46. Jejak Rahasia Nana

15 9 1
                                    

"Ayah, kita mau ke mana?" tanya Alan, kedua alisnya saling bertautan, bingung--sebenarnya kemana dan apa tujuan yang sedang ayahnya rencanakan.

"Nanti, kamu akan tahu jawabannya, Alan," jawab Pak William dengan tenang, matanya tetap fokus mengemudi. Raut wajahnya terlihat datar—nyaris tidak ada ekspresi apapun, membuat Alan semakin penasaran.

Dalam sisa perjalanannya, Alan menerka-nerka ke mana ayahnya itu akan membawanya. Jalanan yang dilalui terasa asing, namun bukan itu yang mengganggu pikirannya saat ini. Ingatannya tiba-tiba mengarah ke Nana—sosok yang kini sudah meninggal, namun kematiannya menyisakan teka-teki. Kematian Nana bukan hanya sekadar kehilangan, tetapi juga menjadi pintu menuju misteri yang harus segera Alan ungkap.

Setelah beberapa jam mobilnya melaju, tiba-tiba Pak William mengarahkan mobilnya menuju jalanan kecil yang cukup sepi. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah sederhana dengan gaya kalasik, jauh dari keramaian kota. Alan tertegun melihat rumah yang ada di hadapannya.

"Ini rumah siapa, Yah?" tanya Alan, berusaha mengenali suasana sekitar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini rumah siapa, Yah?" tanya Alan, berusaha mengenali suasana sekitar.

Pak William tersenyum sambil membuka seatbelt. "Rumah orang yang akan menjawab semua pertanyaanmu." Jawabnya santai.

"Maksud ayah, ini rumah Nana?" tebakan Alan langsung diangguki ayahnya.

"Dari mana ayah tahu kalau ini rumah Nana?"

"Soal itu, nanti ayah jelaskan. Yang paling penting saat ini,  ada yang harus kamu ketahui disana, nak. Tentang semua kebingungan dan rasa bersalahmu."

Alan tertegun, memandang ke arah rumah itu. Nana... rahasia apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?

"Ayo, kita turun! jangan buat mereka menunggu." Ajak ayahnya, tangannya sudah berhasil membuka pintu mobil, dan hendak turun.

"Menunggu?"

"Iya, orang tuanya Nana sedang menunggu kamu."

-00-

Kedatangan Alan dan Pak William disambut oleh orang tua Nana dengan wajah penuh haru. Bagi orang tua Nana, pertemuan ini sangatlah penting karena menyangkut permintaan terakhir anaknya.

"Mari, masuk... maaf, rumah kami terlalu sederhana." Sambut Ibunya Nana dengan sopan, mempersilakan Alan dan pak William untuk masuk ke rumahnya.

Untuk pertama kalinya Alan bertamu ke rumah Nana. Di dalam, rumahnya terasa sejuk dan sangat menenangkan. Angin berhembus lembut, membawa aroma segar dari halaman yang dipenuhi tanaman hijau. Setiap dindingnya menyimpan banyak cerita tentang Nana dan keluarganya yang terukir dari waktu ke waktu. 

Setelah mengobrol banyak hal, ibunya Nana keluar dari kamar Nana, kemudian menyerahkan sebuah flashdisk kepada Alan.

"Ini yang Nana titipkan sebelum dia pergi ke kampus untuk menemuimu." katanya dengan suara parau. "Dia bilang, jika sesuatu terjadi padanya, flashdisk ini harus sampai pada kamu tanpa banyak orang tahu."

Alan memegang flashdisk itu dengan tangan yang gemetar. Perasaan bersalah, sedih, dan penasaran berkecamuk dalam dirinya, saling berbenturan, dan membingungkan. Nana, sepertinya sudah memprediksi bahwa hidupnya akan berakhir. Hal ini membuat Alan semakin yakin bahwa di dalam flashdisk itu kemungkinan besar menyimpan rahasia penting tentang peristiwa yang telah menimpanya. Atau menyimpan jawaban yang selama ini menjadi teka-tekinya Alan.

"Waktu itu ada laki-laki datang bertamu dan menemui Nana. Kami kira itu pacarnya Nana, mereka mengobrol dengan serius dan pelan seolah tidak ingin terdengar oleh kami. Setelah itu, tiba-tiba saja Nana meminta ijin untuk kembali ke kampus... tapi wajah Nana terlihat gelisah, seolah-olah sesuatu sedang terjadi padanya." kali ini bukan ibunya Nana yang bicara, tapi ayahnya.

"Sebentar," Alan menyelah, "Maaf, tapi Bapak sama Ibu masih ingat seperti apa perawakan laki-laki itu?"

Ayah Nana melirik istrinya sejenak, lalu menjawab. "Kami tidak ingat wajahnya, tapi tidak ada yang mencutigakan dari laki-laki itu. Dia terlihat baik. Bahkan memperlakukan Nana dengan sopan."

Alan manggut-manggut.

"Nana dan laki-laki itu cuma bilang, kalau terjadi sesuatu pada mereka—mereka ingin kamu mendapatkan flasdisk itu. Bapak rasa, Nana ingin kamu tahu sesuatu."

Alan menatap flashdisk itu lamat-lamat. Tekadnya menyuruh Alan untuk segera melihat isinya. Nana, dengan caranya, telah memberikan petunjuk untuk Alan—petunjuk yang mungkin bisa menjelaskan segala sesuatu tentang penusukannya.

"Tapi, Nak Alan... Bapak merasa ada yang aneh dengan kematian Nana. Hasil laporan polisi mengatakan bahwa di tempat kejadian Nana meninggal, tidak ada lagi korban selain Nana."

Alan mengerutkan keningnya, menatap Pak William, ayahnya. Keduanya saling berpandangan. Sepertinya ada yang janggal. Tapi siapa laki-laki yang pergi bersama Nana?

"Padahal, dari rumah Nana berpamitan kembali ke kampus bersama laki-laki itu."

-00-

Di perjalanan pulang, Alan terus memandangi flashdisk yang kini berada di tangannya, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Tapi rasa penasarannya bergelut dengan ketakutan akan apa yang mungkin ia temukan di dalamnya.

"Jadi ini jawaban yang Ayah maksud?" Alan bertanya tanpa menoleh pada ayahnya. Pak William terlihat mengangguk. Alan tahu itu, meskti tidak melihat ayahnya.

"Kenapa Ayah melakukan ini?" Kali ini Alan mengangkat kepala, menoleh ke arah ayahnya.

Ayahnya menatap sekilas ke arah Alan, lalu kembali fokus pada jalan. "Setelah lihat berita tentang kebijakan pemerintah, Ayah merasa khawatir sama kamu, terutama Ambu. Ayah tahu kamu tidak akan tinggal diam, dan Ayah nggak mau pada akhirnya kamu malah menambah masalah baru, tanpa menyelesaikan masalah sebelumnya."

"Jadi... ayah memutuskan pergi ke kampus untuk mencari kamu, tapi kamu nggak ada disana. Ayah juga ke kantor pers kampus dan mencoba mencari informasi soal kamu. Karena ayah yakin kamu pasti sempat kesana."

Alan mendengarkan cerita ayahnya dengan seksama, namun tatapannya terus terpaku pada flashdisk di tangannya.

"Ayah bertemu dengan seorang mahasiswa bernama Jesica, dan dia memberikan nomor telepon orang tua Nana, katanya dia gak sempat memberikan nomor itu ke kamu. Setelah ayah menelpon mereka, ternyata mereka juga sedang mencari tahu keberadaan kamu. Jadi, Ayah putuskan untuk membawamu menemui mereka."

Alan yang sebelumnya terpaku dengan flashdisk di tangannya, mulai menoleh ke arah ayahnya, memandang wajah ayahnya dari samping. Dalam hatinya, Alan  merasa beruntung memiliki ayah yang begitu peduli pada anak-anaknya. Dan Alan, tanpa bantuan ayahnya, satu per satu masalahnya tidak akan selesai.

"Tapi Alan..." ternyata cerita ayahnya belum selesai. Alan masih memandang ayahnya.

"Saat orang tua Nana bilang ingin bertemu kamu, ayah langsung ingat dengan insiden penusukan yang kamu alami. Ayah rasa ini bukan sekedar kebetulan, dan ayah ingin kamu tahu ini dan dengar langsung dari mereka."

Alan mengangguk pelan, lalu kembali menatap flashdisk itu. Kini, semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya perlahan mulai menemukan jawabannya. Alan semakin yakin, bahwa kebenaran pasti akan selalu jadi pemenangnya. Semoga file yang ada di dalam flashdisk tersebut, bisa menjawab semua teka-tekinya.

_Bersambung_

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang