17. Kekuasaan Yang Terancam

10 9 0
                                    

Di ruang kerjanya yang megah, rektor Universitas Garuda, Pak Bima, tampak kesal. Pukulannya ke meja kayu jati di depannya menggema di ruangannya. Di hadapannya, ada Pak Mada, dekan fakultas FISIPOL-berdiri dengan wajah tegang, menunggu reaksi lebih lanjut dari sang rektor.

"Kamu dengar itu?!" bentak Pak Bima, matanya menatap tajam ke arah Pak Mada. "Telepon barusan dari DPR! Mereka sudah tidak bisa lagi mentolerir aksi demo yang dipimpin oleh mahasiswa kalian. Bagaimana bisa ini terjadi lagi? Bukankah kita sudah sepakat untuk menghentikan aksi-aksi ini sebelum merusak nama baik kampus?"

Pak Mada menunduk, berusaha merespons dengan nada tenang meskipun di dalam hatinya juga ikut kacau. "Saya sudah berusaha, Pak. Tapi Alan dan kelompoknya, mereka sangat keras kepala. Mereka tidak terpengaruh oleh ancaman atau larangan dari pihak kampus. Aksi demo darurat kemarin terjadi begitu cepat, dan tidak ada cukup waktu untuk menghentikan mereka."

"Begitu cepat?" Pak Bima berdiri dari kursinya, berjalan ke arah jendela sambil menggertakkan giginya. "Apa kamu tahu betapa seriusnya masalah ini? Kalau kita tidak segera ambil tindakan, mereka akan menganggap kampus kita sebagai sarang para pemberontak! Apa kamu siap menanggung risikonya?"

Pak Mada hanya bisa terdiam. Ia tahu bahwa tekanan ini bisa saja mengancam nama baiknya, terutama posisinya yang digadang-gadang di promosikan sebagai rektor berikutnya. Namun, ia juga tahu bahwa mahasiswa seperti Alan tidak akan berhenti begitu saja, terutama dengan ideologi dan pengaruh yang dimilikinya.

Pak Bima berbalik, kembali ke mejanya. "Kamu urus dia," instruksinya sambil melempar sebuah map berisi data salah satu mahasiswa ke atas mejanya. "Pastikan dia mengakhiri komunitasnya, atau jabatanmu yang saya akhiri! Dan ingat, saya tidak sedang bermain-main di sini. Nama baik Universitas Garuda dipertaruhkan!"

"Baik, Pak." Pak Mada mengambil map tersebut.

"Kalau kamu tidak bisa menyelesaikan masalah ini, Mada..." katanya dengan nada rendah namun penuh ancaman, "aku tidak akan ragu mencoret namamu sebagai calon rektor berikutnya."

Mata Pak Mada melebar, seolah tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. "Pak, saya-"

"Jangan coba-coba beralasan!" potong Pak Bima dengan tegas. "Kamu tahu betapa pentingnya posisi ini, bukan hanya untuk kampus, tapi untuk reputasi kita di mata pemerintah. Jika Alan dan kelompoknya terus melakukan aksi-aksi ini, Orang-orang di DPR akan mulai mempertanyakan kepemimpinan kita!"

Pak Mada merasa darahnya berdesir. Selama bertahun-tahun, dia telah berusaha membangun kariernya dengan hati-hati, menjaga hubungan baik dengan para pejabat universitas, mahasiswa, dan bahkan beberapa tokoh politik. Menjadi rektor adalah puncak dari semua upayanya. Namun, ancaman ini-ancaman langsung dari Pak Bima-menghantamnya dengan keras.

"Tapi, Pak, Alan dan Suara Merdeka-nya... mereka terlalu radikal. Mereka sulit dikendalikan. Saya butuh waktu untuk menyusun strategi."

"Strategi?" Pak Bima menyipitkan mata. "Yang saya butuhkan adalah hasil, bukan strategi. Kamu bisa ancam dia, atau apapun itu. Pastikan itu harus berhasil, kalau kamu gagal, lupakan mimpimu untuk menjadi rektor!"

Pak Mada hanya bisa mengangguk, walau pikirannya semakin kacau. Ancaman itu bukan sekadar kata-kata kosong. Pak Bima, sebagai orang yang memiliki kekuatan, bisa saja mengubah harapan yang sudah Pak Mada dambakan selama ini.

Di luar ruangan, Pak Mada menghela napas panjang, tangannya mengepal kuat. Jalan menuju kursi rektor kini terasa jauh untuk di terjal.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang