23. Kemarahan Pak Tiyo

9 9 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Alan baru saja menyelesaikan makan malamnya bersama Mila di kedai pecel lele Mang Asep. Ponselnya tiba-tiba berdering, menampilkan nama Surgaku🥰 di layar. Alan segera menjawab telepon tersebut dengan suara lembut.

Alan : Assalamu'alaikum, Ambu.

Ambu : Wa'alaikumsalam, Alan. Kamu lagi di mana sekarang?

Alan : Aku baru selesai makan di kedai, Ambu. Kenapa?

Ambu : Ambu minta kamu pulang hari ini. Ayahmu ingin bicara denganmu, katanya penting.
(Suara Ambunya terdengar lembut.)

Alan sejenak terdiam. Biasanya, kalau ayahnya memintanya pulang dengan perintah seperti itu, pasti ada sesuatu yang serius.

Alan : Ada apa, Ambu? Ayah bilang apa?

Ambu : Lebih baik kamu dengarkan sendiri dari ayahmu. Mungkin ini tentang... aksi demo yang kamu pimpin kemarin.
(Suara Ambunya terdengar sedikit khawatir, lantaran suaranya yang semakin pelan dan melambat.)

Alan meneguk ludah. Dia tahu ayahnya, Pak William, pasti akan membahas tentang aksinya kemarin. Ayahnya itu, tidak pernah setengah-setengah dalam menasihati atau memberi wejangan, terutama jika itu menyangkut hal yang penting seperti politik atau tindakan yang mungkin dianggap berisiko.

Alan : Baik, Ambu. Alan pulang sekarang.
(jawab Alan sambil menarik napas panjang)

Ambu : Hati-hati di jalannya.

Alan : Iya, Ambu. Assalamualaikum.

Ambu : Waalaikumsalam."

"Ambu yang telepon?" tanya Mila.

Alan hanya tersenyum kecil, anggukannya mengisyaratkan bahwa dia harus segera pulang-bukan ke kosannya tapi ke rumahnya.

"Ada apa?"

"Ayah minta aku pulang ke rumah, katanya ada yang ingin diobrolin."

Mila manggut-manggut, namun wajahnya sedikit meredup, seolah menandakan ada kekecewaan pada dirinya. Harusnya setelah makan malam, Mila ingin jalan-jalan menyusuri jalan Ibu Kota sambil menikmati udara malam.

"Ada apa? Kok, mendung sih wajahnya?" tanya Alan dengan gestur menggoda Mila.

Mila geleng kepala, tersenyum. "Gak apa-apa."

"Aku antar kamu pulang dulu." Alan hendak menarik tangan Mila, namun berhasil Mila hentikan.

"Kenapa?" Tanya Alan dengan raut bingung.

"Orang tua kamu lebih penting. Aku gak apa-apa, nanti bisa naik taksi online."

"Tapi Mil-"

"Alan, Please... Aku bisa sendiri." Kata Mila dengan tatapan meyakinkan Alan. Semantara Alan, ia hannya bisa menatap Mila sebelum akhirnya menghela, menyerah.

Alan mengelus puncak rambut Mila sebelum ia pergi. "Hati-hati, ya... nanti kabari aku, kalau kamu sudah sampai di rumah." Pesan Alan.

"Iya, kamu juga hati-hati. Dan kabari aku juga."

Alan tersenyum sambil mengangguk. Ia menaiki motornya, dan menatap Mila sejenak yang sedang melambaikan tangan ke arahnya, sebelum akhirnya melaju.

Di perjalanan menuju rumah, Alan tidak bisa menghindari perasaannya yang mendadak tak karuan. Di satu sisi, Alan merasa khawatir membiarkan Mila pulang sendirian. Dan di satu sisi yang lain, Alan merasa gugup, apakah ayahnya akan memarahinya? Alan sadar, tindakannya memimpin aksi demo kemarin rupanya membuat keluarganya khawatir.

Tapi, apapun yang akan keluar dari mulut ayahnya nanti, Alan tetap yakin dengan tekadnya bahwa apa yang dia lakukan adalah demi kebaikan banyak orang. Alan hannya ingin menunjukkan bahwa dirinya akan menjadi seperti yang ayahnya bilang 12 tahun lalu.

Semoga... suatu hari nanti, kamu akan menjadi orang berani itu. –(Scene ini ada di part 2-lahirnya sang aktivis.)

-00-

Di dalam rumah yang cukup megah, Pak Tiyo-papanya Mila, duduk di ruang tamu, menatap lurus majalah dan berkas-berkas yang ada di atas meja. Wajahnya tampak marah, dengan dahi berkerut menahan emosi yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

Suara langkah Mila yang baru saja membuka pintu, membuat Pak Tiyo mengangkat kepala. Saat Mila masuk ke ruang tamu, ia juga merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan papanya.

"Papa, da apa?" tanya Mila, merasa ada yang janggal.

Tanpa bicara, Pak Tiyo melemparkan majalah dan selebaran kertas yang menampilkan data tentang Alan ke hadapan Mila. Mila terkejut, menatap benda tersebut dengan bingung.

"Kenapa kamu tidak cerita soal Alan pada papa?" Bentak Pak Tiyo.

Mila terdiam sejenak, dia tahu tentang majalah itu... tapi tentang selebaran kertas itu? Dengan hati-hati Mila mengambil kertas itu dari lantai, membaca sekilas tentang latar belakang Alan. Mila langsung terkejut, tidak menyangka akan mendapat berita seperti ini dari papanya. Dari mana papa mendapatkan ini?

"Kamu pacaran sama pemimpin aksi demo itu?" Pak Tiyo memotong keheningan, suaranya lebih tegas.

Mila menatap papanya, masih bingung dengan arah ucapannya. "Iya, Pah, tapi... salahnya dimana?"

Pak Tiyo berdiri, menatap anak gadisnya dengan tatapan kecewa. "Salah? Kamu pacaran dengan orang yang bisa menghancurkan reputasi keluargamu, kamu masih tanya, salahnya dimana?"

Mila tidak menjawab, ia hanya bisa diam mematung, kepalanya menunduk dengan penuh ketakutan.

"Putuskan hubungan kalian sekarang juga!"

Mendengar itu, Mila mengangkat kepalanya. "Pah, Alan cuma memperjuangkan keadilan. Dia bukan orang jahat. Apa salahnya menyuarakan hak rakyat kecil?"

Pak Tiyo mengepalkan tangannya–menahan emosi, lalu menghela napas panjang. "Kamu nggak ngerti, Mila! Dunia politik di era sekarang ini, penuh dengan intrik, tipu muslihat, dan keserakahan. Orang-orang seperti Alan-yang berani menentang sistem—bisa dianggap sebagai ancaman. Dan pejabat-pejabat itu tidak segan-segan menyingkirkan siapa pun yang melawan mereka. Kalau mereka tahu anak papa pacaran dengan seorang pembangkang, mereka bisa mencurigai papa mendukung gerakan anak itu. Atau lebih parahnya kamu akan dijadikan umpan oleh mereka."

"Itu tidak mungkin, Pah. Kita yang memilih mereka, dan mereka tidak boleh melakukan itu pada kita. Mereka gak mungkin bertindak sejauh itu."

Pak Tiyo memandang putrinya dengan sorot emosi yang tertahan, tapi juga penuh rasa sayang dan kekhawatiran. "Kamu nggak tahu betapa jahatnya para pejabat di era oligarki ini, sayang. Mereka bisa memanipulasi segalanya demi kekuasaan. Mereka nggak peduli siapa yang sedang mereka hancurkan. Dan papa... sebagai komandan polisi, bisa kehilangan reputasi, posisi, bahkan mungkin lebih buruk dari itu kalau mereka tahu anak papa berhubungan dengan seseorang yang mereka anggap ancaman."

Mila menggeleng-geleng kepalanya, tidak percaya atas apa yang dia dengar. "Tapi, Pah... Alan tidak seperti itu. Dia hannya berjuang untuk keadilan, untuk rakyat. Dia nggak bermaksud untuk mengancam pejabat manapun."

Pak Tiyo mendengus pelan, cukup kesal dengan putrinya yang keras kepala. "Mila, kamu harus paham... kadang apa yang kita anggap benar, bisa saja dipandang sebagai ancaman oleh orang lain. Papa cuma nggak mau kamu terjebak dalam situasi yang lebih buruk dari yang bisa kamu bayangkan. Kamu harus berpikir logis tentang hubunganmu dengan Alan, jangan cuma mengandalkan perasaan sesaatmu."

Mila hanya bisa diam, menatap papanya dengan perasaan terluka. Mila, akhirnya pergi ke kamarnya dengan mata yang tidak mampu lagi membendung air matanya.

Baginya, Alan adalah orang yang ia cintai, yang sedang berjuang untuk sesuatu yang lebih baik demi negaranya. Mila tidak bisa jika harus berpisah dengan Alan. Tapi disisi lain, dia harus menghadapi kenyataan bahwa hubungannya dengan Alan bisa membahayakan reputasi dan karier papanya.

Ya Allah... apa yang harus aku lakukan? Aku bingung...

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang