32. Bangunnya Sang Pahlawan

23 9 4
                                    

Mila kini mulai berani dan setia menjenguk Alan setiap hari di rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mila kini mulai berani dan setia menjenguk Alan setiap hari di rumah sakit. Setiap kali ia datang ke ICU, ia duduk di samping tempat tidur Alan, menatap wajah Alan yang masih pucat. Bahkan dengan jahilnya, Mila mewarnai kuku jemari tangan Alan dengan kutek sambil bercerita.

Hari-hari yang panjang dan penuh kecemasan akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan. Setelah satu minggu berjuang, Alan mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran, matanya perlahan terbuka.

Mila yang sempat terkejut melihat jemari Alan bergerak--matanya mulai berkaca-kaca, menggenggam tangan Alan dengan erat. Seutas senyuman mengembang diwajahnya.

"Alan...?"

Alan perlahan menoleh ke arah dimana suara familiar itu berasal. Meskipun masih sangat lemah, ia berusaha tersenyum di balik masker oksigen yang menutupi sebagian wajahnya. "Mila... " suaranya terdengar serak, hampir tak terdengar.

"Iya, Alan?" Mila membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar lebih jelas.

"Kamu di sini?"

"Selalu... Aku selalu di sini untuk kamu, Alan." Jawaban Mila, meskipun terdengar sederhana, tapi mampu meneteskan kebahagiaan yang tak terbnung di hati Alan, membuat Alan merasa lebih kuat dari sebelumnya.

Alan menatap Mila, matanya yang lelah dan dipenuhi rasa frustrasi terlihat jelas di balik sorot sayunya. Namun, di balik itu, ada secercah kehangatan yang tak mampu ia sembunyikan. Mila selalu ada, menjadi penopang di saat-saat terberatnya. Meskipun Alan merasa tubuhnya rapuh, melihat Mila di sisinya memberinya kekuatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Mila membelai lembut tangan Alan, jemarinya seakan memberikan isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja. Alan merasakan ketenangan sedang mengalir perlahan dalam dirinya, kehadiran Mila mampu mengurangi beban yang selama ini ia pikul sendirian.

"Makasih, Mil..." bisik Alan, kemudian jemarinya berusaha menarik masker oksigen dari wajahnya.

"Alan, jangan!" kata Mila, mencoba memasangnya kembali.

"Aku... hanya ingin bernapas lebih bebas, berbicara sama kamu tanpa penghalang, Mil."

Mila menggenggam tangan Alan dengan erat, kepalanya menggeleng pelan, ragu antara terus memaksanya memakai masker oksigen atau menuruti keamuannya.

"Sebentar, aku panggilkan dokter dulu. Tapi ingat! Jangan menyentuh apapun lagi yang menempel di tubuh kamu!" pinta Mila, berusaha mengingatkan Alan selagi ia pergi memanggil dokter Vera.

Alan mengangguk, pasrah. Sementara Mila, bergegas pergi keluar, memanggil dokter Vera.

"Dokter!" Teriak Mila menyeruak di sepanjang koridor rumah sakit.

"Alan sudah bangun, dok!"

-00-

Keesokan Harinya.

Kini Alan telah di pindahkan ke ruang inap umum. Giliran Ambu dan ayahnya yang bergantian menjaga Alan di rumah sakit, lantaran Mila sedang ada ujian tengah semester di kampusnya.

Suasana di dalam kamar rawat terasa tenang. Alan terdengar meringis, merasakan sakit di perutnya ketika memaksa untuk bangun. Sshh

Ambu yang melihatnya dengan cepat menaruh tangan di bahu Alan, menahannya agar tidak terlalu banyak bergerak. "Alan, jangan terlalu memaksa. Kata dokter, kamu belum boleh bergerak terlalu banyak. Luka jahit kamu masih belum kering." ujar Ambu dengan nada penuh kekhawatiran.

Ayahnya yang duduk di sisi lain tempat tidur hanya geleng-geleng kepala, namun hatinya tetap menyimpan kekhawatiran pada anaknya. "Biarkan saja, Ambu. Alan kan super hero negara kita, luka sepuluh jahitannya sobek lagi pun gak akan membuat dia mati." kata ayahnya dengan nada bercanda.

"Ayah, candanya gak lucu, deh! Super hero juga manusia, punya nyawa satu. Dan kamu Alan, jangan coba-coba melakukan hal yang membahayakan pemulihan kamu." pesan ambunya dengan tegas dan penuh penekanan.

Alan hanya bisa mengangguk pelan, meski rasa frustrasi terpancar dari wajahnya. Ia tahu bahwa keluarganya sedang mengkhawatirkan kondisinya, namun dirinya yang terbiasa aktif merasa sulit menerima kondisinya saat ini.

"Alan pengen pulang, Ambu..."

Ambu tersenyum penuh pengertian, mengelus lembut puncak kepala anaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ambu tersenyum penuh pengertian, mengelus lembut puncak kepala anaknya. "Sabar ya, sayang. Kamu harus fokus dulu untuk sembuh." Sementara Alan memalingkan wajahnya, merasa sedikit kesal.

Hening.

"Anak-anak di 'Suara Merdek', apa kabarnya?" Gumam Alan entah pada siapa, matanya menatap lurus ke arah jendela ruang rawat inapnya.

Pak William yang semula fokus pada acara tv beranjak dari duduknya, dan menyodorkan ponsel ke arah Alan. "Telepon lah dua sahabat reformasimu itu, beri mereka kejutan dan bilang sama mereka kalau pahlawan mereka sudah siuman."

"Ayah!" Ambu yang sedang mengupas buah di sofa, melototi suaminya. "Besok aja, sekarang kamu istirahat, Alan! Fokus pada kesembuhan kamu!" Tegas Ambunya sembari merebut ponsel dari tangannya Alan.

Alan menatap ayahnya dengan tatapan seolah-olah meminta pembelaan. Sementara ayahnya malah mengangkat bahu, tidak mau bertanggung jawab jika lawannya adalah istrinya sendiri.

"Maaf, Alan. Kita harus tunduk pada POLDA." Bisik ayahnya.

"POLDA?"

"Iya, POLDA. Polisi Dapur."

Pak William tak kuasa menahan tawanya, Alan juga ikut tertawa meski terdengar seperti ringisan.

Teh Amel yang duduk di sofa, di samping Ambu, hanya bisa geleng-geleng menyaksikan tingkah ayah dan adiknya sembari mengelus perut yang sedang mengandung anak pertamanya.

_Bersambung_

▪︎

Pov Author :

Aaaa.... 🥺
Senangnyaaa Alan sudah bangun...

Erik dan Dimas harus segera di kasih tahu, kasihan mereka hidupnya kayak zombi di kampus, ditinggal Alan jalan-jalan ke alam lain selama seminggu 🤭

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang