39 : Sisi Lain

5 1 0
                                    

Barsha terbenam dalam lamunannya, dunia di sekelilingnya seakan memudar.  Ia tak menyadari bahwa Tiara, sedari tadi mengajaknya berbincang.  Tiara, yang menyadari Barsha tengah terhanyut dalam pikirannya, menggelengkan kepala pelan. Ia pun menyenggol bahu Barsha, mencoba menarik perhatian gadis itu.

“Sha, lo dengar kan gue ngomong?” tanya Tiara, 

Barsha tersentak,  seolah baru tersadar dari mimpi.  Ia mengerjap,  mencoba menjernihkan pikirannya.

“Kenapa,  Ti?” tanyanya balik.

“Kebiasaan nih anak, lagi mikirin apaan sih?” tanya Tiara, suaranya terdengar sedikit kesal.

“Nggak kenapa-napa kok, Ti,” jawab Barsha, suaranya terdengar datar.

“Yakin?” tanya Tiara lagi, menatap Barsha dengan intens. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh sahabatnya.

“Hmm ... izinin gue ke toilet ya, Ti,” jawab Barsha, seolah menghindar dari pertanyaan Tiara. Ia beranjak dari tempat duduknya, melangkah menuju pintu kelas.

Tiara pun beranjak mengikuti Barsha, niatnya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sebelum ia bisa menyusul Barsha, tangannya ditarik oleh Akmal.

“Ti, ke kantin yuk,” ajak Akmal.

Tiara mengerutkan kening, hatinya dipenuhi rasa gundah dan kebingungan, “Hmm,” gumamnya, suaranya terdengar ragu.

“Ayok Ti,  keburu rame kantinnya,”  desak Akmal,  mencoba menarik Tiara agar mau ikut dengannya.

Tiara pun meanggukan kepalanya, lalu mengikuti arah Akmal mengajaknya menuju kantin. Namun tatapan gadis itu tak teralih menatap punggung Barsha yang kian menjauh.

Barsha berjalan di koridor namun pikirannya masih melayang jauh, terhanyut dalam lamunan tentang kalimat bertinta merah di balik foto semalam. Ia seakan terjebak dalam dunia lain, lupa akan kenyataan di sekitarnya.

Tiba-tiba, ia merasakan nyeri di pundaknya.  Ternyata, ia baru saja menabrak salah seorang siswa yang berjalan di depannya.  Barsha tersentak, matanya membelalak karena terkejut.  Ia mengusap pundaknya yang terasa sedikit sakit, kemudian berbalik untuk meminta maaf.  Wajahnya terlihat panik.

“Maaf kak,” ucap Barsha sembari membungkukkan tubuhnya sedikit.

Cowok yang baru saja ia tabrak, menatap ke arah Barsha, “Bukannya lo yang ngasih biskuit itu ya?” tanyanya.

Barsha perlahan mengangkat pandangannya.  Gadis itu membulatkan kedua bola matanya sempurna saat mengetahui sosok yang sedang berdiri di hadapannya sekarang, “Iya kak,”  balas Barsha. Gadis itu mengutuk dalam hati,  bagaimana ia bisa melamun di kala sedang berjalan.

Aksa nampak mengangguk pelan, “Thanks,  tapi maksud dari ucapan lo kemarin apa?” tanya Aksa.

“Yang mana kak?” tanya Barsha,  bingung.

“Bantuin di jalan?”  jelas Aksa.

“Oh itu ...” Belum saja Barsha melanjutkan kalimatnya, terlihat Tiara berlari ke arahnya.

Dengan ngos-ngosan Tiara mengatakan kalimatnya, “Barsha,  buruan ke kelas sekarang,  guru udah datang.”

“Hmm ... Kak Aksa, gue ke kelas dulu ya,  permisi.” Tiara yang melirik ke arah Aksa,  hanya tersenyum kecil. Lalu menarik pergelangan tangan gadis itu agar berlalu menuju kelas.

***

Udara pengap menyelimuti ruangan tanpa ventilasi.  Sekawanan cowok duduk di sofa lusuh, punggung mereka menempel pada sandaran yang mengelupas. Mata mereka tertuju pada benda yang berserakan di atas meja biliar.

Adit bangkit dari duduknya, mengambil benda itu, dan mengacungkan ke arah ketiga temannya, “Gue yakin ini surat ancaman!  Kalaupun bukan surat ancaman, kenapa bisa surat ini kita terima pada waktu yang sama!?” Adit menghempaskan amplop merah itu di atas meja biliar, suaranya bergema di ruangan yang sunyi.

“Gue setuju sama Adit,” timpal Reza,  menguatkan pernyataan Adit.

“Mungkin aja yang ngirim surat itu Rangga?” David menebak, namun suaranya terdengar ragu. Mereka semua merasa tak punya musuh lain selain geng Rangga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 10 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BUMIGORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang