22. Politik Mengusik Ketenangan Hati

13 9 0
                                    

Di bawah naungan gerimis malam, setelah menonton di bioskop, Alan dan Mila duduk berdampingan di kedai pecel lele Mang Asep. Di tengah kesederhanaan malam itu, lagi-lagi Alan membahas politik dengan semangat yang tinggi. Perbincangan tentang isu-isu terkini dan kebijakan pemerintah membuat suasana makan malam yang semula tenang menjadi tegang.

Mila merasa suasana yang tadinya hangat dan akrab kini terganggu oleh diskusi yang serius dan penuh perdebatan, seolah segala perhatian Alan tertuju hanya untuk dunia politik, bukan pada momen yang seharusnya mereka nikmati bersama.

Mila adalah sosok wanita cantik, berkulit putih bersih dengan rambut tebal hitamnya yang sebahu. Dia dikenal dengan pandangan realistisnya, sering kali berpikir jernih dan berperasaan dalam menghadapi berbagai situasi. Sehingga, tak jarang sifat cemburunya selalu muncul ketika Alan, kekasihnya, terlalu fokus pada pembahasan politik, terutama saat mereka bersama.

Jadi... wajar saja, jika Mila merasa terabaikan dan kesal karena Alan lebih banyak menghabiskan waktu dan energinya pada isu-isu politik daripada pada hubungan mereka.

"Pacaran kok bahas politik terus, sih?" keluh Mila. "Kita lagi metime, loh!"

"Tapi tetap aja, kita harus peka dan kritis. Jangan asal percaya kalau semuanya sudah beres tanpa kita tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tanggung jawab kita sebagai warga negara tidak hannya memilih di TPS tapi juga tetap harus ikut mengawasi mereka."

"Tapi seharusnya kita nggak perlu khawatir berlebihan soal ini. Kan, negara sudah ada yang mengatur. Ada KPK, ada Kejaksaan-"

"Kadang, masalahnya bukan soal ada yang mengatur atau tidak, tapi bagaimana aturan itu diterapkan. Banyak juga yang punya aturan bagus, tapi pelaksanaannya... kacau! Kamu juga tahu itu, Mil!"

"Iya betul, Mas. Apalagi kalau ada kepentingan pribadi yang lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat," tiba-tiba saja salah satu pegawai pecel lele ikut berkomentar. "Kita sering dengar berita soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, itu bikin kita jadi ragu sama orang-orang yang menjalankan sistemnya."

"Tapi nggak semuanya buruk, kan?" Mila yang semula menatap pegawai itu langsung beralih menatap Alan. "Aku percaya, masih ada orang-orang baik yang benar-benar peduli sama negara ini, kok! Kita nggak boleh berlebihan seperti ini hanya karena ada oknum pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya."

Alan tersenyum tipis. "Tapi kalau bukan dari kita, para mahasiswa, siapa lagi yang akan menyadarkan pemerintah seperti yang kamu bilang ada yang baik itu? tugas kita sebagai mahasiswa nggak cuma ngeritik, tapi juga ikut berkontribusi. Mulai dari hal kecil, dan itu dimulai dari diri sendiri."

Mila menggeleng pelan. "Aku paham kemana arah maksud kamu, Alan. Tapi aku nggak sepenuhnya setuju. Rasanya terlalu naif kalau kita berpikir bahwa pemerintah gak mendengarkan kita. Aku rasa mereka mendengar tapi mungkin ada yang lebih penting dulu, yang harus mereka perioritaskan."

Alan menatap Mila dengan ekspresi kecewa. "Maksudmu, mereka memperioritaskan kepentingan saku mereka sendiri, begitu?"

"Bukan itu maksud aku, Alan. Aku hanya mencoba untuk berpikir realistis. Kalau masalahnya sudah terstruktur dan melibatkan kekuatan besar, apa yang bisa kita lakukan? Perubahan dari bawah nggak akan cukup kalau atasannya tetap tutup telinga dan korup."

Alan menghela napas. "Jadi menurutmu kita harus diam aja dan pasrah?"

"Bukan diam," jawab Mila tegas. "Tapi mengulur waktu untuk mengatur strategi. Diam bukan berarti mundur. Mundur bukan berati kalah juga. Kamu seharusnya bisa paham soal itu. Sambil mengulur waktu, kita cari jalan keluarnya." Sebenarnya ini adalah alibi Mila untuk mengalihkan rasa cemburunya pada ambisi Alan. Namun siapa sangka, ternyata ucapan ini malah menjadi solusi atas apa yang menjadi beban pikiran Alan selama ini.

Alan terdiam sejenak, menunduk sambil merenungi perkataan Mila. Kini keheningan menyelimuti mereka, hanya terdengar suara gerimis di luar. Setelah beberapa saat, Alan akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Mila.

"Kamu benar juga, Mil."

Mila sedikit lega mendengarnya. Mendengar Alan membenarkan dengan ucapannya.

"Alan, kalau memang akhirnya ternyata para pejabat itu mengingkari suara kita, berarti kamu butuh kekuatan yang lebih dari sekadar semangat. Kamu juga perlu strategi dan dukungan yang lebih banyak lagi. Kamu gak bisa bergerak hannya dengan segelintir orang seperti kemarin."

Alan kembali diam, lebih tepatnya mereka terdiam, membiarkan percakapan berikutnya mengendap dalam pikiran mereka masing-masing, membiarkan gerimis mengundang ketenangan dalam diri mereka.

"Mila..." Alan memegang tangan Mila di atas meja. "Makasih, ya... sejauh ini pemahaman kamu tentang politik sangat membantuku untuk mencari tahu langkah seperti apa yang harus aku ambil selanjutnya."

Mila mengangguk, tersenyum dengan tenang. "Sama-sama. Maaf kalau aku tadi sempat terbawa emosi."

"Gak apa-apa, justru aku yang seharusnya minta maaf, karena udah bikin kamu kesal barusan."

Mila mengangguk.

"Jadi, kita damai, kan?"

"Damai."

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang