21. Dilema Seorang Ayah

17 9 3
                                    

Berita tentang aksi demo darurat yang dipimpin oleh Alan terpampang di halaman depan majalah Suara Kampussebuah publikasi internal universitas yang sering membahas isu-isu sosial dan lingkungan kampus. Berita majalah untuk minggu ini, mengulas dengan detail jalannya aksi, tuntutan yang disuarakan oleh para mahasiswa, serta kutipan dari wawancara dengan Alan yang dilakukan oleh Nana, mahasiswi Sastra yang kemarin sempat menyela makan siangnya dengan Mila.

Pada cover artikel itu menyertakan foto Alan dengan sorot mata penuh semangat. Judul artikelnya terlihat tegas.

Lagi-lagi Alan kembali menjadi pusat perhatian di kampus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi-lagi Alan kembali menjadi pusat perhatian di kampus. Berita tentangnya menyebar dengan cepat, tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga sampai ke tangan ayahnya Alan, Pak William, yang baru saja pensiun dini dari Angkatan Laut.

Di rumahnya, sambil duduk di teras, Pak William membuka majalah itu, matanya menelusuri foto-foto aksi demo di gedung DPR dan membaca kutipan yang diambil dari wawancara dengan Alan.

Kami memperjuangkan suara rakyat yang sering kali diabaikan. Pemerintah harus mendengarkan dan bertindak adil bagi semua lapisan masyarakat.
kutipan Alan yang tertera pada halaman kedua majalah tersebut.

Pak william menarik napas dalam-dalam, wajahnya tampak serius. Ia bangga, namun juga sedikit khawatir. Sebagai mantan militer, dia tahu betul bahwa keterlibatan dalam aksi seperti ini bisa menimbulkan banyak risiko, terutama jika situasi politik yang sedang memanas seperti saat ini. Meski begitu, Pak William tetap menghargai idealisme dan keberanian anaknya.

"Lihat, anakmu sudah makin berani sekarang." Goda istrinya, sembari meletakan secangkir kopi panas di atas meja.

Pak William menutup majalah dan meletakkannya di samping kopinya. Di dalam benaknya, ia mulai memikirkan tentang anak bungsunya itu—mengingat dunia politik seringkali penuh dengan bahaya dan tipudaya. Pak Wilkiam jadi khawatir.

"Sepertinya... Ayah sudah membesarkan seorang pahlawan, Bu." Balas Pak William, dengan berbangga diri.

"Jadi, apa rencana ayah sekarang?"

"Telepon Alan, Bu, suruh dia pulang. Bilang... ayah mau ngobrol penting sama dia."

-00-

*Di Rumah Mila.

Pak Tiyo terlihat mengerutkan dahinya, bingung, ketika berita tentang aksi demo yang dipimpin oleh Alan sampai ke tangannya melalui majalah kampus yang dibawa oleh salah satu stafnya, bersamaan dengan map berisi data tentang siapa pemimpin aksi demo tersebut.

"Apa ini?" Pak Tiyo segera mengeluarkan isi dari map tersebut. Rupanya selebaran kertas yang berisi data seseorang.

Baru saja ditarik, matanya terpaku pada satu nama-Alanta, mahasiswa FISIPOL yang memimpin aksi demo darurat kemarin. Nama dan wajahnya itu tiba-tiba membuat pikirannya terhubung kembali dengan seseorang yang menurutnya tidak asing.

Pada saat membaca draft tersebut, alangkah terkejutnya Pak Tiyo ketika ia menyadari bahwa Alan, pemimpin demo itu, ternyata berpacaran anaknya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada saat membaca draft tersebut, alangkah terkejutnya Pak Tiyo ketika ia menyadari bahwa Alan, pemimpin demo itu, ternyata berpacaran anaknya sendiri. Seketika rasa cemas, bingung, dan marah menjadi satu dalam dirinya.

"Alanta? Jadi Alan ini adalah Alanta? Pacarnya Mila? Bagaimana mungkin?" batinnya bertanya-tanya, memegang erat selebaran kertas tersebut.

Kini Pak Tiyo merasa hantinya seperti bulan terbelah dua. Di satu sisi, dia adalah seorang prajurit yang dituntut setia pada tugas dan tanggung jawab menjaga stabilitas negara. Namun di sisi lain, sebagai seorang ayah, dia merasa berat jika harus menindak pacar anaknya sendiri.

Seketika suasana ruang kerja di rumah Pak Tiyo terasa sangat menegangkan. Bahkan sang istri tidak berani mengganggunya, meski sekedar untuk menawarinya kopi atau teh.

Pak Tiyo duduk diam, menatap majalah di tangannya sambil berpikir keras tentang bagaimana dia harus menangani situasi ini. Di dalam hatinya, kenapa bisa anak kesayangannya merahasiakan kisah cintanya dengan seorang laki-laki yang bisa saja kelak membahayakan masa depannya.

"Kemana saja saya selama ini? Kenapa bisa, saya tidak peduli dengan kisah cinta anak saya sendiri? Bahkan untuk mengenali wajah pacarnya pun tidak pernah saya lakukan?" Pak Tiyo mengepal, marah. Lebih tepatnya marah pada dirinya sendiri.

Selama ini, Mila hanya sering bercerita tentang kehidupan kampus dan percintaannya pada sang Mama. Sementara Pak Tiyo, yang selalu sibuk dengan urusan investigasi, hanya mengetahui kisah cinta anaknya dari sang istri.

*Flashback On :

Mila sekarang sudah punya pacar, Pah.

Siapa namanya, Mah?

Alanta. Katanya Mila... dia itu kakak tingkatnya, anak fisipol.

Keluarganya?

Mila pernah cerita, kalau ayahnya Alanta baru saja pensiun dari angkatan laut, Pah.

Tapi si Alanta itu, tahu kalau papanya Mila polisi?

Harusnya sih tahu, Pah... Alanta pernah sekali bertamu ke rumah, dan dia pasti melihat poto keluarga kita yang terpajang di ruang tamu.

Oh.. baguslah! Kalau si Alanta itu anak tentara, pasti gak akan berani macam-macam sama anak kita. Apalagi kalau dia juga tahu, papanya Mila adalah seorang komandan polisi.

Mama yakin, sih... Alanta itu anak yang baik, Pah. Dari cara dia mengobrol dengan Mama, tutur katanya, pasti dia di didik oleh keluarga yang baik juga.

Semoga saja.

*Flashback Off

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang