41. Kembali Ke Kampus

13 9 2
                                    

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Alan sudah bersiap dengan setelan kuliahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Alan sudah bersiap dengan setelan kuliahnya. Meskipun tubuhnya masih menginginkan istirahat, matanya sedikit sayu, namun semangat untuk terus memperjuangkan keadilan tidak pernah pudar.

Alan menarik napas panjang, menyiapkan mental untuk menghadapi tantangan di hari ini.

"Ayah, Ambu... Alan berangkat ke kampus lagi, ya." Pamit Alan ketika orang tuanya sedang berada di meja makan.

Pak William dan Bu Liena memandang dengan raut terkejut, keduanya saling bertukar pandang dalam diam, tampak kecemasan menggelayut di wajah suami istri itu.

"Alan, kamu yakin sudah siap?" tanya Bu Liena, mendekat. "kenapa nggak istirahat dulu aja? Kan, baru kemarin pulang dari rumah sakit."

"Benar kata Ambu... nggak perlu buru-buru, istirahat aja dulu. Lagipula kampus juga nggak akan kemana-mana." sambung Pak William.

Mereka berdua masih menunggu jawaban Alan, berharap anaknya itu mengerti betapa mereka sangat peduli padanya. Meski di dalam hati kecil mereka—mereka sudah tahu apa yang akan Alan katakan. Tekad Alan terlalu besar dan kekhawatiran mereka tidak akan mampu membendungnya.

"Alan nggak biasa diam di rumah terlalu lama. Alan harus ke kampus, ada banyak hal yang harus Alan lakukan—tugas akademik, pengajuan skripsi, bahkan ada beberapa materi kuliah yang harus Alan kejar."

Pak William dan Bu Liena kembali bertukar pandang, mereka menghela nafasnya. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya mereka menyerah pada keputusan Alan.

"Kalau gitu, Ayah antar kamu." tawar Pak William.

"Nggak usah, Ayah. Alan berangkat pakai motor aja."

"Tapi–"

"Ambu, please! Alan akan baik-baik aja."

"Baiklah, tapi hati-hati di jalan, ya. Kalau ada apa-apa, langsung kabarin Ayah atau Ambu," pesan Pak William sambil mengelus lembut bahu Alan.

"Iya, Ayah. Kalian tenang aja, nggak usah khawatir, Alan bisa jaga kesehatan Alan sendiri, kok."

Bu Liena mengangguk, berusaha untuk percaya pada anaknya, meski hatinya tidak sepenuhnya mengijinkan untuk pergi ke kampus.

Alan melangkah keluar rumah setelah mencium tangan kedua orang tuanya. Semetara Pak William dan Bu Liena menatap punggung Alan dengan perasaan tak menentu. Rasa cemas, khawatir, dan pikiran-pikiran negatif mulai mengacaukan kepercayaan mereka, terutama Bu Liena.

Di luar rumah, matahari baru saja muncul, menyinari sisa embun pagi yang menempel di dedaunan. Alan membunyikan klakson motor, lalu melajukan motornya. Pak Willian dan Bu Liena berdiri di depan gerbang, menyaksikan keberangkatan anak bungsunya sampai benar-benar hilang dari pandangan mereka.

 Keberangkatan Alan pagi itu bukan semata-mata untuk kuliah, Di balik ransel dan penampilan khasnya, ada misi lain yang lebih penting untuk ia selesaikan, yaitu tentang kegelisahannya yang tidak bisa diredakan hanya dengan berdiam diri di rumah. Satu-satunya jalan bagi Alan untuk menghentikan kegelisahan itu, hanya dengan menemukan jawabannya. Setelah itu Alan baru bisa istirahat, fokus memulihkan tubuhnya.

Di sepanjang jalan, pikiran Alan penuh dengan rencana-rencana. Kantor pers kampus adalah tempat pertama yang harus ia tuju, dan berharap di sana akan menemukan petunjuk tentang entah itu rekaman cctv atau berita yang bisa membantu memecahkan pencariannya. 

"Pokoknya kalau ada apa-apa sama Alan, Ayah yang harus tanggung jawab!" ketus Ambu, suaranya terdengar seperti ancaman.

"Loh...! Kok, jadi Ayah sih, Ambu?!" Pak William terkejut, merasa terjebak dalam situasi ini.

"Ambu!"

"Apa??"

"Alan sudah besar, Ambu. Dia sudah tahu cara untuk mengurus dirinya sendiri," Pak William mencoba menjelaskan dengan nada tenang, berusaha meredakan ketegangan.

"Ayah juga tahu, kan, kalau Alan sedang sakit?! Perjalanan ke kampus itu jauh, loh! Bagaiaman kalau dia kelelahan di jalan? Bagai-"

"Tapi, kalau kita terus mengkhawatirkannya, kita hanya akan membuat Alan makin stres. Kita harus memberi dia kepercayaan untuk menyelesaikan masalahnya, meski kondisinya tidak memungkinkan." 

Bu Liena terdiam sejenak, menatap suaminya dengan tatapan penuh kecewa. "Ambu hanya tidak ingin kehilangan Alan! Ambu tidak ingin lagi melihat Alan terbaring tak berdaya di rumah sakit seperti kemarin! Harusnya Ayah bisa ngerti perasaan Ambu!"

Pak William menghela napas, "Oke! Oke! kalau memang ketakutan Ambu itu terjadi pada Alan, Ayah yang akan bertanggung jawab!"

-00-

Sesampainya di parkiran kampus, Alan terdiam sejenak di atas motornya, merasakan tubuhnya sedikit lemas karena perjalanan yang cukup jauh. Tangan dan kakinya terlihat gemetar, suara deru kendaraan dan keramaian mahasiswa yang lalu lalang terdengar samar di telinganya. Dengan wajah pucatnya, ia berusaha mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan tekadnya.

Setelah dirasa kuat, Alan menurunkan kakinya dari motor dan berjalan pelan menuju gedung tempat kantor pers kampus berada. Alan berusaha mengabaikan rasa lelahnya dan fokus pada tujuan yang ingin dicapainya.

Sepanjang perjalanan menuju kantor pers, beberapa teman dan mahasiswa lain yang melihat Alan tampak terkejut, mengingat kondisi kesehatannya minggu lalu masih kritis di rumah sakit. Namun, Alan hanya mengangguk dan tersenyum tipis  ketika mereka menyapanya.

Di depan pintu kantor pers, Alan berhenti sejenak, menatap papan nama di atas pintu kantor pers tersebut. GARUDA PERS.

Alan menarik nafas dalam-dalam, berharap di tempat itu, ia bisa menemukan petunjuk tentang Nana. Alan mendorong pintu dan masuk. Di dalam, Alan disambut oleh suasana sibuk khas ruangan pers mahasiswa.

Jesica, mahasiswi yang biasa mengurus berita harian, tampak terkejut saat melihat kedatangan Alan di kantornya. "Alan? Kamu udah kembali kuliah? Gimana kabarmu?" tanyanya sambil berdiri dari meja kerjanya.

"Alhamdulillah, udah lebih baik," jawab Alan sambil tersenyum tipis. "Gue kesini bukan buat ngobrol soal kondisi gue, Jes. Gue mau tanya sesuatu tentang Nana. Lo tahu di mana dia sekarang?"

Jesica terdiam sejenak, wajahnya terlihat ragu. "Nana?" Dia mengulang nama itu seakan memikirkan jawaban yang tepat. "Nana belum kelihatan lagi ke kantor pers, sehari setelah kejadian kamu... ditusuk. Semua orang juga khawatir sama dia, tapi nggak ada yang tahu pasti ke mana dia."

Alan mengerutkan kening. "Apa ada yang tahu terakhir kali dia ke mana? Atau ada yang sempat kontak sama dia?"

Jesica menggelengkan kepala pelan. "Seingatku, terakhir dia ada di sini buat menyelesaikan artikel, tapi setelah itu nggak ada kabar. Ada gosip dia pulang kampung, tapi nggak ada yang bisa memastikan itu benar atau tidak. Bahkan nomor teleponnya juga nggak aktif."

Alan menelan ludah, merasa pencariannya sia-sia. Sejauh ini, Alan masih mengira kalau Nana adalah kunci atas apa yang terjadi pada dirinya. Namun sekarang, Nana menghilang, dan Alan semakin yakin, ada sesuatu di balik semua ini.

"Gue harus cari tahu dimana Nana sekarang!" gumam Alan, tekadnya kuat, ambisinya terus mendorong untuk menyelesaikan teka-teki ini.

Jesica menatap Alan dengan tatapan prihatin. "Alan, kalau kamu butuh bantuan, kita ada di sini." tawarnya. Alan mengangguk, tersenyum, lalu melangkah keluar dari kantor pers dengan perasaan kecewa.

Di luar, hembusan angin sepoi-sepoi menyentuh kulit wajah Alan. Meski terasa sejuk, namun tidak membuat pikirannya menjadi tenang.

"Nana, sebenarnya ada apa dengan lo?"

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang