12. Janji Di Ujung Pagi

14 10 0
                                    

Pagi ini, suasana terasa berbeda di kamar Mila

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini, suasana terasa berbeda di kamar Mila. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ponsel yang baru saja bergetar di atas meja kecil. Alan baru saja mengirim pesan, memberitahukan bahwa ia sudah siap berangkat untuk demo dan meminta Mila untuk berangkat ke kampus sendirian hari ini.

Mata Mila terpaku pada layar ponselnya. Pesan dari Alan berbunyi singkat, tapi cukup untuk membuat rasa gelisah menyelimuti hatinya:

From : Alan🖤
Aku berangkat ya, Mil. Kamu hati-hati nanti berangkat ke kampusnya. Aku mungkin nggak bisa ngehubungin kamu selama demo. Maaf gak bisa jemput kamu hari ini.

Mila menarik napas dalam-dalam. Ia tahu Alan sudah biasa melakukan aksi itu, tapi tetap saja, perasaan khawatir yang sejak semalam menghantuinya kini semakin kuat.

Mila memegang ponselnya erat-erat, ingin membalas pesannya, namun jari-jarinya terasa kaku. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, terutama tentang ketakutannya terhadap risiko yang akan Alan hadapi, tapi tidak bisa, seakan jempolnya tertahan oleh sesuatu.

Akhirnya, Mila hanya membalas singkat, meskipun dalam hatinya ingin megatakan banyak hal, tentang kekhawatirannya.

Me:
Hati-hati ya...
Do'aku menyertaimu 🥰

Setelah mengirim pesan, Mila membaringkan diri di atas tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar. Bayangan Alan dan demo kembali berputar-putar di benaknya. Ternyata... punya pacar tukang demo ternyata bikin capek hati juga, ya...

Mila menghela. Kekhawatiran Mila semakin bertambah. Meski Alan selalu bilang bahwa dia siap menghadapi segala kemungkinannya, tapi apakah Alan tahu bahwa di dunia ini kenyataan tak selalu seindah rencana? Mila hanya bisa berharap Alan dan teman-temannya aman disana.

-00-

Mila mendengar samar-samar langkah berat papanya di ruang tamu. Mila segera keluar dari kamarnya, ia melihat papanya sudah rapi mengenakan seragam kerjanya, siap memimpin pengamanan untuk demo darurat hari ini di gedung DPR.

Pak Tiyo mengangkat teleponnya yang terus menerus berbunyi, seolah menandakan bahwa si penelpon sedang tidak sabar menunggu. Dalam panggilan itu, Pak Tiyo menerima laporan terbaru dari bawahannya tentang situasi di gedung DPR.

Mila berdiri di ambang pintu kamar, hatinya bimbang antara rasa khawatir untuk Alan dan teman-temannya, serta kecemasan akan tanggung jawab besar papanya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berjalan mendekati papanya.

"Papa..." suara Mila terdengar pelan.

Pak Tiyo mematikan telepon sebelum menoleh, lalu memasukannya ke saku celana. "Iya, Sayang? Ada apa?"

"Papa, hati-hati ya. Dan, tolong... nanti disana jangan sakiti teman-teman Mila. Suruh anak buah papa untuk tidak memukuli teman-teman Mila." Suaranya sedikit bergetar, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.

Pak Tiyo terdiam, menatap putri tunggalnya begitu dalam. Meskipun Mila tidak banyak bicara soal teman-temannya yang terlibat dalam aksi demo, beliau tahu bahwa permintaannya ini sangat serius. Namun, sebagai komandan polisi, yang bertanggung jawab atas pengamanan di Gedung DPR, Pak Tiyo harus menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Meski pada akhirnya harus memukul mundur para pendemo jika terjadi ancaman dari pihak mereka.

Pak Tiyo mengangguk pelan, lalu berkata, "Meski kadang situasinya bisa di luar kendali, tapi Papa akan lakukan yang terbaik, tugas Papa menjaga ketertiban, bukan menyakiti siapa pun. "

Mila hanya bisa menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Sementara ini ia hanya bisa percaya pada ucapan papanya. Mila tahu bahwa papanya seorang yang berintegritas tinggi, tapi kekhawatirannya untuk Alan dan teman-temannya tak bisa hilang begitu saja dalam hati dan pikirannya.

Sebelum berangkat, Pak Tiyo mendekat dan mengelus pundak Mila dengan lembut. "Jangan terlalu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja."

Meski Pak Tiyo berusaha menenangkan anaknya—Mila, tetap saja dilanda rasa cemas san kekhawatiran yang luar biasa. Di balik senyuman papanya, ia tahu bahwa hari ini bisa menjadi hari yang sulit bagi semua orang yang terlibat dalam aksi demo darurat ini.

_Bersambung_

DI BAWAH LANGIT MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang