Bab 22: Jiwa Ku telah Mati namun Ragaku Tetap disini

129 52 6
                                    

"Jiwa ku memang mati tetapi raga ku tetap ada di dunia ini."

Happy Reading
__________________

"Bumi!" Suara itu memecah kesunyian koridor, membuat sang empu menoleh, matanya menangkap sosok Adit yang masuk ke dalam kelasnya.

"Di tungguin tuh sama anak-anak dikantin, kecuali Aksa," ujarnya.

Bumi mengangguk, lalu beranjak dari tempat duduknya, menuju ke tempat yang di beritahukan oleh Adit.

Saat keduanya berjalan melewati koridor, suasana seketika menjadi hening. Seakan-akan, udara pun menahan napas. Tak ada seorang pun yang berani menatap Bumi, matanya yang hitam legam seperti jurang maut, memancarkan aura dingin yang membuat siapa pun merasa takut. Mereka hanya bisa menunduk, menghindari tatapan Bumi yang seolah-olah bisa menembus jiwa mereka.

"Keren banget yak, kalau gue jadi elu!" ujar Adit, sengaja mengalihkan pandangannya, menghindari kontak mata dengan Bumi.


Bumi mengernyit, "Maksud lo?"

Langkah Bumi terhenti. "Jangan pura-pura nggak tahu deh Bumi, lo itu populer banget di sekolah ini dan masuk ke dalam kategori siswa yang paling di takuti," papar Adit, menatap dalam netra cowok itu, namun ia tak sanggup lama-lama menatap mata itu. Mata hitam legam Bumi, tajam seperti pisau. Adit buru-buru mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Bumi yang membuatnya tak nyaman.

Bumi tak bergeming, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju kantin. Suasana hening masih menyelimuti koridor, seolah-olah mereka berdua berjalan di atas karpet merah, diiringi oleh keheningan. Hingga sampailah mereka di kantin, di mana teman-teman mereka sudah menunggu sedari tadi.

"Lo lama bener dah Bumi! Gorengan nya udah duluan masuk ke perut gue," ucap Reza, sambil mengunyah tempe goreng dalam mulutnya. Hanya beberapa gorengan yang tersisa di piringnya.

Kantin, tempat yang selalu ramai, bahkan saat ujian berlangsung, merupakan tempat yang paling dinanti-nanti ketika bel istirahat berbunyi. Aroma makanan yang menggugah selera, suara tawa dan canda, serta keriuhan obrolan menjadikan kantin sebagai oase bagi para siswa yang lelah belajar.

Namun, bagi sebagian orang, kantin justru menjadi tempat yang menyebalkan, terutama bagi Aksa. Sejak mereka naik ke kelas dua belas, Aksa lebih memilih menyendiri di perpustakaan, berteman dengan tumpukan buku ilmiah, ketimbang menghabiskan waktu di kantin yang ramai. Ia lebih suka menyelami dunia pengetahuan, ketimbang menikmati keramaian dan hiruk pikuk kantin.

D

isaat yang lainnya sedang asyik bercangkrama, tiba-tiba Bumi melempar kertas usang berwarna kekuningan ke atas nakas. Kertas itu tampak rapuh, dengan tulisan samar yang tergores di permukaannya. Sontak, ketiga cowok itu menoleh.

Tanpa berbasa-basi, David meraih kertas itu dan membaca isi yang tertulis didalamnya. Matanya menyipit tajam, rahangnya mengeras, dan tangan kirinya mengepal erat. Bibirnya bergerak pelan, membaca setiap kata dengan penuh amarah.

"Lo kenapa?" tanya Reza, suaranya sedikit gemetar, matanya tertuju pada ekspresi David.

"Brengsek emang tu orang!" decak David.

Reza pun mengambil alih surat itu dan membacanya bersama Adit yang berada di sampingnya. Kening Adit berkerut, matanya menyipit tajam saat membaca kalimat demi kalimat.

"Jadi...keputusan lo gimana?" tanya David setelah membaca isi surat tersebut. Suaranya bergetar, penuh amarah.

"Kita harus kumpulin semua anak buah, sekarang!" jawab Reza, matanya berkilat tajam.

BUMIGORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang