33. Kembalinya Tiga Sahabat Reformasi

12 9 1
                                    

Alan menatap jendela kamar inapnya dengan tatapan kosong. Di luar hannya menampilkan hamparan langit berwarna biru. Waktu semakin siang, sarapan yang terhidang di hadapannya tak kunjung ia sentuh, seolah luka tusuk yang dialaminya membuatnya kehilangan selera.

Pikirannya sedang berkelana kembali ke percakapan terakhir dengan ayahnya sebelum pulang. Ayahnya menceritakan sesuatu yang membuatnya jadi gelisah: Nana, gadis yang membawanya ke rumah sakit, kabarnya menghilang dari kampus.

Kata-kata ayahnya masih terngiang di kepalanya, "Waktu itu... Nana terus menangis di depan ruang operasi, bahkan terus bergumam kalau ini salahnya. Tapi sekarang dia tidak terlihat lagi, ayah rasa ada yang aneh dengan dia."

Alan mengingat kembali momen-momen saat dia ambruk di jalan. Suara Nana yang panik, memanggil namanya, berusaha menolong, masih terpatri jelas di benaknya. Jeritan Nana, yang terdengar begitu putus asa, terus bergaung di telinganya.

Namun, setelah apa yang terjadi padanya, Alan tiba-tiba mendapat kabar Nana menghilang, dan membuat semuanya terasa semakin janggal. Ada apa dengan Nana? Apa yang sebenarnya terjadi hari itu?

Alan meremas selimutnya, hatinya dipenuhi oleh perasaan tidak tenang. Ada sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya, sesuatu yang mungkin hanya Nana yang tahu jawabannya. Alan merasa ada banyak yang belum terungkap di balik penusukannya, dan entah kenapa, nama Nana selalu muncul di tengah pikirannya.

Suasana kamar yang sebelumnya terasa sunyi, tiba-tiba terdengar suara pintu di buka, membuat Alan menoleh ke arahnya, dimana sosok dua sohib reformasinya muncul di balik pintu itu.

"Hey, bro! Apa kabar? Gimana rasanya melawan kritis?" tanya Erik dengan heboh. Alan hannya tersenyum di sela-sela rasa sakitnya sebagai jawaban.

"Syukurlah, gue lega denger lo udah sadar." seru Dimas saat mendekat. Tangannya terlihat menenteng kantong keresek berisi snack dan minuman kesukaan Alan.

Alan seketika merasakan kehadiran teman-temannya ini memberikan energi positif untuk dirinya. "Gimana kabar di kampus?" tanyanya tiba-tiba.

"Yaelah! Udah jadi korban penusukan, masih aja mikirin kampus!" Sahut Erik, sembari duduk di sofa.

"Gue lagi serius, gimana?"

Dimas mengambil kursi dan duduk di samping ranjang Alan. "Kampus jadi ramai banget, Lan! Semua orang khawatir tentang lo. Berita penusukan Lo bikin geger. Tapi ada juga yang bilang lo pahlawan!"

Erik menambahkan, "Iya, orang-orang banyak ngomongin tentang aksi-aksi lo, bahkan ada yang bikin spanduk dukungan buat lo. Suasana rame banget waktu lo kritis, bahkan kita semua ngumpul di depan rumah sakit buat dukung lo biar cepet sembuh."

Alan mengangguk, mendengarkan dengan penuh rasa haru. "Sampaikan makasih gue ke mereka, ya... Next kita adain syukuran keberhasilan demo kita kemarin." ucapnya, suaranya terdengar lemah.

"Gampang! Yang penting sekarang lo fokus dulu sama kesembuhan lo." Erik menyemangati.

"Pokoknya... mulai detik ini, kita akan selalu berdiri di samping lo." Ucap Dimas.

"Betul." Sahut Erik setuju. "Selama lo dalam masa pemulihan, lo cukup kasih kita perintah, biar kita yang melakukannya." Tambahnya.

Alan tersenyum bangga-memiliki teman yang solidaritas dan empatinya tinggi. Seumur hidupnya, Alan baru merasakan kehangatan persahabatan yang tak ternilai harganya bahkan tidak bisa ia tukar dengan emas sekalipun.

"Thanks buat tawarannya. Lagipula urusan 'Suara Merdeka' adalah tanggung jawab gue. Gue kan, ketuanya." Jawab Alan.

"Tanggung jawab kita bersama!" Protes Erik. "Yaudah, lupakan dulu sejenak urusan kampus. Sekarang, mending lo makan gih, kasihan buburnya jadi sedih dicuekin lo terus."

"Gue lagi gak selera, Rik. Makanan di rumah sakit hambar semua."

"Ye!! Kalo mau yang enak, mah... Noh! di rumah makan padang, Lan!" Sahut Dimas, langsung diangguki Erik.

"Jadi, mau lo yang suapin sendiri ke mulut atau gue yang suapin lo?" tawaran Erik seketika terdengar seperti sebuah ancaman.

Alan berdecak, "Iya, gue makan sendiri aja. Tangan lo bau asap rokok, soalnya!" Alan merebut sendok dari genggaman Erik.

"Sembarangan! Gue udah di seteril dulu, Lan. Lo gak cium tangan gue wangi antis gini?"

"Iya, Lan... gue saksinya. Sejak lo di rumah sakit, si Erik gak pernah ngerokok. Terus ni, ya... tadi aja di kosan dia mandi pake satu ember palcon handsanitizer, bahkan dicampur sama tablet kaporit." Sahut Dimas, melemparkan ledekan pada Erik.

"Kampret lo, Dim! Elo tuh, yang mandinya pake kaporit, makanya putih banget tubuh lo!"

"Yee, bilang aja kalo lo iri... Gue mah putih juga alami, daripada elo, sawo setengah mateng, setengah busuk!"

"Sawo mateng juga enak, kali!! Warna kulit yang begini, nih... yang selalu jadi incaran para wanita."

Alan hanya bisa geleng-geleng, tertawa kecil, melihat dua sohibnya itu saling melempar ledekan.

"Kalo emang kulit lo yang sawo matang itu jadi incaran wanita, kenapa sampai sekarang lo masih jomblo?" Sindir Dimas.

"Yee... suka-suka gue lah! Lagian jomblo itu pilihan bukan aib. Daripada lo! Sukanya sama emak-emak!" Sahut Erik, menyindir balik. Tanpa sepengetahuan Alan, kabarnya, Dimas sekarang sedang dekat dengan sekretaris Pak Mada, dekan fakultas FISIPOL.

"Eh... betewe, pasien di rumah sakit ini, wajib pake kutek ya, Lan?" Tanya Dimas, saat melihat kuku jemari Alan berwarna purple.

Alan sejenak melihat jemarinya, lalu tersenyum singkat. Sudah ia duga, siapa lagi kalau bukan ulah Mila-kekasihnya.

"Mungkin." Alan mengangkat bahunya, seolah tidak peduli.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang