42. Dikhianati Espektasi

15 9 1
                                    

Alan semakin tenggelam dalam rasa putus asanya. Pencariannya untuk menemukan Nana—mahasiswa sastra yang magang di kantor pers kampus—tidak membuahkan hasil. Hilangnya Nana secara tiba-tiba membuat pikiran Alan dipenuhi dengan banyak asumsi. Apakah ada sesuatu di balik peristiwa ini? atau apakah Nana hanyalah korban dari situasi politik yang sedang memanas saat ini?

Saat Alan hendak meninggalkan kantor pers, tiba-tiba Jesica memanggil namanya. Perempuan itu tampak tergesa-gesa menghampiri Alan.

"Alan! Tunggu!" panggil Jesica di ambang pintu. Alan menoleh.

"Ada kabar buruk?

 "Kabar buruk apa, Jes?" tanya Alan dengan alis mengerut.

Jesica mengatur nafasnya sebelum menjawab. "Nana, dia... meninggal. Kecelakaan motor, katanya."

"Hah? Mata Alan membulat tidak percaya. Waktu seolah berhenti, suara di sekitarnya seakan lenyap, hanya menyisakan gema ucapan Jesica yang mengguncang batinnya. "Meninggal?" Alan mengulang, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Jesica mengangguk pelan, raut wajahnya menunjukkan keadaan yang tidak bisa di definisikan oleh kata-kata. "Info itu baru aja kita dapat dari pihak akademik. Orang tuanya Nana yang menelpon. Mereka bilang, Nana kecelakaan tadi malam... dan nggak selamat."

Alan merasa tubuhnya semakin lemas, kedua kakinya seakan tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Jesica segera memapah Alan untuk duduk di bangku terdekat.

"Alan, are you, okay?"

Alan hanya menganggukan kepala sebagai jawabannya.

"Sebentar, gue ambilkan minum buat lo."

"Gak usah, Jes!" Alan berhasil menahan Jesica yang hendak masuk ke kantornya, "Gue, nggak papa."

Jesica menghela, berusaha untuk mengerti suasana hati yang sedang dihadapi Alan.

Kini rasa penyesalan kembali membanjiri hati Alan—penyesalan karena tidak sempat menemui Nana, yang mungkin pada waktu itu membawa rahasia untuk di sampaikan padanya sebelum penusukan itu terjadi. Kini Nana telah pergi, tidak ada lagi kesempatan untuk mendengar langsung dari mulutnya, tidak ada lagi jawaban yang bisa Alan harapkan.

Alan mengepalkan tangan, merasakan penyesalan yang semakin dalam. "Sekarang, gue gak tahu harus ngapain, Jes?!" suaranya terdengar bergetar.

"Alan, kita semua juga merasa kehilangan Nana. Gue nggak tahu, ada hubungan apa antara lo dan Nana. Tapi tolong, jangan sampai lo menyalahkan diri lo sendiri. Apalagi sekarang lo baru pulih. Lo harus jaga kesehatan tubuh lo, Alan."

Namun, kata-kata penghiburan Jesica seolah seperti hembusan angin yang tidak memberikan dampak apa-apa bagi Alan. Pikiran Alan terus dipenuhi oleh bayangan Nana, dan pesan terakhir yang tak pernah sempat terucapkan dari mulutnya.

-00-

Selang beberapa menit kemudian, televisi di ruang pers kampus menyiarkan berita nasional yang tiba-tiba menarik perhatian beberapa mahasiswa di ruangan tersebut. Pemerintah baru saja mengumumkan kebijakan baru yang telah di sahkan. Namun, saat Alan mendengarkan lebih seksama, kebijakan yang diumumkan bukanlah yang pernah ia diskusikan bersama pejabat yang dia temui saat diskusi di ruang rapat DPR. (scene di part 16)

Alan berdiri, menatap layar tv dengan tatapan kosong. Seketika ia teringat pertemuannya dengan Pak Karim beberapa waktu lalu, dimana mereka sempat berdiskusi mengenai rencana kebijakan yang diusulkan melalui gerakan 'Suara Merdeka,'. Dalam diskusi tersebut, beberapa poin penting yang diangkat oleh Alan dan komunitasnya diyakini akan menjadi bagian dari reformasi, namun kenyataan yang terjadi adalah kebijakan yang disahkan justru mengarah pada sesuatu yang lain—dan mungkin bertentangan dengan apa yang Suara Merdeka sampaikan.

