19. Hati Yang Tersisih

10 9 0
                                    

Keesokan harinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya.
Setelah mata kuliah selesai, Alan dan Mila duduk di kantin kampus. Di hadapan mereka ada dua piring nasi goreng dan es teh manis yang baru saja diantar oleh pelayan. Suasana siang itu terasa lebih santai dibandingkan hari sebelumnya, namun keheningan sesekali masih menyelimuti di antara mereka.

Mila mengaduk-aduk nasi goreng di piringnya tanpa semangat, kemudian menatap ke arah Alan yang tampak lahap menikmati nasi gorengnya.

"Jadi... kemarin gimana selama demo disana?"

Alan menoleh, dengan nasi yang pemuh di mulitnya. "apanya?"

"Demonya..." Mila mengulang dengan penuh penekanan.

Alan meneguk es teh manisnya sejenak, kemudian mulai bercerita. "Seru sih, tapi ada beberapa momen yang tegang. Apalagi waktu mahasiswa mulai mendekati barisan polisi. Kita hampir bentrok, tapi untungnya bisa diredam." jawab Alan sambil memotong tumpukan nasi dengan sendoknya sebelum melanjutkan. "Salah satu pejabat keluar, katanya mau dengar aspirasi kita, tapi ya... kamu tau lah, rasanya lebih seperti formalitas. Tapi kita lihat aja nanti hasilnya."

Mila mengangguk pelan, mendengarkan cerita Alan. Dia tahu betapa pentingnya aksi tersebut bagi Alan, tapi kekhawatirannya belum sepenuhnya hilang. "Aku sempat takut bakal ada hal yang nggak diinginkan terjadi, Alan. Polisi kan nggak segan-segan buat bertindak keras kalau situasinya memanas."

Alan tersenyum tipis, mencoba menenangkan Mila. "Aku ngerti kok, Mil. Apalagi disana kan, ada papa kamu. Makanya kemarin kita berusaha biar tetap damai. Aku nggak mau ngelihat teman-temanku terluka, dan aku juga nggak mau kamu khawatir nanti pas lihat di berita."

Mila menatap Alan dengan penuh perasaan. "Aku cuma pengen kamu hati-hati, Alan. Demo memang penting, tapi keselamatan kamu juga lebih penting buat aku."

Alan terdiam sejenak, lalu meraih tangan Mila di atas meja. "Aku--"

"Permisi, maaf, boleh minta waktu kalian ?"

Tiba-tiba, seorang mahasiswi berambut panjang, tersenyum dengan ceria, berdiri di hadapan meja Alan dan Mila. Penampilannya rapi, membawa buku catatan dan ponsel di tangan. Wajahnya tampak antusias, meskipun ada sedikit kecanggungan di matanya saat melihat Alan dan Mila sedang bermesraan.

Mila dan Alan menoleh serempak. Alan tersenyum ramah, sementara Mila sedikit mengerutkan kening, cemberut, merasa kebersamaannya dengan Alan terganggu.

"Aku nggak ganggu kalian, kan?"

Pertanyaan bodoh! Ganggu, lah! Ganggu banget! Sahut Mila dalam hatinya.

"Ada apa, ya?" Tanya Alan.

"Aku Nana, anak Sastra," lanjut mahasiswi itu sambil mengulurkan tangan ke arah Alan. "Aku juga magang di komunitas pers kampus. Aku dapat tugas untuk meliput soal aksi kemarin, dan aku pikir ini kesempatan aku karena kebetulan ketemu kamu disini. Kamu, kan, yang memimpin aksi kemarin, Alan?"

Alan tersenyum dan menjabat tangan Nana. "Oh, iya. Tentu, nggak masalah. Kamu mau wawancara sekarang? Atau-"

"Iya, sekarang aja. Boleh, kan?" Gadis itu memotong dengan cepat.

Mila menatap mereka berdua dengan pandangan sebal, lantaran merasa sedikit tersingkir atas percakapan mereka. Meskipun Alan sudah sering diliput, tapi kali ini rasanya berbeda karena kemunculan gadis itu, kebersamaannya dengan Alan jadi terpotong. Gak sopan!

"Aku cuma butuh waktu sebentar, kok," kata Nana tiba-tiba duduk diantara mereka, membuka buku catatannya.

Mau sebentar, dua bentar, tiga bentar, tetap aja keberadaan lo itu mengganggu kenyamanan mata gue! -Mila terus bergumam, menyahut dalam hatinya setiap kali Nana berbicara.

"Aku ingin tahu lebih dalam soal tujuan dari aksi kemarin, apa yang kamu harapkan dari demo itu, dan apa rencana kalian selanjutnya?" Kata Nana, mulai mewawancarai Alan.

Alan mengangguk, lalu menoleh ke arah Mila sejenak, memberikan tatapan untuk meminta pengertiannya. Mila hanya tersenyum kecil, meski dalam hati ia merasa sedikit cemburu.

Alan menghela nafasnya.

"Oke, jadi...." Alan mulai menjelaskan dengan rinci tentang tujuan aksi demo darurat kemarin. Ia bicara tentang tuntutan keadilan yang diusungnya bersama teman-teman 'Suara Merdeka', hingga usulan dari mahasiswa yang ingin suara mereka didengar, dan harapannya agar pemerintah benar-benar mau menindaklanjuti aspirasi mereka.

Sementara itu, Mila hanya duduk dengan menyilangkan tangan di depan dada, keberadaannya seolah seperti toping bawang goreng dalam kemasan mie instan-kadang dibutuhkan, kadang tidak. Namun kenyataannya, keberadaan Mila tidak dibutuhkan sama sekali.

Mila menatap piring nasi gorengnya yang sudah mulai dingin. Meski dia berusaha bersikap tenang, tetap saja ada perasaan aneh yang menggelayut di hatinya setiap kali matanya melihat Alan begitu asyik bercerita dengan Nana.

Mila sedang cemburu.

"Ganggu banget, sih, ini wartawan gadungan!" Gumam Mila pelan, lalu menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya dengan kasar. Matanya menatap tajam ke arah Alan dan Nana bergantian, seiring gerak bibir yang sedang mereka berdua lontarkan.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang