STH || 30

401 44 11
                                    

"Satu, satu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Satu, satu. Aku sayang aku."

"Dua, dua. Juga sayang aku."

"Tiga, tiga kembali aku sayang a---"

"Berisik, Herlan! Ini masih pagi." Randika yang sedang bergelung nyaman dengan selimutnya terpaksa terbangun. Ditatapnya dengan tajam Herlan yang sedang menulis sesuatu di meja belajarnya. Matanya melirik pada Jovan dan Yahsa yang terlihat terusik, sama-sama terganggu oleh kelakuan Herlan.

"Ih, Ran. Jangan gangguin gue. Gue lagi menghayati juga."

"Masalahnya, semua lirik yang lo nyanyiin bikin gue kesel. Mana suaranya keras banget lagi, lo mengganggu gue, Jovan, Yahsa dan temen-temen di kamar sebelah yang masih tidur nyenyak tahu nggak."

Randika merasa kesal, ini masih pukul lima pagi. Namun Herlan dengan tidak merasa bersalahnya, malah mengeluarkan suaranya dengan keras, bernyanyi. Randika akui memang, jika suara Herlan itu merdu, namun tidak di jam seperti ini juga dikeluarkan suaranya, mana liriknya ngaco sekali.

Masalahnya semalam, dirinya beserta ketiga temannya kecuali Herlan, tidak langsung tertidur. Mereka memutuskan untuk kembali membahas lebih lanjut mengenai pembahasan mereka saat di taman malam tadi. Dan alhasil, keempatnya harus tidur saat malam sudah mulai larut.

"Yaudah, gue minta maaf!" Herlan menghampiri Randika, kemudian mendorong tubuh temannya itu agar kembali tertidur. "Lo, tidur lagi. Gue nggak bakalan ganggu."

"Awas aja lo kalau berisik lagi, gue hajar sampai babak belur!" ancam Randika yang kemudian memilih kembali memejamkan matanya yang masih terasa berat, sebab rasa kantuk itu masih ada.

"Ih, serem," ucap Herlan pelan seraya bergidik saat membayangkan tubuhnya pasti akan babak belur di hajar oleh teman emosiannya itu.

"Lagian, lo pagi-pagi udah bikin ulah aja," celetuk Jibran yang sejak tadi sudah terbangun, dan memilih menemani Herlan di meja belajarnya.

"Gue nggak suka kalau suasananya sunyi begini Jib, makanya gue mengeluarkan suara merdu gue."

"Ya, lo harus tahu waktu juga. Bener kata Randika, suara lo pasti ganggu penghuni kamar sebelah."

"Iya-iya, semua salah gue. Jadi, daripada diperpanjang. Mendingan lo bantuin gue buat ini." Herlan mengangkat satu buah buku dan pulpen dalam genggamannya.

•••

"Wuih, kayaknya enak banget nasi goreng punya lo." Tanpa tahu malu, Herlan mengambil sesendok nasi di piring Jibran yang saat ini sedang sarapan pagi. Keduanya sedang menunggu Randika, Jovan dan Yahsa yang sedang bersiap-siap.

Sebenarnya, jatah nasi goreng Herlan sudah habis dirinya makan. Namun saat melihat nasi goreng di piring Jibran masih tersisa banyak, Herlan kembali merasakan lapar.

Tanpa merasa terganggu, Jibran tetap melanjutkan sarapannya, dan membiarkan Herlan yang sesekali ikut serta menyantap jatah nasi goreng untuknya itu.

•••

"Kira-kira ada keperluan penting apa, sampai saya kedatangan tamu spesial seperti kamu?"

Sang lawan bicara yang sedang memperhatikan area sekitar itu lantas menghentikan kegiatannya. Ia mendongak, menatap pada seseorang yang baru saja datang menghampirinya, orang yang mengutarakan sebuah tanya. Dan dirinya tidak bodoh, dapat ia tangkap sebuah sindiran dalam pertanyaan itu.

"Saya hanya ingin bertanya," jawabnya seraya menyalami tangan seseorang itu. "Tentang, masa lalu," lanjutnya pelan yang mengakibatkan sebuah lipatan pada kening orang dihadapannya.

"Masa lalu?" tanya seseorang itu mencoba memastikan, yang diberi jawaban sebuah kata 'ya' yang sangat pelan oleh si lawan bicara.

Memang iya, tujuan ia datang ke tempat seseorang itu memang hendak bertanya perihal sebuah masa lalu. Lebih tepatnya, kejadian di masa lalu.

"Saya tidak akan pernah mau menjawab pertanyaan apapun yang akan kamu tanyakan pada saya." Saat melihat orang di depannya akan beranjak, ia langsung memegang pergelangan tangan orang tersebut, mencoba menahannya agar tidak pergi.

Dapat dirinya rasakan, tangan itu sedikit gemetar. Dan ia tahu persis mengapa tangan tersebut bisa gemetar seperti itu. Sebab di hari-hari sebelumnya, ia juga sering mengalami hal yang serupa.

"Dari reaksi yang Anda tunjukkan, saya jadi semakin yakin. Jika Anda juga sering mengalami kejadian serupa seperti yang sering saya alami."

"Maksud kamu?" Kening itu terlihat mengernyit dalam, perasaan heran sekaligus rasa penasaran terlihat kentara di raut wajahnya. Namun hanya sesaat, karena seseorang itu langsung merubah rautnya ke semula. Seseorang itu tidak ingin terlalu memperlihatkan banyak reaksi pada orang di hadapannya.

"Mereka, sering datang kepada Anda. Benar?"

"Mengapa kamu bisa-bisanya menduga hal tersebut? Hanya karena reaksi yang kamu rasakan dari tangan saya?"

"Saya sarankan, kamu jangan sok tahu. Karena hanya saya yang ta---" lanjutnya yang harus terpotong oleh sebuah kalimat penuh penekanan yang dilontarkan orang itu.

"KARENA SAYA JUGA SELALU BEREAKSI SEPERTI ITU SETIAP TERINGAT MEREKA!"

"SIKAP ANDA YANG SEPERTI INI YANG MEMBUAT SAYA HARUS TERLIBAT BEGITU JAUH."

"Apa salahnya jika Anda mengakuinya, tidak perlu berbohong atau menyangkal semuanya terus-menerus. Karena percuma, semuanya akan terungkap pada akhirnya," lanjutnya dengan nada suara lirih.

Tanpa keduanya sadari, ada orang lain yang memperhatikan dan mendengarkan obrolan keduanya dengan raut wajah yang serius dan sarat akan keterkejutan.

"Apa mungkin, mereka?" monolognya sembari memijat bagian pelipisnya yang terasa berdenyut.

Jika semua yang dia pikirkan merupakan sebuah kebenaran, lantas apakah dirinya harus membeberkan semuanya atau memilih diam saja seolah tak tahu apa-apa?

Tapi, dalam relung hatinya yang terdalam. Dia berharap, apa yang terlintas dalam pikirannya bukanlah sebuah kebenaran.

 Dia berharap, apa yang terlintas dalam pikirannya bukanlah sebuah kebenaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gimana?

Menurut kalian mereka siapa?

[01/10/2024]

Something To Hidden || 00L NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang