39. Kekhawatiran Yang Terabaikan

10 9 3
                                    

Malam ini Alan berbaring di tempat tidurnya, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam ini Alan berbaring di tempat tidurnya, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Pikiran tentang Nana, penusukan, dan semua kejadian yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir terus menghantui pikirannya. Rasa gelisah itu membuatnya tak bisa memejamkan mata, meskipun tubuhnya terasa lelah.

Beberapa kali, Ambu masuk ke kamarnya untuk sekedar mengingatkannya. "Alan, sudah malam. Kamu harus istirahat, Nak. Kalau kamu nggak istirahat, pemulihan kamu bisa makin lama," tegur Ambu lembut sambil duduk di tepi ranjang.

"Alan nggak bisa tidur, Ambu."

Ambu menghela napas, menyelimuti Alan lebih rapat dan berkata, "Jangan terlalu banyak pikiran, Alan. Limpa kamu sudah tidak sehat. Kamu janji sama Ambu, pulangnya kamu untuk istirahat, kan?"

Tak lama kemudian, ayah muncul di ambang pintu, menyandarkan diri di dinding sambil melipat tangan di dadanya. "Bener kata Ambu. Tidur dulu, Nak. Yang terjadi biarlah terjadi, sekarang fokus ke pemulihanmu dulu, baru ke rencana berikutnya."

Namun, meskipun sudah diperingatkan berkali-kali oleh orang tuanya, Alan tetap tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus berputar, terjebak dalam berbagai skenario yang membuatnya semakin sulit untuk merasa tenang. Di satu sisi, dia tahu tubuhnya butuh istirahat, tapi di sisi lain, pikirannya tak bisa berhenti mengingat semua yang telah terjadi.

Alan menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, tapi kegelisahan di dalam dirinya justru malah terus bertambah.

-00-

Keesokan paginya, Alan masih tertidur lelap setelah semalaman gelisah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan paginya, Alan masih tertidur lelap setelah semalaman gelisah. Malam itu, Ambu yang merasa kasihan dengan kondisi anaknya, secara diam-diam mencampurkan obat penenang dengan dosis ringan ke dalam air minumnya Alan. Pagi harinya.

Ambu merasa lega ketika mendapati Alan masih terlelap di kamarnya, napasnya terdengar teratur, setidaknya tubuhnya bisa mendapatkan waktu istirahat sebanyak yang ia butuhkan.

Di ruang makan, Ambu dan Ayah duduk sambil sarapan. Suasananya terasa tenang, tapi raut wajah Ambu menunjukkan kekhawatiran yang berat. "Ambu nggak bisa terus begini, Yah..." kata Ambu membuka percakapan, matanya berkaca-kaca, menatap kosong ke arah piringnya.

Ayah menghela napas, sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. "Sudah... jangan terlalu dipikirkan dengan serius, Ambu. Nanti Ambu malah ikutan sakit."

Ambu menghela, lelah. "Ayah lihat sendiri kan, anak itu keras kepala?! Jelas-jelas tubuhnya butuh istirahat. Kalau kita nggak bertindak tegas menjaga kesehatannya, Ambu takut Alan jadi drop."

Ayah menunduk, berpikir sejenak. "Ayah tahu, Ambu... tapi Alan bukan anak kecil lagi. Dia punya tanggung jawab atas hidupnya. Dan tentang idealisme, pasti nggak mudah bagi Alan untuk diam saja di rumah."

Ambu menggeleng, tatapannya seolah sedang memohon akan sesuatu. "Justru itu alasannya, kenapa Ayah harus lebih tegas padanya. Alan terlalu banyak memikirkan hal-hal besar; politik, demonstrasi, semuanya. Padahal tubuhnya butuh waktu untuk pulih, dan Ayah juga tahu dia nggak boleh terus-terusan memaksa tubuhnya untuk melakukan itu. Alan gak boleh terlalu capek, Yah!"

Ayah terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan. "Baik, ayah akan bicara pada Alan. Ayah akan pelan-pelan menyampaikannya, jangan sampai ke khawatiran kita malah membuatnya merasa terkekang dan stres."

Ambu tersenyum tipis, lega mendengar respons suaminya. "Terima kasih, ayah. Ambu cuma ingin yang terbaik buat Alan."

Ayah meraih tangan Ambu di atas meja "Ayah juga. Kita akan jaga Alan bersama-sama."

Mereka melanjutkan sarapan dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikirannya tentang cara terbaik untuk menghadapi situasi ini tanpa merusak semangat idealisme dan kesehatan Alan.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang