5. Gelombang Suara Ibu Kota

41 12 0
                                    

Now Play :
🎶 Gery Gany - Sesaat Kau Hadir
_______________00_______________

Hari-hari berlalu sangat cepat, dan tanpa disadari, hubungan keduanya semakin erat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari-hari berlalu sangat cepat, dan tanpa disadari, hubungan keduanya semakin erat. Setiap momen yang mereka habiskan bersama terasa seperti sebuah petualangan yang baru.

Hari-hari mereka tidak lagi hanya tentang diskusi serius di aula atau ruang rapat, kini mereka sering menemukan kedamaian di luar hiruk pikuk kampus-menikmati senja di taman, berjalan-jalan sambil berbagi cerita dan impian mereka yang sederhana.

"Mila, kamu tahu, nggak?"

"Apa?" Mila menggelengkan kepalanya karena memang tidak tahu apa yang sedang Alan pikirkan.

"Kehadiranmu seolah menjadi tempat aku pulang setelah menerjang badai yang tak kunjung reda. Makasih... kamu sudah bersedia menjadi rumahku." Kata Alan, berhasil membuat Mila tersenyum bahagia.

Sore ini keduanya sedang duduk di atas rooftop aula Kampus, mengobrol banyak hal sambil memandang hamparan sungai dan atap-atap rumah yang menjadi pemandangan mata mereka. Keduanya merupakan mahasiswa Universitas Garuda, keduanya pun selalu mendapat nilai IPK yang cukup memuaskan.

"Terima kasih juga untuk hal yang sama, Alan, kamu sudah membuatku melihat dunia dengan cara yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya." Mila menatap Alan, begitu pun sebaliknya. Mereka saling memandang, saling melempar senyum untuk waktu yang cukup lama.

Kini hubungan kedekatan Alan dan Mila sudah berjalan satu semester, mereka saling melengkapi—Alan dengan idealismenya dan Mila dengan empatinya. Cinta mereka berkembang dari teman diskusi politik menjadi hubungan yang romantis. Mereka menjadi sepasang kekasih yang saling pengertian dan saling memberi dukungan.

-00-

Alan dan Mila duduk di bangku halte, suasana malam kota terasa sepi karena hujan. Mereka tampak merenung, sibuk dengan pikirannya masing-masing, matanya terpaku pada lampu jalan yang berkedip-kedip di kejauhan.

Alan menghela napas panjang sebelum mulai berbicara, suaranya penuh dengan keputusasaan. "Orang-orang sekarang pada ngomongin isu politik, bahkan pedagang kaki lima sekalipun. Mereka semua merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah yang nggak jelas. Harga barang pokok semakin melambung, pengangguran juga semakin meluas."

Mila hanya bisa diam mendengarkan, ia juga ikut merasa prihatin dengan apa yang dikatakan Alan, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk negaranya. Mila tidak bisa seperti Alan, Mila terlalu takut untuk mengambil resiko. Soal politik, ia cuma ingin cukup tahu saja.

"Aku merasa miris dengan kinerja pemerintah kita yang sekarang. Apalagi melihat beberapa pejabat hobi tidur disaat rapat berlangsung. Wajar jika masyarakat kecil kehilangan kepercayaan pada mereka, dan kita sebagai rakyat biasa merasa seperti kehilangan arah." Masih kata Alan.

Kali ini Mila menoleh ke arah Alan yang duduk di sampingnya, dahinya berkerut karena penasaran. "Maksudnya, hilang arah gimana?"

"Mereka merasa hidupnya seperti tidak punya pemimpin. Pemimpin yang benar-benar pemimpin."

Setuju. Kali ini Mila ikut membenarkan ucapan Alan.

"Kamu tahu kenapa aku tidak melanjutkan sebagai atlet voli?" Mila menggeleng pelan sebagai jawabannya. Tidak tahu.

Alan menatap Mila, wajahnya tampak lelah, dan matanya menyimpan sebuah kekecewaan yang dalam. "Karena mereka terus-menerus berbicara tentang betapa mendukungnya mereka terhadap atlet, tapi kenyataannya berbeda jauh. Banyak dari kita-para atlet yang berjuang keras, berlatih hingga batas kemampuan kita. Tapi, lihat! Bagaimana pemerintah memperlakukan kita? Semua yang mereka katakan di depan media hanya omong kosong belaka, tidak ada penghargaan nyata. Rasanya, semua usaha dan pengorbanan kita hanya dianggap remeh."

"Jadi, kamu merasa tidak ada gunanya jika bertahan di karier atlet?"

Alan mengangguk pelan. "Iya, aku mulai merasa seperti itu. Jika apa yang kita lakukan hanya dianggap sebagai angka statistik semata, lalu untuk apa? Aku tidak ingin menghabiskan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tidak akan pernah dihargai setiap usahanya."

Mila menggenggam tangan Alan dengan lembut, mencoba untuk menetralkan keadaan sekaligus menguatkan. "Kamu bisa terus berjuang atas nama negara kamu, Alan. Meski ada oknum pemerintah tidak menghargai kalian, biarkan dunia yang mengakui perjuangan kalian."

Alan memalingkan pandangannya, menatap langit gelap tanpa bintang-bintang. "Aku terlanjur kecewa dengan mereka, Mil... aku udah nggak bisa melihat kebaikan dari mereka (pemerintah korup) lagi. Sekarang aku ingin berjuang dengan cara yang lain. Aku menginginkan perubahan nyata, bukan hanya sekedar janji kosong dari mereka."

"Lantas, kamu akan kembali menjadi seorang atlet, jika aksi yang akan kamu lakukan ini mendapatkan perubahan?"

Kali ini Alan menundukan pandangannya, seraya menghela berat. "Entahlah, Mil... Yang pasti aku akan bangga jika apa yang aku lakukan ini  ternyata membuahkan hasil, dan mereka (pejabat korup) benar-benar tunduk pada demokrasi."

"Jangan putus asa, Alan... aku yakin ambisimu, dan juga usaha yang sedang kamu perjuangkan, pasti akan membuahkan hasil yang bisa membawa dampak baik bagi masa depan negara ini."

"Aku berharap bisa seperti itu, Mil. Dan semoga Ibu Pertiwi lekas membaik."

Mila juga berharap yang sama seperti yang sedang Alan harapkan.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang