13. Langkah Menuju Perubahan

19 9 1
                                    

Pagi ini suasana di kampus benar-benar berbeda dari pagi biasanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini suasana di kampus benar-benar berbeda dari pagi biasanya. Alan terlihat sedang bersiap-siap bersama teman-teman seorganisasinya. Almamater warna biru kelasi kebesaran kampusnya terpasang di badan, layaknya baju tempur.

Lapangan kampus yang biasanya ramai dengan mahasiswa, hilir mudik menuju kelas, kini dipenuhi oleh ratusan mahasiswa yang berkumpul untuk mempersiapkan aksi demo. Spanduk besar bertuliskan "Suara Rakyat untuk Keadilan" terbentang di barisan depan, diikuti oleh puluhan poster dan bendera di belakangnya.

Di bawah tiang bendera merah putih yang berkibar, Alan berdiri gagah, didampingi Erik dan juga Dimas di sampingnya. Dia dan beberapa pemimpin aksi sedang mengatur barisan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Suara percakapan, diskusi, dan tawa samar-samar terdengar di sekitar mereka. Ini adalah puncak dari segala persiapan yang mereka lakukan selama berminggu-minggu.

Erik dan Dimas berdiri di samping Alan, memegang daftar peserta aksi dan memastikan setiap orang tahu akan perannya di lapangan.

"Kita nggak bisa main-main kali ini, bro," kata Erik pada Alan. "Polisi sudah tahu rencana kita, dan pasti akan memperketat area gedung dari yang kita duga."

Alan mengangguk, matanya menyapu lapangan, mengamati wajah-wajah penuh semangat yang tengah berkumpul di hadapannya. "Ya, gue tau. Makanya kita harus pastikan semua berjalan sesuai rencana," jawabnya.

Alan, meski terlihat tenang dari luar, tapi di dalam hatinya ia merasakan sedikit kecemasan. Di tengah keramaian, Alan memeriksa ponselnya, ada chat masuk dari Mila.

From: Mila
Hati-hati ya...
Doaku menyertaimu 🥰

Alan menatap pesan itu sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. Ada sesuatu dalam pesan Mila yang membuat hatinya sedikit bimbang, tapi dia tak bisa membiarkan kebimbangan itu menghalangi misinya hari ini.

Maafkan aku, Mila... Aku harap kamu mau mengerti.

Di sekeliling mereka, beberapa mahasiswa tampak sibuk membentangkan spanduk, merapatkan barisan, dan mengatur posisi. Mereka tahu begitu mereka bergerak keluar area kampus, akan ada banyak kemungkinan yang menerpa-ada kemungkinan bentrokan, ada kemungkinan ketegangan dengan aparat, dan ada juga kemungkinan bahwa suara mereka tidak akan didengar. Tapi Alan, seperti yang banyak orang ketahui, tekadnya begitu kuat, baginya diam bukanlah pilihan.

"Sudah siap?" tanya Dimas, memecah lamunan Alan.

Alan menoleh ke arahnya, mengagguk, lalu tersenyum tipis. "Sudah."

"Rik! Ayo, kita mulai sekarang." Alan langsung memberi tanda pada Erik yang ada di depan barisan Mahasiswa. Sementara Erik yang melihat perintah Alan, langsung mengangguk, dan perlahan barisan mahasiswa mulai bergerak, keluar dari gerbang kampus menuju lokasi demonstrasi-Gedung DPR.

Suara teriakan slogan dan nyanyian perjuangan yang mereka ciptakan mulai menggema, semakin keras dan kompak seiring mereka melangkah maju.

Di tengah keramaian itu, Alan berusaha fokus akan semua tujuannya di depan Gedung DPR nanti. Namun, di sudut pikirannya, ada satu kekhawatiran yang tidak bisa sepenuhnya ia lupakan: tentang Mila.

Yel-Yel para mahasiswa yang ikut demonstrasi terdengar menggema di jalanan, mengalihkan atensi siapa saja yang ada di jalanan tersebut. Bahkan beberapa warga turut memberikan semangat dan dukungan untuk aksi mereka.

Kami melangkah di jalan, tidak takut pada ancaman.
Kami takkan berhenti, karena kami punya kebenaran.
Ribuan suara bersatu, menghapuskan kebohongan.
Kami membawa cahaya,
untuk masa depan yang cerah.

Suara rakyat, suara merdeka,
Bersama kita bawa perubahan.
Dari hati ke hati, harapan ini takkan mati.
Keadilan untuk semua, itu tujuan kami.

Takkan kami biarkan, suara kami tenggelam.
Dari kampus ke jalan, kami sampaikan harapan.
Bersama berjuang, sampai akhir nafas.
Kami adalah pembawa perubahan, suara kami takkan pernah padam.

By: Alan, Dimas, Erik.

_Bersambung_

▪︎

Fyi, nih.. boleh kan? 😂

Betewe..
Yel-yel itu pure Alan yang ciptain. Hasil diskusi bareng sohib-sohib Alan di coffee shop.
Hehe

Terus... Dimas, dan Erik ini nama asli teman nongki aku di dunia nyata yang emang hobi mereka itu tukang protes kalo ada aturan yang gak sesuai sama jiwa idealisme mereka.

Karena sikap kritisnya, di organisasi kami, jabatan mereka di turunin jadi sapras.
Kalian tau nggak? sapras itu level terendah dalam organisasi di lingkup kampus kami. Jadi mereka gak punya hak buat menyampaikan suara lagi dalam hal keputusan organisasi maupun kampus.

Sudah segitu dulu infonya. Salam dari kami, anak-anak fisip yang tinggal di indonesia. Maafin gak bisa bilang kami kuliah dimana, takut ada mahasiswa yang suka baca wp terus satu kampus dan mulai mencari kami.

ya, ketahuan deh nanti penyamaranku.
Wkwk

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang