Brak!
Itu Yahsa yang keluar dari ruangan sang papa dengan raut wajah menahan emosi.
Sepertinya, pembicaraan bersama papanya tidak berjalan dengan baik.
Di lain sisi, Hartanto hanya bisa memandangi kepergian sang putra dengan pasrah. Salahnya juga mengungkit kejadian masa lalu.
Ia mengambil sebuah foto polaroid yang tersimpan apik di dalam dompetnya, foto yang sering dirinya bawa kemana-mana, foto kebersamaannya bersama dengan isteri dan anaknya sewaktu Yahsa berumur lima tahun.
"Maafkan, Papa."
Dibawah foto tersebut, terselip sebuah foto lain yang membuat Hartanto menghela napas berat. "Saya juga minta maaf sama kamu," ucapnya dengan rasa bersalah yang mendominasi.
•••
"YAHSA!" pekik Herlan saat Yahsa baru saja memasuki kamar asrama. Ia langsung menghampiri pemuda jangkung itu, dan memeluknya dengan erat. Membuat Randika dan Jovan memutarkan bola matanya malas, sedangkan Jibran menaikkan sebelah alisnya saat menyadari raut tak bersahabat Yahsa.
Yahsa yang memang emosinya sedang tidak stabil, langsung mendorong Herlan agar melepaskan pelukannya, membuat Herlan terjatuh dengan cukup keras.
"NGGAK USAH PELUK-PELUK GUE!" bentaknya yang mengejutkan keempat temannya.
"Nggak usah bentak-bentak gitu dong," ucap Randika seraya membantu Herlan berdiri.
"Lo nggak papa kan? Nggak ada yang luka? Mana coba gue lihat pantatnya" tanyanya beruntun menatap teman hiperaktifnya itu khawatir. Sembari mengecek seluruh tubuh Herlan.
"Nggak papa njir, gue cuma jatuh doang," jawab Herlan menjauhkan tangan Randika dari tubuhnya.
"Lo kalau lagi emosi jangan ditahan, keluarin aja!" saran Jibran setelah menarik Yahsa keluar dari kamar, diikuti Jovan dibelakangnya.
Mendengar hal tersebut, tiba-tiba saja Yahsa melayangkan sebuah pukulan pada wajah Jibran. Membuat Jovan langsung mencoba menjauhkan Yahsa, namun Jibran menahan tangannya. "Biarin aja!"
Bugh!
"Anjing, pipi gue!" teriak Jovan saat pipinya ikut terkena bogeman.
Sekarang, bukan hanya Jibran yang menjadi sasaran, Jovan pun ikut serta.
Saat akan kembali melayangkan pukulan, Yahsa terhenti, kepalan tangannya tertahan di udara. Ia tersandar dengan apa yang dilakukannya. Dengan napas yang terengah, Yahsa menatap kedua temannya dengan tatapan penuh rasa bersalah.
"Sorry," lirihnya seraya mengusap wajahnya yang bercucuran keringat.
"It's okey, santai aja," balas Jovan sok santai, padahal tadi sempat teriak perihal kena bogeman.
Yahsa menarik tangan keduanya untuk memasuki kamar, dengan tergesa-gesa dirinya mengambil kotak P3K yang memang tersedia di setiap kamar asrama.
"Nggak usah buru-buru Sa! Kita nggak papa," peringat Jibran saat Yahsa akan terjatuh. "Lagian cuma bogeman satu kali nggak ada apa-apanya."
"Ya tetep aja, itu luka takut infeksi kalau nggak di obatin." Ia meneteskan cairan antiseptik pada kapas, lalu mulai membersihkan wajah Jibran tepat di area ia memberikan pukulan.
Randika yang sedari tadi memperhatikan pada akhirnya membantu Yahsa, ia membersihkan luka di wajah Jovan dengan kasar, membuat Jovan meringis beberapa kali.
"Pelan-pelan ege!"
"Lo kalau lagi ada problem cerita aja ke kita, kita siap dengerin kok," ucap Randika disela-sela mengobati luka di wajah temannya. "Lo juga boleh anggap kita saudara, kalau memang lo nggak leluasa untuk cerita karena kita cuman temen satu kamar lo."
"Gue sama Papa gue nggak pernah akur sejak kepergian Mama." Kalimat itu yang pertama terucap dari belah bibir Yahsa. Dari sana ia ceritakan beberapa hal yang membuat dirinya tidak bisa menahan emosinya jika sudah berhadapan dengan sang papa.
Randika, Jibran dan Jovan, begitupula dengan Herlan yang terduduk di kasurnya, mendengarkan cerita Yahsa dengan seksama. Tanpa ada niatan untuk memotong pembicaraan. Mereka hanya mendengarkan Yahsa mengeluarkan cerita disertai keluh kesah yang tanpa Yahsa sadari, dirinya ikut ceritakan.
"Gue sebagai orang luar, nggak bisa ikut campur setelah ngedenger semua cerita lo. Tapi, kalau lo mau berkeluh-kesah. Ada kita yang siap dengerin lo, ada kita yang selalu siap jadi sandaran lo."
"Sekarang gimana perasaannya setelah lo ngeluarin semuanya? Lega kan?"
Yahsa menganggukkan kepalanya. "Thanks." Matanya secara bergantian menatap keempat temannya, ada rasa lega dan senang yang tak bisa dirinya jabarkan.
Baru kali ini Yahsa menemukan teman-teman yang sepeduli ini dengan dirinya. Yang mau menerima dirinya tanpa ada maksud lain, seperti mengincar hartanya misalnya. Karena di sekolahnya yang dulu, kebanyakan orang yang peduli padanya, hanya karena mengincar apa yang dirinya punya, bukan tulus ingin menjadi sahabat yang nyata.
Sebenarnya, maksud dia yang tidak mau memberi tahukan identitas aslinya kepada keempat temannya juga karena itu, dia takut mereka hanya memanfaatkannya. Yahsa tidak mau lagi berteman dengan orang-orang munafik dan penjilat seperti di sekolahnya yang dulu. Maka dari itu, dirinya memilih jauh-jauh pindah dari Surabaya ke Jakarta karena ia sudah muak dengan semua yang disana.
Tiba-tiba saja dahi Yahsa mengernyit heran, saat melihat tatapan Herlan yang seolah takut kepada dirinya. "Kenapa Her?" tanyanya membuat ketiga lainnya mengarahkan tatapan mereka pada Herlan yang sekarang tengah merengut sebal.
"Dia takut sama lo Sa, karena tadi lo sempet dorong dia," beritahu Randika membuat Yahsa teringat akan ulahnya yang mendorong juga membentak teman sekamarnya itu.
Buru-buru Yahsa mendekati teman gemininya itu. "Ya ampun, sorry Her. Gue nggak bermaksud buat dorong sama bentak lo. Suerr!"
"Maafnya nggak akan diterima, sebelum lo traktir gue sepuasnya malam ini di taman kota," balas Herlan masih dengan ekspresi wajah yang sama. Dan hal tersebut membuat Yahsa terkekeh, sedangkan ketiga lainnya menggelengkan kepala. Mencari kesempatan dalam kesempitan, pikir mereka.
"Gampang itumah."
Karena kemarin aku udah janji mau double up, tapi baru bisa terlaksana sekarang karena ada beberapa kendala, semoga bisa dimaklumi. Silahkan geser ke slide setelahnya.
[13/09/2024]
KAMU SEDANG MEMBACA
Something To Hidden || 00L NCT
Mystery / Thriller[ON GOING] - [MYSTERY + HORROR] "Semuanya belum usai, semuanya harus terpecahkan!" • • Something to Hidden, berkisah tentang lima remaja laki-laki yang tinggal di sebuah asrama yang disediakan oleh tempat mereka menimba ilmu. Awalnya tidak ada keane...