26. Ambruknya Sang Pahlawan

14 9 3
                                    

Hari-hari berlalu dengan cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Di kampus, Alan tetap terlibat dalam kegiatan dan pertemuan dengan teman-teman dari 'Suara Merdeka', tetapi fokusnya malah melayang memikirkan hubungannya dengan Mila.

Di pojok ruang diskusi, Dimas dan Erik memperhatikan Alan yang sedang murung. Mereka saling bertukar pandang, namun memilih untuk diam. Mereka tahu, ada sesuatu yang terjadi dengan Alan, tapi tak ada yang cukup berani untuk mengusik atau mendekatinya untuk sekedar bertanya.

"Kenapa tuh bocah?" sikut Erik sambil menyedot sisa rokoknya, kemudian membuang puntungnya ke luar jendela.

Dimas mengangkat bahu. "Entahlah, mungkin lagi mikirin hubungannya sama si Mila."

Erik mendesah, "Gila ya, ternyata cinta bisa membuat sang orator jadi tuna wicara kayak gini."

"Ya... begitulah cinta. Bisa bikin siapa saja melambung dan jatuh dalam waktu bersamaan. Gue sih... cuma bisa berharap dia segera balik ke fokusnya di kuliah dan juga di 'Suara Merdeka'. Sekarang, kita biarkan dia sendirian, menyelesaikan masalah pribadinya dulu."

Erik tampak manggut-manggut. Pada akhirnya, mereka berdua memilih membiarkan Alan dan meninggalkannya sendirian di ruang rapat kantor 'Suara Merdeka'.

-00-

Sore itu, setelah pertemuan dengan rekan-rekannya selesai, Alan berdiri sendirian di jembatan kampus. Suasana di sekitar jalan jembatan tampak sepi, hanya ada bunyi aliran sungai yang menemani kesunyiannya. Pikirannya masih penuh dengan kebingungan tentang hubungannya dengan Mila. Ia belum kunjung jua menemukan alasan untuk mempertahan hubungannya di hadapan papanya Mila.

Apakah aku harus berbicara langsung dengan PakTiyo? Mencoba meyakinkan beliau bahwa niatku baik dan juga tulus mencintai Mila?

Atau...

Mungkin aku harus melepaskan komunitas ini untuk sementara dan fokus sampai masalahku dengan Mila selesai?

Alan mulai frustasi memikirkannya, ia meneguk minuman kalengnya. Dalam hati, tekadnya masih bulat bahwa menyerah pada salah satunya bukanlah pilihan yang ingin dia ambil. Tapi di sisi lain, semakin hari hubungan cinta mereka selalu di hadapkan ujian. Cinta mereka semakin penuh dengan rintangan yang semakin sulit untuk diatasi.

Tiba-tiba, teleponnya bergetar di saku. Nama Nana Pers muncul di layar—mahasiswi Sastra yang magang di pers kampus, yang sebelumnya sempat mewawancarainya setelah demo di kantin beberapa waktu lalu.

Sejenak Alan merasa ragu sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu.

Nana : Halo, Alan?
(Suara Nana terdengar penuh energi seperti biasa. Namun kali ini intonasinya seperti orang yang sedang buru-buru)

Alan : Ada apa, Na?

Nana : Aku butuh bicara sama kamu soal artikel kemarin. Ada berita baru yang harus di muat tentang aksi tempo hari dan aku butuh konfirmasi dari kamu langsung. Bisa ketemu sekarang?

Alan menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya.

Alan : Na, sorry... aku... aku lagi nggak bisa kalau sekarang. Aku lagi ada urusan, dan... aku nggak mau diganggu.
(Alan beralasan)

Nana : Oh... kalau begitu, kapan kita bisa ketemu? Soalnya ini penting banget.

Nana terdengar sedikit memaksa, tapi Alan, pikirannya terlalu kacau hingga ia tidak mendengar apa yang Nana minta di teleponnya.

Nana : Hallo, Alan?

Alan : Oh... itu... Nanti aku kabari lagi, ya. Sorry aku harus tutup dulu teleponnya.
(Alan menutup teleponnya)

Alan mulai memikirkan sesuatu untuk menghilangkan kepenatannya. Dia menarik napas dalam-dalam, dan memutuskan untuk beranjak pergi dari jembatan itu. Alan rasa dengan tidur sebentar di kosannya, bisa membantunya berpikir lebih jernih lagi.

Saat Alan mulai melangkah menjauh dari jembatan, tiba-tiba, seorang pria bertopi dengan tergesa-gesa menabraknya dari samping. Orang itu terus berjalan, bahkan tidak sedikitpun menoleh untuk sekedar mengatakan kata maafnya. Alan hendak protes, tetapi orang itu sudah jauh dari pandangannya.

Namun, saat Alan melangkah, tiba-tiba langkah kakinya terasa berat, perutnya juga terasa perih dan sakit.

"Aww.." Alan meringis, sambil memegang perutnya.

Sontak, matanya melebar saat melihat darah segar mengalir di sela-sela jarinya. "Tidak mungkin..." Alan terguncang, tubuhnya mulai lemas. Dia berlutut, merasakan energi semangatnya perlahan memudar, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk.

Orang yang menabraknya tadi... Apakah mungkin dia yang menusuknya?

Rasa sakit di perutnya semakin parah, dan pandangannya mulai kabur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa sakit di perutnya semakin parah, dan pandangannya mulai kabur. Alan berusaha untuk tetap sadar, tetapi tubuhnya seolah menolak perintahnya. Dia berusaha memanggil bantuan, tetapi suaranya terlalu lemah untuk didengar siapa pun di sekitarnya. Alan, kini tergeletak di jalan jembatan. Darah mengalir deras ke seluruh area perutnya, bahkan hingga ke aspal.

Di saat itu, pikirannya terbayang akan orang-orang di 'Suara Merdeka' dan juga wajah Mila. Sesaat sebelum segalanya menjadi gelap, hanya satu hal yang terlintas di benaknya—apa yang akan terjadi setelahnya jika dia tidak bisa bertahan?

"ALAN!!"

_Bersambung_

▪︎

Huuuaaaaaaa 😭
Aku bikin scene ini sambil megang perut, ngarasa ngilu ngebayangin di posisi Alan, gimana rasanya tertusuk, bahkan syok melihat darahnya sendiri yang banyak banget.

Alan.............
please, kamu harus kuat!
jangan tinggalin Suara Merdeka, jangan tinggalin Mila juga... 😥

▪︎

Betewe,
barusan yang panggil nama Alan siapa, ya?
Mila? Nana? Atau Dua sohib reformasinya?

Menurut kalian, kira² siapa?

▪︎

Bonus... 😂

POV : Saat Erik mendapat telepon bahwa Alan menjadi korban penusukan.

POV : Saat Erik mendapat telepon bahwa Alan menjadi korban penusukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang