43. Labirin Tanpa Pintu

11 9 0
                                    

Alan duduk termenung di sudut kamar kosannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alan duduk termenung di sudut kamar kosannya. Masalah demi masalah kian menumpuk di kepalanya—kematian Nana, di khianati pejabat, dan berbagai ancaman yang terus mengintai hidupnya. Alan merasa seperti terjebak dalam labirin cermin tanpa pintu keluar.

Alan benar-benar frustasi. Ia berdiri dan berjalan gontai ke kamar mandi. Tanpa ia sadari, tubuhnya mulai bereaksi, perutnya terasa mual, dan tak lama kemudian, dia muntah. Tangannya memegang sisi wastafel, lalu memandang wajahnya yang pucat di cermin.

Alan merasa semua yang ia perjuangkan demi kebaikan bersama, malah seperti menggali lubang kuburannya sendiri. Di tengah kegagalannya, Alan merenung, bahkan bertanya-tanya pada dirinya sendiri; kenapa setiap perjuangan harus dilalui dengan jalan yang berliku?

Alan kembali ke kamar, duduk di lantai dengan punggung bersandar ke ranjang tempat tidurnya. Alan merasakan sekujur tubuhnya mulai lemas.

Tiba-tiba ponselnya berdering, nama Mila❤ tertera di layar. Namun, Alan hanya menatap layar ponsel itu tanpa ingin menyentuhnya. Alan merasa tak punya kekuatan untuk berbicara pada siapapun.

-00-

Setelah mendengar kabar tentang Alan dari Jesica, dan teleponnya yang beberapa kali tidak kunjung mendapat jawaban, Mila langsung mengambil langkah cepat untuk menemui Alan. Rasa khawatirnya terus mendorong, memastikan keadaan kekasihnya itu baik-baik saja. Sesampainya di depan pintu kosan Alan, Mila mengetuk pintu.

"Alan, ini aku, Mila."

Alan, yang sedang duduk di sudut kamar, hanya menatap pintu tanpa berniat bangun. Ketukan dan suara Mila tidak memberikan dorongan apa pun padanya untuk membuka pintu. Pikirannya masih terlalu kacau, dan Alan tidak ingin berbagi beban yang ia rasakan pada siapapun.

"Alan, aku tahu kamu ada di dalam... kamu, baik-baik aja kan?"

"Kamu pulang aja, Mil!" kata Alan dari dalam kamar kosannya.

Mila terkejut mendengar jawabannya. "Alan, aku cuma mau ada di sisi kamu. Aku khawatir sama kamu."

"Mila, please! Aku lagi nggak mau diganggu untuk sekarang ini!" sahut Alan, suaranya mulai terdengar sedikit keras, dan penuh penekanan. Ia berharap Mila mengerti bahwa ini bukan saat yang tepat untuk dia ada disisinya.

Mila diam sejenak, menelan kesedihannya. Ia tahu Alan sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk, tapi penolakan Alan sungguh telah menyakiti hatinya.

"Alan, kamu nggak harus hadapi semuanya sendirian. Please, libatkan aku juga."

Sunyi, tidak ada jawaban dari Alan. Hanya keheningan yang terdengar dari dalam kamar kosnya. Mila, pada akhirnya dia sadar, kalau Alan memang sedang tidak ingin ditemani. Dengan langkah berat, Mila akhirnya memutuskan untuk pergi. Ia meninggalkan kosan Alan dengan perasaan teriris. Namun di sisi lain Mila juga ingin mengerti, mungkin tidak hari ini, mungkin nanti Alan akan membutuhkan kehadirannya.

Mila pergi dengan tangisnya. Begitu juga dengan Alan, di dalam kamar kosnya, ia menangis. Sesekali mengusap wajahnya dengan gusar, tak kuasa menahan emosi dan beban yang begitu berat ia pikul.

 Sesekali mengusap wajahnya dengan gusar, tak kuasa menahan emosi dan beban yang begitu berat ia pikul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang