3. Awal Pertemuan

87 31 77
                                    

Now play :
🎶 Jaz - Dari Mata

_______________00_______________

Suatu sore yang teduh, Alan berdiri tinggi di tengah kerumunan mahasiswa yang memadati aula utama kampus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suatu sore yang teduh, Alan berdiri tinggi di tengah kerumunan mahasiswa yang memadati aula utama kampus. Dia sedang memberikan pengarahan untuk aksi demonstrasi yang sedang direncanakannya. Suaranya yang tegas dan berwibawa membuat semua orang terpana, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Kawan-kawan, kita semua berkumpul di sini bukan sekedar untuk mendengar ceramah kosong! Tapi kita di sini untuk menyadari satu kenyataan yang sering terlupakan-kesenjangan sosial di negeri ini semakin meluas, dan itu bukan sekadar angka di atas kertas. Itu adalah kehidupan yang nyata. Kehidupan yang diwarnai dengan ketidakadilan!"

"Apa kita akan menjadi bangsa yang membiarkan saudara-saudara kita tenggelam dalam kemiskinan, sementara segelintir orang terus menumpuk kekayaan? Atau, kita akan menjadi bangsa yang bangkit, melawan ketidakadilan ini, dan memperjuangkan sistem yang lebih adil bagi semua orang?"

Alan berhenti sejenak, memberi ruang bagi audiens untuk mencerna kalimatnya. Suara bisikan dan gumaman mulai terdengar dari penonton.

Di tengah kerumunan, tak jauh di tempat Alan berdiri, seorang gadis berambut hitam sebahu, Mila Puspita Aroem, mahasiswa dari Fakultas Pendidikan Guru, berdiri di antara teman-temannya. Meskipun tidak sepenuhnya memahami permasalahan politik yang sedang hangat-hangatnya, tapi ada sesuatu tentang semangat Alan yang menarik perhatiannya.

Alan, pemuda itu berbeda dengan mahasiswa fisipol lainnya. Selain kharismatik, idealismenya membuatnya terlihat berwibawa. Mila, yang biasanya lebih fokus pada dunia pendidikan, merasakan ketertarikan baru pada isu-isu sosial yang dibicarakan Alan.

Setelah menyelesaikan pidatonya, Alan, pandangannya berkelana menyapu seluruh ruangan. Mata mereka bertemu ketika Mila mengangkat tangannya untuk bertanya. Tidak hanya Alan, bahkan seluruh mata tertuju pada gadis itu.

Waktu seakan berhenti sejenak, seolah rotasi bumi juga ikut berhenti berputar. Tatapan mereka terkunci. Dalam hitungan detik, Alan langsung terpesona, rasanya ada sesuatu yang berbeda dari tatapan gadis itu—sebuah rasa yang tidak biasa dan sulit diungkapkan oleh kata-kata.

Senyum tipis muncul di wajah Alan. "Ya, silakan." sambutnya, dengan suara sedikit lembut.

Di tengah-tengah rasa gugupnya, Mila berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Aku tidak begitu mengerti soal politik, tapi... apa kakak yakin semua ini akan membawa perubahan?" tanyanya.

"Terima kasih atas pertanyaannya. Ijinkan saya menjawab... perubahan memang tidak bisa kita rasakan dalam waktu singkat, tapi setiap langkah kecil yang kita ambil bersama-sama, hari ini, setidaknya membuat mereka teringat akan kesalahannya dalam mengatur negara. Dan saya yakin, jika kita terus berjuang, pada akhirnya kita akan mencapai tujuan itu."

Tatapan Mila masih terfokus pada Alan, dan untuk pertama kalinya merasakan apa yang Alan rasakan—keinginan untuk membuat negaranya menjadi tempat yang lebih baik. Bukan negaranya yang sekarang, yang dipenuhi drama oligarki.

-00-

Setelah pertemuan di aula itu berakhir, Mila merasakan hatinya bergetar dalam ketidakpastian yang menyenangkan. Meski ia mencoba kembali ke rutinitas hariannya, namun pikirannya terus mengarah pada pemuda yang penuh semangat itu—Alanta Willie.

Ada sesuatu dalam diri Alan yang begitu memikat hatinya, seperti daya tarik magnet yang menarik setiap lapisan jiwanya ke dalam pusaran asmara. Seolah-olah setiap senyuman dan tatapan Alan menyentuh sisi relung hatinya, membangkitkan perasaan yang begitu kuat hingga membuatnya merasa terjebak dalam perasaan cinta yang baru pertama kali ia rasakan.

"Sepertinya... aku jatuh cinta pada laki-laki itu." Lebih tepatnya, Mila sedang jatuh cinta pada pandangan pertamanya. Cinta pertamanya.

Mila tak pernah menyangka bahwa pertemuan singkat itu akan meninggalkan bekas yang begitu dalam. Setiap kali ia menginjakkan kaki di sekitar aula utama kampus, harapannya selalu menggebu—apakah dia akan melihat laki-laki itu lagi? Rasa penasarannya semakin besar, dan Mila mulai mengamati sekitar kampus, menanti kehadirannya walau harus melihatnya dari kejauhan.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang