pengkhianatan menyakitkan

239 25 6
                                    

Beberapa bulan berlalu, suasana negeri ini semakin mencekam. Kepercayaan terhadap pemerintah tak ada lagi, bahkan demo terjadi di mana-mana. Alvarez, sebagai Letnan Jenderal, berusaha menahan agar para pendemo tak masuk ke dalam istana.

"Jenderal, rakyat semakin tak terkendali! Banyak yang berusaha untuk masuk ke dalam istana!" ujar prajuritnya, membawa berita yang membuat Alvarez kembali mengacak-acak rambutnya.

"Tahan semuanya! Jangan sampai ada korban, tetap kita pikirkan keamanan rakyat!" ucapnya tegas sambil mengambil kunci mobilnya. Ia harus menemui panglima soal ini.

Mobil hitam itu melaju dengan kencang. Pikiran pengemudinya entah ke mana. Sudah dua hari ia tak pulang ke rumah untuk menangani demonstrasi ini. Tujuannya sekarang adalah kantor panglima. Ia yakin panglima tengah berada di sana, karena melihat demonstrasi hari ini, presiden yang tak lain adalah mertuanya, sudah pasti menyuruhnya untuk menyelesaikan demo besar-besaran ini.

"Salam, Jenderal!" ucap Alvarez sambil memberi hormat.

"Ada apa, Al? Ada laporan terbaru?" tanyanya setelah Alvarez duduk di hadapannya.

"Jenderal, pendemo sudah tak terkendali lagi. Hari ini mereka hampir saja menerobos masuk istana," ucapnya.

Jenderal Yudirman Pratama, panglima era Jenderal Adanan Mahardika, terdiam mendengarkan laporan Alvarez dengan seksama.

"Al, tahan semuanya. Lusa presiden akan mengambil keputusan," ucapnya tegas.

"Tapi, Jenderal..." ucapannya belum selesai.

"Alvarez Gilbert Navrendra, ini perintah!" ucapnya mutlak, membuat Alvarez terdiam. Ia melihat dengan mantap tatapan sang jenderal yang terhunus kepadanya, dan Alvarez memberikan hormat dengan tegas. Keputusan ini membuatnya ragu, karena citra tentara bisa terganggu.

Selama perjalanan menuju rumahnya, ia memikirkan semuanya. Besok ia harus menghadapi pendemo, dan ia sangat bimbang dalam mengambil keputusan.

Ceklek

Pintu kamar terbuka. Alvarez, dengan baju acak-acakannya, berjalan menghampiri sang istri yang tengah berbaring. Ia berbaring sambil memeluk tubuh Hana.

"Mas... kamu sudah pulang?" Raihana bangun karena merasakan seseorang memeluknya.

"Iya, Mas sangat lelah hari ini," ujarnya.

Raihana membiarkan Alvarez beristirahat sebentar sambil mengelus kepala sang suami. Melihat pakaian Alvarez yang sangat acak-acakan, membuatnya mengerti bagaimana beratnya hari ini.

"Mas, bangun dulu yuk. Mandi biar segar, nanti lanjut tidur, atau mau cerita gimana hari ini?" ucapnya sambil terus mengusap rambut sang suami.

Alvarez pun mulai membuka matanya dan duduk. Matanya masih terasa berat, tapi ia berusaha untuk bangun karena badannya sudah sangat lengket.

"Mandi dulu, ya," ucap Raihana sambil mengelus wajah sang suami.

"Mas capek, Han," ujar Alvarez.

"Iya, Hana tahu, tapi mandi dulu, ya," ucap Raihana sambil tersenyum menyemangati suaminya.

Alvarez pun berdiri untuk mandi. Ia mengambil handuk yang tergantung di sudut kamar. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan wajah yang sedikit segar, meskipun pikirannya masih sangat kacau. Ia tak tahu apa keputusan yang harus diambilnya nanti, apakah baik untuk semua orang atau malah menjadi petaka baginya.

"Suasana hatimu tak baik, Mas?" tanya Raihana.

"Iya, Mas sangat bingung untuk mengambil keputusan kali ini. Di satu sisi ada Ayah, di sisi lainnya ada rakyat," ucapnya sambil duduk di sebelah sang istri dan meminum teh yang telah disiapkan oleh Raihana.

"Kita tahajud, yuk," ajak Raihana.

Alvarez pun tersenyum mendengar ajakan sang istri. Ia berjalan untuk mengambil sajadah dan membentangkannya untuk mereka berdua. Sementara itu, Raihana tersenyum dan berjalan untuk mengambil air wudhu. Mereka pun shalat dengan penuh khidmat. Alvarez sungguh berdoa untuk segala keputusan yang akan diambil nanti.

"Sudah tenangan, Mas?" tanya Raihana saat mereka tengah berbaring menatap langit-langit.

"Sudah. Mas harap keputusan yang diperintahkan itu yang terbaik," ujarnya.

"Aamiin, Hana juga berharap yang terbaik. Kali ini memang Ayah harus mengalah dan meninggalkan jabatannya," ucap Raihana.

"Sudah, bagaimana hari kamu selama Mas tidak di rumah?" tanya Alvarez. Ia selalu ingin tahu tentang segala kesibukan Raihana jika tak bersamanya. Walau ia sudah tahu dari ajudan yang diperintahkannya untuk mengawasi dan menjaga istrinya, Alvarez selalu ingin mendengar Raihana bercerita tentang hari-harinya.

Raihana pun mulai menceritakan segala kegiatannya, mulai dari mengantar Kenzo bersekolah, melihat tingkah laku Kenzo yang semakin mirip sang papa, hingga kue yang gosong tadi pagi. Mendengar cerita itu, Alvarez tertawa, dan semakin panjang cerita Raihana, ia semakin tak sadar bahwa mimpi telah menyelimuti dirinya.

---

21 Mei 1998

Searah jarum jam, dari atas, Bapak Adanan Mahardika menyampaikan pengunduran diri dari jabatannya. Para perusuh membakar perabot kantor di jalan-jalan Jakarta. Mahasiswa memprotes pemerintah. Mahasiswa Universitas Trisakti bentrok dengan polisi serta tentara.

Alvarez pun ada dalam kejadian tersebut. Sesaat pikirannya terasa lega. Ia berpikir semuanya telah selesai, dan keluarganya pasti tengah menunggunya di rumah dengan perasaan senang. Tetapi satu hal yang tak diketahuinya, berita terbaru telah terbit yang membuat semuanya kecewa padanya. Ia dituduh atas dua kejadian pelanggaran yang tak pernah dilakukannya. Ia dituduh menggulingkan sang mertua dan dituduh membunuh serta melanggar hak asasi manusia.

Alvarez bahkan belum mendengar hal itu, tapi tentu orang di rumahnya sudah mendengar hal tersebut, dan hati mereka sangat sakit. Adanan juga tak menyangka menantu kesayangannya bisa menjatuhkan dirinya hingga seperti ini. Laporan yang didapatkannya dari panglima TNI pun menyatakan demikian. Sungguh, ia merasa dikhianati oleh anaknya sendiri.

Raihana pun, sama dengan Adanan, tak percaya akan tuduhan tersebut. Tetapi semua bukti mengarah kepada Alvarez. Raihana sangat bingung dengan semua yang terjadi hari ini, sungguh membuat dadanya sesak. Semua orang merasa sangat marah dengan Alvarez.

Sementara itu, sang empunya juga merasa difitnah. Ia tak pernah melakukan hal tersebut. Alvarez melaju untuk mendapatkan keadilan atas fitnah ini. Ia pergi ke kantor panglima, tapi tak ada orang yang ia cari di sana. Bapak Yudirman Pratama tak ada di tempatnya. Itulah yang didapatkannya setelah melaju dengan kencang ke tempat tersebut. Alvarez sungguh berharap keluarganya tak percaya dengan tuduhan tersebut. Sungguh, itulah harapannya.

Mobilnya pun melaju menuju kediaman Mahardika. Ia harus meluruskan semua fitnah ini. Sesampainya di pintu rumah itu, Alvarez mendengar suara tangisan dari sang istri. Hatinya mulai gelisah, dan pikirannya tak karuan. Sesaat ia mendorong pintu tersebut dan mulai masuk. Mata semua orang tertuju padanya, dan sebuah tamparan pun dilayangkan tanpa aba-aba.



"I never thought that the people I fought for and the country I was willing to die for would not believe in me." — Alvarez Gilbert Navrendra

*Link saluran yang mau masuk, atau bisa DM TikTok ku yaa*

https://whatsapp.com/channel/0029VajUxDs1yT2HT86z191k

Cinta Dan KesetiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang