44. Langkah Yang Patah

11 9 1
                                    

Siap-siap!
Part ini penuh dengan motivasi 😁

________________00_______________

▪︎

Kabar kematian Nana akhirnya sampai ke telinga Pak Tiyo, suasana di ruang kantornya seketika terasa penuh emosional. Ia tidak bisa menutupi amarah yang membara di dalam dirinya. Bukan kepada Iqbal, anak buahnya, yang telah setia menjalankan tugas rahasianya, melainkan pada dalang di balik semua permainan kotor ini—orang yang telah menjadikan hidupnya sebagai panggung sandiwara.

Pak Tiyo berdiri dari kursinya dengan wajah menahan amarah. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal erat. Kasus penusukan Alan seolah tengglam dalam daftar investigasi kepolisian, dan Nana sebagai saksi kunci yang bisa mengungkap dibalik kasus penusukan Alan, kini gadis itu telah tiada. Kematian Nana tidak mungkin hanya kebetulan semata. Pasti ada tangan-tangan licik yang ingin menghentikan penyelidikannya. apakah mungkin penyelidikan rahasianya di ketahui pihak kepolisian? atau memang ada mata-mata yang sedang mengawasinya?

Pak Tiyo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa ini bukan hanya soal Alan atau Nana, ini lebih dari sekedar perang politik biasa, sebuah permainan kekuasaan yang berusaha menenggelamkan semua yang menghalangi jalannya.

"Karim!" gumam Pak Tiyo, nama yang selama ini terus mencuat dalam setiap investigasinya. "Dia harus bertanggung jawab atas semua ini."

Dalam hati, Pak Tiyo bertekad; Kali ini, ia tidak akan diam lagi. Pak Karim harus membayar mahal atas kekacauan yang telah terjadi.

-00-

Di sisi lain, Pak William, ayahnya Alan, duduk di ruang tamu rumahnya sambil menatap layar televisi yang menyiarkan berita kebijakan-kebijakan pemerintah terbaru. Sorot matanya tampak resah, penuh kekhawatiran. Dia tahu betul bahwa perubahan kebijakan ini tidak hanya memicu amarah masyarakat, tapi juga mahasiswa, termasuk putranya. Pak William tahu betul bagaimana sosok Alanta Willie, anaknya—merupakan pemuda yang sangat vokal menyuarakan ketidakadilan.

Pak William menghela napas panjang, membayangkan bagaimana Alan mungkin akan semakin terlibat dalam aksi-aksi protes ditengah kondisi fisiknya yang belum pulih sepenuhnya. Perasaan-perasaan khawatir tentang Alan terus menghantuinya sejak Alan keluar dari rumah sakit.

Tanpa berpikir panjang, Pak William beranjak dan memutuskan untuk pergi menemui Alan. Meskipun hari mulai sore, tapi perasaannya terus mengatakan bahwa ia harus berada disisi putranya saat ini. Dia tidak bisa lagi hanya diam di rumah, dengan harapan Alan akan baik-baik saja. Keberangkatannya ini bukan sekadar karena kesehatan fisik Alan, tapi mental dan juga emosionalnya.

"Ayah akan pergi menemui Alan ke kosannya. Ambu di rumah aja, gak usah ikut." pamitnya pada sang istri.

Ambu yang sejak tadi berada disinya langsung setuju, "Iya, ayah. Dan kalau bisa bawa Alan pulang ke rumah."

"Iya, ayah juga berniat untuk itu." jawab Pak William sambil meraih jaketnya yang tergantung tak jauh dari sofanya.

Ambu mengangguk, tampak jelas kekhawatiran yang sama pada Alan tidak bisa beliau sembunyikan lagi. "Hati-hati di jalan, Yah."

Dengan langkah cepat, Pak William keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan menuju kosan Alan, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Dia tahu, kedatangannya ini mungkin akan ditolak, tapi sebagai ayah, dia harus memastikan bahwa Alan baik-baik saja.

-00-

Ketika Alan mendengar ketukan di pintu kosannya, ia merasa ragu untuk membuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika Alan mendengar ketukan di pintu kosannya, ia merasa ragu untuk membuka. Pikirannya masih kacau, dan dia merasa ingin menjauh dari semua orang, termasuk Mila dan dua sahabatnya. Namun, ketukan itu terasa berbeda. Ketukan itu tidak tergesa-gesa, lebih tenang, seolah-olah orang yang mengetuknya menunggu dengan sabar.

"Ini ayah, Alan. Kamu ada di dalam?"

Alan mengangkat kepala, tersentak, segera membuka pintu. Alan melihat ayahnya berdiri, tengah tersenyum tapi dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Mereka saling berpandangan tanpa kata-kata, seakan ada percakapan yang tersampaikan hanya melalui tatapan.

"Alan," kata Pak William dengan suara lembut. "Boleh ayah masuk?"

Alan menelan ludah, mencoba menahan semua emosi yang berputar di dalam dirinya. Namun, ketika ia membiarkan ayahnya masuk, seketika pertahanannya runtuh. Alan memeluk ayahnya, dan tangisnya membuncah. Alan menangis, terisak seperti anak kecil, melepaskan semua beban yang selama ini dipendamnya. Pak William, yang jarang melihat putranya seperti itu, dengan lembut mengusap kepalanya, membiarkannya menangis dalam pelukannya.

"Ayah... ini terlalu berat," adu Alan di sela tangisannya.

Pak William menepuk-nepuk punggung Alan dengan penuh kasih sayang, seakan ingin menghapus setiap rasa sakit yang dirasakan putranya. "Dunia politik tidak se-sederhana yang kamu lihat, Nak."

Alan mendengar kata-kata ayahnya dengan hati yang lapang. Dia sadar betul apa yang dimaksud ayahnya. Selama ini, dia begitu tenggelam dalam idealisme dan ambisinya, sehingga dia tidak pernah melihat sisi gelap politik yang mulai menggerogoti dirinya. Politik akan jahat di tangan orang yang jahat, dan kini Alan melihat itu secara nyata.

"Alan cuma ingin memperbaiki semuanya, Yah. Tapi rasanya seperti... semakin Alan berjuang, semakin sulit untuk dilalui." kata Alan dengan suara seraknya.

"Nak, tidak ada keberhasilan yang didapatkan dengan cara mudah di dunia ini. Semuanya perlu proses. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Tapi terkadang, terus maju juga gak baik. Kita perlu mundur sejenak untuk menyiapkan diri."

"Mundur sejenak bukan berarti menyerah, melainkan memberi ruang bagi kita untuk istirahat, untuk sembuh dari luka, dan untuk menambah energi baru, energi yang kuat—kuat secara mental agar lebih siap lagi menghadapi segala yang akan datang kedepannya." Jelas Pak William.

Alan mengangguk. Alan baru sadar, ternyata apa yang dikatakan ayahnya, juga pernah diingatkan oleh Mila, dan Bung Riki. Berhenti bukan berarti menyerah. Melainkan memperispakan diri dan strategi baru.

"Maaf, Alan sudah egois, ayah..." Alan melepaskan diri dari pelukan ayahnya. "Seharusnya, Alan mendengarkan mereka yang peduli kepada Alan." Ucap Alan pelan, kepalanya menunduk, suaranya terdengar penuh penyesalan.

"Its, okay. Jangan terlalu larut dalam penyesalan." Ayah mengelus punggung Alan. "Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Bangkitlah, dan tunjukkan kepada mereka bahwa kamu bisa melewati masa-masa sulit ini. Buktikan, pada mereka—kamu akan menjadi lebih kuat dan bijaksana dari sebelumnya."

Alan menyeka air matanya, menatap wajah ayahnya dengan tatapan semangat baru.

"Masih ada waktu untuk memperbaiki ini semua, Alan. Ayo, kita berjuang sekali lagi."

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang