37. Kedatangan Bung Riki

15 9 2
                                    

Di sore hari yang sejuk, Alan sedang duduk di atas kursi roda sambil menikmati sayur sop buatan Teh Amel. Tiba-tiba terdengar suara pintu di ketuk dari luar. Teh Amel membuka pintu, dan ternyata yang datang adalah Bung Riki, dosen FISIPOL, dosen yang sangat dihormati Alan di kampus.

"Pak Riki, silahkan masuk..." sambut Teh Amel. Dengan senyum ramah dan sikap penuh wibawa, Bung Riki melangkah masuk.

"Terima kasih, kakaknya Alan..."

"Sama-sama, Pak. Kalau begitu mari, saya tinggal dulu. Kebetulan mau ke apotek, tebus obat untuk Alan." Pamit Teh Amel. Bung Riki hanya mengangguk dengan senyum ramahnya.

"Alan, apa kabar? Saya dengar dari teman-teman kampus kalau kamu sudah membaik." kata Bung Riki sambil duduk di hadapan Alan.

Alan tersenyum, meski tubuhnya masih terasa lemah, ia tetap berusaha terlihat kuat di depan dosennya. "Terima kasih, Bung Riki. Alhamdulillah, saya sudah jauh lebih baik sekarang."

"Syukurlah, saya sempat khawatir. Soalnya mahasiswa seperti kamu sangat langka, saya takut gak ada gantinya." Bung Riki berkelakar dengan gestur candanya.

"Bung Riki, bisa aja... Makasih, loh, Bung, sudah jauh-jauh dari kampus jenguk kesini."

Bung riki manggut-manggut, sembari menghela. "Yahhh.... semenjak kamu masuk rumah sakit, saya gak ngampus." Adunya.

"Loh, kenapa? Bung Riki, sakit?"

"Bukan, hanya males saja. Gak ada kamu, kampus gak seru. Saya bete nunggu kabar kamu siuman. Begitu dengar kabar kamu siuman, saya pikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjenguk dan sekalian ngobrol-ngobrol, sudah lama sekali kita gak ngobrol sejak kamu sibuk demo."

Alan hanya tersenyum, merasa tersanjung. Sementara Bung Riki tertawa sejenak, lalu kembali mengamati Alan. "Saya bisa melihat kalau kamu masih belum sepenuhnya pulih. Tapi, saya juga tahu, Alan, semangatmu tidak akan pernah redup. Itu yang saya kagumi darimu. Namun, di balik semangat itu, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."

Alan mengerutkan keningnya. "Sesuatu?"

"Sebuah nasihat." Sambung Bung Riki dengan berbisik. Alan langsung duduk tegak, siap mendengar wejangan dari dosen yang ia hormati.

"Alan, saya rasa kamu sudah tahu bahwa dunia politik itu kejam jika ditangan yang kejam. Tapi yang lebih kejam lagi adalah orang-orang yang tidak hanya terlibat dalam politik, melainkan mereka yang berani memainkan pion dalam permainan ini."

Alan masih setia mendengarkan dengan seksama.

"Mereka ini adalah orang-orang yang selalu memandang manusia sebagai alat-alat untuk mencapai tujuan mereka. Dan saya tahu, kamu sudah mulai menyadari betapa kotornya permainan ini, apalagi setelah apa yang menimpamu."

Alan mengangguk pelan. Kata-kata Bung Riki seakan menguatkan apa yang selama ini ada dalam benaknya. Alan mulai memahami bahwa penusukan yang ia alami mungkin bukan sekadar kebetulan atau tindakan spontan. Melainkan tindakan yang disengaja.

"Orang-orang yang berada di balik pion-pion politik itu..." lanjut Bung Riki, "mereka tidak segan-segan untuk mengorbankan siapa saja. Bahkan orang-orang terdekat mereka sendiri. Dan kamu harus lebih hati-hati. Jangan sampai kamu jadi pion dalam permainan mereka."

Alan terdiam. Ia tahu Bung Riki berbicara sesuai pengalaman, sebagai seseorang yang sudah lama berkecimpung dalam dunia akademis dan politik kampus.

"Lalu, apa yang harus saya lakukan, Bung?" tanya Alan, nada suaranya terdengar sedikit gelisah.

"Pertama, kamu harus cerdas dalam menilai situasi. Jangan mudah terjebak dalam kepentingan-kepentingan yang terlihat mulia di luarnya, tapi isinya penuh dengan jebakan." Saran Bung Riki.

"Kedua, kamu harus memperkuat mentalmu. Kendalikan emosimu, dan jernihkan pikiranmu. Saya rasa, akan ada orang yang akan menggiringmu ke arah yang mereka inginkan, tapi saya akan menekan kamu untuk tetap berpegang pada prinsip kamu sendiri." Masih kata Bung Riki.

Bung Riki menatap Alan dalam-dalam, lalu melanjutkan lagi wejangannya, "Dan yang terakhir, hati-hati dengan siapa kamu bekerja sama. Beberapa orang mungkin terlihat baik di hadapanmu, tapi ketika kamu berada di tengah pusaran permainan, mereka bisa saja berubah haluan. Jangan biarkan dirimu dikhianati oleh orang-orang yang kamu percaya."

Alan merenungkan kata-kata Bung Riki. Ia tahu nasihat itu bukan sekadar ucapan kosong, tapi sebuah peringatan dari seseorang yang sudah melihat banyak hal di dunia politik.

"Saya mengerti, Bung. Saya akan lebih hati-hati ke depannya," jawab Alan, suaranya penuh kesungguhan.

Bung Riki tersenyum tipis, lalu berdiri. "Saya percaya pada kamu, Alan. Kamu punya potensi besar untuk membawa perubahan. Tapi ingat, jalan ini penuh rintangan. Tetaplah kuat, tetaplah cerdas. Dan jangan biarkan siapa pun memghancurkanmu."

Alan mengangguk dengan mantap, "Terima kasih, Bung Riki. Saya akan ingat nasihat Anda."

Sebelum pamit, Bung Riki menepuk bahu Alan pelan. "Jaga kesehatanmu, Alan. Ada banyak hal yang sedang menunggumu di depan sana. Saya harap kamu bisa menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai."

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang