4. Masa Pendekatan

42 13 0
                                    

Now Play :
🎶 Tiara & Arsy - Diam²

_______________00_______________

_______________00_______________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya.

Alan terlihat berjalan santai di koridor kampus, tangannya menenteng dua buku karya Inu Kencana yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan. Selang beberapa saat matanya menangkap sosok Mila yang terlihat duduk di bangku dekat papan pengumuman, matanya menatap bingung ke arah selebaran demonstrasi di tangannya.

Alan yang melihat hal ini sebagai sebuah kesempatan, tanpa pikir panjang segera meraihnya, mendekati Mila dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.

"Hei, kamu mahasiswa yang kemarin bertanya di aula, kan?" Basa-basi Alan.

Ketika Mila menoleh, seketika napasnya tertahan sejenak. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah setiap detaknya terdengar seperti simfoni yang menggema di dadanya, saat dia menyadari bahwa pemilik suara itu adalah Alan—sosok laki-laki yang telah mengisi pikirannya sejak kemarin sore.

Mila mengangguk kaku, tersenyum canggung.

"Aku perhatiin, kayaknya kamu lagi bingung, ada apa?" tanya Alan.

"Oh, ini... Kak-"

"Jangan panggil 'kak', dong!" protes Alan memotong perkataan Mila.

"Tapi, kan, kakak-"

"Alan. Panggil aku Alan. Oh iya, nama kamu siapa?" alan mengulurkan tangannya.

Mila terdiam sejenak, matanya menatap tangan Alan yang terulur ke arahnya. Tentu saja Mila tahu. Siapa sih, di kampus ini yang tidak kenal Alan? Bahkan hampir 1/2 warga ibu kota mengenal Alan. Tapi... apakah aku sedang bermimpi? Alan... dia mengajakku kenalan?!

"Mila." jawabnya, menunduk malu, sembari menyalami tangan Alan.

"Oke, Mila... jadi apa yang bisa aku bantu?"

"Ini, Kak-eh, Alan..." Mila menunjukkan selebaran kertas demonstrasi, yang kemudian Alan ambil.

Alan tampak manggut-manggut. "Ada apa dengan pamflet ini?"

"Aku tertarik dengan itu, aku juga suka dengan apa yang kamu sampaikan kemarin di aula. Tapi, aku gak ngerti tentang politik." adu Mila pada Alan.

Alan tertawa kecil, namun terdengar lembut di telinga Mila. "Nggak masalah. Yang penting kamu punya kemauan untuk mencari tahu. Diawal-awal pasti bakal sulit beradaptasi dari dunia pendidikan ke dunia politik. Gak apa-apa, pelan-pelan saja. Lagi pula kita sama-sama turun ke jalan. Kamu turun mengajar anak-anak jalanan, aku turun ke jalan menghajar pejabat korup."

Dibalik rasa terkejutnya, Mila juga terharu atas keterbukaan Alan. Mila merasa cara penyampaian Alan yang penuh kelembutan dan pengertian membuatnya terasa nyaman, seolah-olah Alan sedang peduli terhadap kebingungannya.

"Makasih sudah mau mengerti, kak-"

"Alan!" koreksi si pemilik nama.

"Oh, iya... maaf, Alan. Tapi, dari mana kamu tahu aku mengajar anak jalanan?"

Alan tersentak karena usahanya yang selama ini diam-diam mencari tahu tentang Mila, terungkap oleh mulut rombeng-nya. Alan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, tanda kebiasaannya saat merasa canggung atau tertekan.

"Ada lah, yang bilang... Eh, masih penasaran dengan politik, nggak?" Alihnya.

Tentu saja Mila mengangguk dengan mata yang bersinar dan penuh harapan. Memang inilah tujuan awalnya, selain ingin menyampaikan aspirasinya mengenai dunia pendidikan, Mila juga ingin lebih jauh lagi mengenal Alan.

"Kalau begitu, kita ngobrol nya di kafe aja, gimana, mau, nggak?" ajak Alan.

"Boleh."

Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kafe yang ada di belakang kampus. Di sana, antara secangkir kopi dan suara riuh mahasiswa-mereka mulai mengobrol.

"Jadi, apa yang membuatmu tertarik pada kegiatan ini?" tanya Alan setelah menyeruput kopi espresonya.

"Awalnya, aku tidak begitu tahu banyak tentang politik. Tapi setelah mendengar pidatomu, aku merasa seperti ada sesuatu yang harus aku lakukan. Aku ingin tahu lebih banyak tentang komunitas 'Suara Merdeka', dan aku rasa ada sesuatu yang penting yang ingin aku pelajari dari komunitas kalian."

Diskusi mereka mengalir dari topik politik hingga ke percakapan ringan. Alan sangat terkesan dengan cara Mila menanggapi dari setiap penjelasannya, sementara Mila terpesona oleh cara Alan menghargainya selama obrolan berlangsung.

"Kamu punya cara pandang yang berbeda dari perempuan lain, Mila. Kadang-kadang, itulah yang kita butuhkah-orang yang mau melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Sepertinya aku akan senang jika berbagi semua ini denganmu." Sanjung Alan, membuat Mila tersipu malu.

"Aku juga senang, karena kamu mau mendengarkan aku dengan sabar. Aku merasa lebih percaya diri sekarang. Terima kasih, ya, sudah membuat aku jadi lebih banyak tahu tentang politik dan komunitas kalian."

Mereka berdua kembali mengobrol lebih dalam, tentang minat pribadi masing-masing hingga keduanya menemukan banyak kesamaan. Seiring waktu, rasa penasaran dan ketertarikan dalam hati mereka semakin tumbuh, mulai dari diskusi serius tentang politik hingga kegiatan saat-saat santai di hari libur.

"Mila... weekend ini, boleh aku ajak kamu jalan?"

Mila terdiam sejenak, bukan memikirkan jawabannya, melainkan ia sedang syok—tidak menyangka, apakah perasaannya sedang dibalas oleh Alan?

Mila akhirnya mengangguk. Mauuuuuuuuuu!

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang