tangan Aksa yang menahan sebagian tubuhnya.
"Lo harus tetap di sini!"
"Mana mungkin gue bisa di sini sedangkan Adel belum di temuin!"
"Gue tahu! Tapi Lo harus tetap ada di sini, kalau lo tetap maksain diri Lo, buat cari Adel dengan kondisi seperti ini, itu sama dengan artinya nyakitin diri Lo sendiri!" Aksa berusaha membuat Bumi mengerti, namun mengetahui sifat Bumi yang aggak keras kepala membuat Aksa keolahan sendiri.
"Gue nggak peduli, gue harus cari Adel sekarang!"
Aksa terpaksa menghadang jalan Bumi karena tidak ada cara lain untuk menghentikan pemuda keras kepala itu.
"Aksa minggir!"
Aksa menggelengkan kepalanya, dengan kedua tangan yang sengaja di rentangkan. "Aksa...Gue mohon minggir!" mohon Bumi berdiri hanya bertumpu dengan satu kakinya.
Tak ada cara lain, Bumi mendorong cukup keras Aksa yang membuat tubuh pemuda itu terhempas pada dinding rumah sakit. "Sial!" decak Bumi, menyesali perlakuannya pada Aksa yang cukup kasar.
Bumi berjalan dengan tertatih-tatih, cowok itu berusaha tetap berjalan dengan kondisi kaki sebelah kanan terkena luka tembakan.
***
David mengembuskan nafas gusar, "Gue kasihan sama Adel, kok bisa ya nasib dia begini," ujar David merasa iba dengan nasib malang gadis itu.
"Mau gimana lagi Vid, jalan takdir nya memang kayak gitu, mungkin aja ini yang terbaik dari Tuhan." Reza berusaha untuk tetap berfikir positif dari kejadian tragis kemarin.
"Tapi tetap aja Za...di sisi lain gue kasian sama Bumi. Lo bayangin aja betapa hancurnya semisalnya Bumi udah sadar dan tahu kalau jasad Adel belum ketemu sampai detik ini--"
"Jasad?" Keduanya tersentak disaat mendengar suara yang tak asing pada pendengarannya.
David memukul mulutnya sembari mengupat di dalam hatinya. Bumi, cowok itu berjalan ke arah Reza dan David berdiri sembari menatap nanar ke arah keduanya.
"Jasad siapa yang lo maksud?" tanya Bumi sambil menarik kerah kemeja putih yang di kenakan oleh David.
Mendengar ucapan Bumi, David menggelengkan kepalanya cepat, "Maksud lo apa?!" tanya Bumi berusaha menahan amarah yang sedari tadi kian memuncak.
"Bukan gitu maks-- maksud gue Bumi," ucap David berusaha menyangkal.
"Gue tanya sekali lagi Vid...Jasad siapa yang lo maksud!" Bumi tak bermaksud membentak David, namun dengan melihat tatapan mata serta bagaimana cara David menjawab pertanyaan nya membuat Bumi terpaksa melakukannya agar David mau berkata jujur.
David tak ada pilihan lain, ia menatap ke arah Reza sembari memasang muka pasrah melihat hal itu Reza hanya bisa mengelus lembut dadanya.
"Jadi sebenarnya...berdasarkan hasil penyelidikan semalam, polisi menyatakan kalau jasa-- eh, maksud gue Adel kemungkinan besar jatuh keseret arus sungai," kata David.
Bumi perlahan melepas kedua tangannya dari kerah kemeja David. Cowok itu tak percaya dengan apa yang di dengar nya. Seingatnya kemarin malam tubuh Adel tergeletak di sampingnya dengan berlumur darah.
Cowok itu berlalu dari hadapan Reza dan David bergegas, menuju lokasi kejadian. Melihat hal itu David dan Reza tak punya pilihan selain membiarkan cowok keras kepala itu pergi. "Biarin aja dia Rez, kalau nggak lihat pakai mata kepalanya sendiri dia nggak bakalan percaya," ujar David.
"Tapi kondisi dia masih belum pulih!"
"Iya gue tahu! Kita ikutin aja dari belakang caranya," usul David, bergegas menuju parkiran mobil.
***
Di bawah terik matahari, Bumi berjalan menyusuri hutan, berusaha meninggat arah jalan yang ia lewati semalam. Sampai sudut matanya menangkap sesuatu benda panjang berwarna kuning dengan tulisan yang samar pada pengelihatannya. "Apa jangan-jangan." Cowok itu bergegas untuk memastikan, sesuai dugaannya benda yang dilihatnya itu adalah garis pembatas polisi.

Bumi memasuki area terlarang itu, lalu menatap bercak darah kering yang berceceran pada tanah membuat tragedi semalam terekam jelas di dalam ingatannya.
Bumi tak kuasa menahan isak tangisnya, cowok itu menitikkan air mata yang mulai berjatuhan membasahi pipinya.
"Adel..." lirih cowok itu.
Hingga ucapan David terlintas di benaknya membuat Bumi berjalan ke arah sungai guna memastikan seberapa tinggi tebing itu.
Bumi memerhatikan dengan seksama ke arah bawah."Bumi!" panggil seseorang membuat Bumi menoleh kebelakang, dengan mata yang sedikit sebam.
Seorang wanita lantas memeluk erat tubuh Bumi sambil menangis tersendu-sendu.
"Sayang, kamu nggak papa?" tanya Anggi-- mamah dari Bumi.
Bumi menggelengkan kepalanya lesu, sembari menujuk ke arah bawah sana. Melihat hal itu Anggi berusaha untuk tetap terlihat tegar walaupun dirinya tak sanggup untuk menahan air matanya untuk saat ini.
"Ini semua salah Bumi," ucap Bumi dengan tatapan kosong.
Anggi menggelengkan kepalanya pelan, "Nggak Bumi, ini semua bukan salah kamu--- kamu udah berhasil ngejagain Adel selama ini," ujarnya sembari mengelus lembut punggung pemuda itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUMIGORA
Teen FictionBumi, seorang pria yang pernah mengalami patah hati ketika kekasihnya meninggal lalu bertemu dengan sesosok seorang wanita yang membuat hatinya berdebar kembali. Namun, dalam perjalanan mencari kebahagiaan, Bumi harus memutuskan apakah dia akan memb...