Separuh Hati 22

548 114 20
                                    


Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Hampir 1 bulan Prilly menyusun proposal pasca perbaikan setelah proposal miliknya dibawa Ali ke hadapan dewan direksi.

Mereka menolak untuk dipresentasikan oleh Prilly dan lebih memilih Ali untuk mempertanggungjawabkan semuanya. Hari ini Ali kembali menghadapi dewan direksi. Suasana di dalam ruangan terlihat sangat tegang terlebih saat Hendri terus menyuarakan pikirannya yang jelas bertujuan untuk menyudutkan Ali.

"Kami merasa proyek dengan anggaran dana sebanyak itu jelas tidak memberikan keuntungan untuk perusahaan!" Hendri mulai bersuara. Pria itu terlihat menatap para dewan yang sebagian berada di pihaknya.

"Benar. Kami khawatir jika kegagalan proyek ini akan membawa pengaruh besar untuk perusahaan." Sambung teman Hendri yang memang sudah sepakat untuk menyudutkan Ali dalam rapat kali ini.

Ali sendiri terlihat tenang, pria itu masih santai menggerakkan pulpen ditangannya, membiarkan orang-orang yang membencinya terus menyudutkan dirinya.

Ali menoleh menatap Pak Jamil yang merupakan salah seorang pemegang saham yang berada di pihaknya. Pak Jamil tampak mengangukkan kepalanya sebelum mulai berkomentar.

"Menurut saya proyek ini justru menjadi gebrakan untuk perusahaan." Pak Jamil mulai memberikan pendapatnya. "Perusahaan bisa lebih berkembang dan maju dengan adanya proyek ini. Saya yakin, Pak Ali tentu tidak akan berbuat sesuatu yang membahayakan perusahaan ini." Sambungnya dengan nada yang begitu menggebu-gebu.

Perempuan yang ada di samping Pak Jamil juga mengakui hal yang sama sehingga posisi Hendri dan teman-temannya mulai tersudut. Sementara Aldi sejak memasuki ruang rapat sama sekali tidak mengeluarkan suaranya. Ia lebih memilih mengamati saja.

Hendri menoleh menatap keponakannya yang sejak tadi memilih bungkam. "Sebagai wakil Direktur, Pak Aldi harus memberikan pendapat atas kelanjutan proyek ini bukan?" Hendri dengan sengaja memancing Aldi hingga membuat seluruh tatapan tertuju pada kakak tiri Ali itu termasuk Aldi dan Alberto yang sama-sama menatap kearah Aldi.

Pria itu dengan santainya meletakkan pulpen ditangannya lalu menatap Ali sepenuhnya. "Saya tidak akan berkomentar sebelum proyek ini benar-benar memberikan bukti nyata." Ucapnya dengan nada yang begitu tenang. "Jika Pak Ali yakin dengan proyek ini silahkan tapi berikan jaminan jika proyek ini gagal maka para dewan yang hadir ini berhak mendapat kompensasi yang sepadan." Lanjutnya dengan tatapan masih menyorot dalam kearah Ali.

Ali tampak mengerti maksud Aldi. "Baiklah. Jika proyek ini gagal maka saya akan mundur dari jabatan saya!" Ucap Ali yang tidak hanya membuat Alberto terkejut melainkan juga Aldi dan para dewan yang hadir.

Hendri tampak begitu sumringah namun sorot mata Ali yang kini tertuju padanya sontak membuat pria itu kembali menormalkan ekspresi wajahnya.

Ali segera beranjak dari duduknya merapikan jasnya lalu berjalan keluar dari ruangan tanpa memperdulikan para dewan yang mulai membicarakan keberaniannya dalam bertaruh.

Aldi menatap punggung Adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bayangan percakapannya dengan sang Ibu tempo hari kembali terbayang.

"Jaga Ali." Hal pertama yang menjadi bahan pembicaraan Ibunya adalah Ali. Setiap mereka duduk bersama seperti malam ini, Ibunya pasti akan membahas tentang Ali.

Aldi memilih diam dan melanjutkan mengunyah buah potong yang Ibunya sediakan. "Mami tidak tahu bagaimana interaksi kalian di kantor tetapi Mami yakin sebagai Kakak kamu pasti bisa melindungi Adikmu." Dhea mengusap lembut kepala putranya.

Senyuman diwajah cantik itu tidak pernah pudar membuat Aldi heran, apakah ibunya ini benar-benar manusia? Kenapa ia tidak pernah melihat Ibunya melampiaskan emosinya? Bahkan ketika di hina sekalipun Ibunya masih bisa tersenyum meskipun Aldi tahu jika wanita yang melahirkannya ini sedang terluka.

Separuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang