Sebuah tamparan yang membuat semua orang terdiam dilayangkan padanya. Jari telunjuk seseorang itu juga mengacung padanya.“Kamu pengkhianat!” ucapnya dengan nada yang begitu tinggi.
“Mbak Anita, saya tak melakukannya. Saya mohon, percaya sama saya,” gusar Alvarez. Ia menatap sang istri yang hanya diam menunduk sambil menangis.
“Hana... dengarkan mas sebentar, ya. Mas gak melakukannya, Sayang,” ucapnya mencoba berjalan ke arah Raihana.
“Berhenti di sana!” tegas seorang lelaki yang sekarang melindungi sang adik dari orang yang katanya pengkhianat. Aditya Mahardika namanya, anak lelaki pertama di keluarga Mahardika.
“Mas juga percaya pada berita itu?” ucap Alvarez. Raut wajah kecewa terpampang jelas di mukanya.
“Bagaimana kami tak percaya, Al? Semua bukti ada padamu! Bahkan kamu merencanakannya jauh-jauh hari, kan? Kau itu adalah orang yang dipercayai bapak lebih dari anaknya sendiri!” Suara menggelegar itu terdengar, untungnya para ajudan dan yang lainnya sudah disuruh keluar sebelumnya.
“Mas, dari tadi malam saya pusing mikirkan bagaimana mengurus demonstrasi ini, tak pernah terbesit dalam benak saya untuk melengserkan ayah!” ucapnya sambil melihat Adanan yang kini hanya diam, bahkan tak mau melihatnya.
“Ayah percaya dengan saya...” ucapnya, sekali lagi terhenti. Sebuah tangan terulur ke arahnya, dan Alvarez turut menutup matanya, tapi cukup lama ia menutupnya. Tak ada rasa sakit, malah elusan yang didapatnya.
Alvarez membuka matanya, ia melihat ke arah Adanan yang kini ada di hadapannya. Mata pria tua itu memerah, seakan ada emosi yang tertahan. Satu kata yang dikeluarkannya membuat jantung Alvarez rasanya berhenti.
“Kamu bukan lagi putra saya.” Tak ada ketegasan dalam nada bicaranya, hanya nada kekecewaan yang tak dapat diungkapkan.
Alvarez terdiam, ia tak bisa lagi bicara. Mengapa semuanya malah menjadi salahnya? Seharusnya panglima yang disalahkan sebagai komandannya, bukan malah dia. Tangannya terkepal, matanya memerah. Tetesan air mata yang mengalir cepat ia hapus.
“Ceraikan putriku!” Ucapan Adanan kali ini sungguh sangat menyakitkan, tapi ia harus mempertahankan rumah tangganya.
Alvarez menatap mata sang istri, dan dengan lantang ia mengatakan
"Tidak! Saya tidak akan menceraikan Raihana!" ucapnya sambil terus menatap punggung sang mertua yang kini membelakanginya.
"Jika saya mengatakan kalian bercerai, kamu bisa apa?" ucapnya sambil memandang dengan dingin pria yang berstatus menantunya itu.
Alvarez dengan cepat mengeluarkan pistol yang ada di belakang punggungnya, dan memberikannya pada Adanan dengan mengarahkan pistol tersebut ke dadanya.
"Jika ayah ingin menjadikan Raihana janda, bunuh saya sekarang!!" Ucapan tegas nan tajam pun terdengar. Raihana dengan cepat berdiri, tapi langsung ditahan oleh Anita.
"Mbak, Hana tidak mau mereka bertengkar!" ucapnya. Linangan air mata kian deras.
"Sudah, kamu tidak usah ikutan!" ujar Aditya.
"Bunuh saya sekarang, Bapak Adanan Mahardika yang terhormat!" ucap Alvarez dengan kembali menekan pistol tersebut ke arahnya.
Adanan terdiam melihat itu, ia melepaskan cengkeramannya pada pistol tersebut.
"dari dulu saya selalu percaya padamu, rumah ini haram bagimu jika kamu belum bisa membuktikan ketidakbersalahanmu pada kasus ini." Ucapan mutlak telah dikatakan oleh Adanan.
"Baik. Saya pastikan, suatu hari nanti rumah ini akan terbuka kembali untuk saya, dengan kehangatannya kembali. Raihana Siena Navrendra, degarkan ucapan saya. kamu tau bagaimana prinsip saya jika itu tentang dirimu, sejak saya menikah dengan mu maka seluruh impian yang saya bangun sudah di pastikan itu ada kamu didalamnya, tunggu saya karena tak akan ada yang bisa bersanding dengan saya kecuali kamu, istri saya" ucapnya. Alvarez menatap sang istri. Mata mereka bertemu, Alvarez dapat melihat genangan air mata yang kembali membuat dadanya terasa sesak. Tak ingin terus berdiri di sana, ia keluar meninggalkan kediaman tersebut.
Raihana yang melihat punggung sang suami kian menjauh pun terduduk. Tangisannya kembali pecah, ia tak menyangka kehidupan rumah tangganya akan menjadi seperti ini. Ia berdiri dan berjalan menuju kamarnya untuk menenangkan diri. Kenzo yang melihat kejadian tersebut hanya diam dan berlalu menuju kamarnya.
Alvarez saat ini tengah mengemudikan mobilnya ke rumah orang tuanya. Ia butuh tempat untuk bersandar saat ini. Begitu sampai di sana, Alvarez langsung memeluk sang mami, dan Damian yang tahu karakter sang anak pun mengajaknya untuk masuk ke ruang kerjanya.
"Are you alright?" tanyanya.
"Bagaimana saya bisa baik, Yah? They accused me without reason and the slander made me devastated," tanyanya sambil tersenyum pada sang papi.
Damian pun ikut terdiam melihat tatapan sang anak. Belum pernah ia melihat tatapan itu keluar dari Alvarez Gilbert Navrendra, yang biasanya hanya mengeluarkan tatapan tajam pada siapapun. Kini, tatapan sendu yang tak bisa digambarkan tersorot dari matanya.
Damian berdiri menghampiri sang anak yang tengah duduk di sofa hadapannya.
"Kamu hebat, sudah memberikan yang terbaik. Those who are stupid believe in such slander," ucapnya.
"Mengapa mereka memfitnah saya, Pi? Apa mereka pikir saya setegar karang yang tetap bisa berdiri kokoh walau diterjang ombak laut sekalipun? I am an ordinary human being, Pi. Even coral can be destroyed if it can no longer withstand the waves," ujar Alvarez. Air matanya tak bisa dihentikan. Kepalanya memutar kejadian tadi, tatapan kecewa sang mertua, tangisan istrinya, dan tamparan dari kakak iparnya.
"Kamu berharga, Al. One day I'm sure they'll know how valuable you are. Kamu itu berharga, lelaki yang berharga yang rela mempertaruhkan segalanya untuk hal yang kamu sayangi, baik itu negara atau keluarga. This country is proud to have you, Lieutenant General Alvarez Gilbert Navrendra," ucap Damian. Ia menarik wajah Alvarez agar dapat melihat ke arahnya dan menguatkan sang putra yang kini dalam keadaan terpuruk.
"What if I fail, Pi? What if they keep accusing me of doing it even though I didn’t? I never did such a heinous thing," Alvarez terus mengeluarkan isi hatinya yang selama ini dipendamnya.
"Bahkan ini belum lebih dari satu hari sejak berita itu keluar. Surat pencopotan saya sudah keluar, tak ada upacara penghormatan untuk istri saya, Pi! Even though I have almost died many times for this country, the people I defend don’t believe in me," lanjutnya sambil terus menatap sang papi yang kini terdiam mendengar penuturan sang putra.
"Ya, saat ini memang seperti itu, and you have to be able to prove everything so that they can understand how valuable you are. Allah will not give problems to His servants if His servants are not strong. Dan Dia telah memberi cobaan ini padamu, itu artinya kamu bisa menghadapi-Nya. Papi yakin kamu bisa! Kamu punya kami dan Allah yang selalu ada untukmu." Tak banyak yang bisa diucapkannya karena Damian tahu seberapa terpukulnya sang putra akan kejadian ini. Berita tersebut bukan hanya berita biasa yang selalu menerpanya, tapi berita kali ini sungguh seperti menjebaknya sebagai letnan jenderal.
•
•
•" jarak yang diciptakan untuk kita bukan memperlemah cinta kita, tapi memperkuat cinta itu" - Raihana Gilbert Navrendra
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dan Kesetiaan
Fiksi UmumTanpa cinta dunia ini hampa dan tanpa kesetiaan cinta itu tidak ada