Tangan Alan mengepal kuat, matanya memerah. Kenapa harus uu cipta kerja?

Rasa frustrasi mulai menyelimuti pikirannya. Alan merasa sedang dikhianati—bukan hanya dirinya dan Suara Merdeka, tapi juga seluruh warga nusantara, terutama di Ibu Kota. Kini Alan telah dipermainkan oleh espektasinya sendiri. Alan sadar, ia terlalu percaya diri dengan aksi demosntrasinya, sampai-sampai lupa, dengan siapa ia sedang berhadapan.

"Politik akan rendah jika di tangan orang-orang rendahan seperti mereka!"

-00-

Di tempat lain, Erik dan Dimas duduk di bangku panjang warteg yang sederhana, menikmati sepiring nasi dan lauk-pauk favoritnya. suasana yang awalnya santai berubah tegang ketika mereka mendengar berita dari televisi yang dipasang di pojok warteg tersebut.

"Pemirsa, pengesahan Undang-Undang Ciptaker baru saja dilakukan oleh DPR. Namun hal ini justru malah mengundang perhatian negatif dari banyak pihak lantaran aturan tersebut dinilai menghina politik. Berikut tanggapan dari para pakar politik nusantara." kata penyiar berita.

Erik, yang tadinya sibuk menyantap makanan, tiba-tiba menghentikan sendoknya di udara. "Gila!" gumamnya dengan perasaan tak percaya, matanya terpaku pada layar TV. "Kalau undang-undang ini benar-benar diberlakukan, nasib bokap gue gimana?"

Dimas menoleh ke arah Erik. Melihat ekspresi temannya yang mulai berubah cemas, membuat Dimas semakin geram terhadap beritu tersebut.

Mereka berdua, bahkan orang-orang di area warteg merasa di khianati oleh peraturan tersebut. Mereka merasa gerah, aksi demontrasi dan penyampaian aspirasinya bersama Alan di gedung DPR dua minggu lalu, ternyata sia-sia.

 "Gue nggak ngerti lagi, makin kesini makin ngawur! Mereka pas rapat uu ciptaker ini, otaknya di bawa gak, sih?" Seru Dimas.

"Gini nih jadinya, kalau gak paham pancasila tapi maksa jadi pejabat." Sahut Erik.

"Iya betul, Mas. UU ini bukan lagi aturan tapi ancaman. Aturan ini cuma bikin dompet mereka kembung. Sementara dompet kaum buruh makin hari-makin gede bolongnya." Timpal pemilik warteg, ikut nimbrung.

Dimas dan Erik mengangguk sembari menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Suara Merdeka harus kumpul lagi, nih!" Usul salah satu mahasiswa lain, anggota Suara merdeka, yang juga sedang makan di warteg tersebut.

"Setuju. Suara Merdeka harus kumpul." sejenak Erik menelan kunyahannya. "Mengingat, bokap gue juga kerja di pabrik. Kalau undang-undang ini berjalan, bisa-bisa hak-haknya sebagai buruh terancam. Nggak cuma gajinya, jaminan kesehatannya juga terancam. Begitu juga dengan nasib 19,17 juta buruh lainnya." jelas Erik.

Dimas masih terdiam, berusaha mencerna keresahan orang-orang di sekitarnya.  Benar—Undang-Undang baru ini bukan lagi sekadar aturan, tapi ancaman nyata bagi kehidupan keluarga Erik dan juga kaum buruh lainnya.

"Suara Merdeka harus kumpul lagi, nih!" Usul salah satu mahasiswa lain—anggota Suara merdeka, yang juga sedang makan di warteg tersebut.

"Masalahnya, kita gak bisa berbuat apa-apa tanpa si Alan. Suara Merdeka terasa gelap tanpa lampu penerang." Jawab Erik.

"Alan pasti tahu berita ini, dan dia gak bakalan diam. Dia pasti bakalan datang, kembali ke kita untuk menerangi Suara Merdeka." Sahut Dimas.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang