CHAPTER 3

184 17 7
                                    

Dua minggu berlalu, pagi yang dingin menyelimuti kota saat Theo dan Aeris menempuh perjalanan menuju bandara. Mobil meluncur di jalan yang hampir kosong. Di dalam mobil, keheningan menyelimuti seperti kabut tebal yang tak kunjung hilang. Tidak ada kata-kata, hanya deru mesin dan detak jantung yang saling bersaing dalam kesunyian yang menyesakkan.

Setibanya di bandara, Theo memarkirkan mobilnya dengan hati-hati. Tanpa sepatah kata pun, ia turun dari kursi pengemudi dan menuju bagasi mobil. Aeris dengan ekspresi kosong dan hati yang campur aduk, keluar dari mobil dan mengikuti Theo.

Theo dengan tenang menurunkan barang-barang Aeris dari bagasi, meletakkannya di tanah dengan hati-hati. Kemudian ia membawakan barang-barang itu dan mengantar Aeris sampai di depan pintu keberangkatan. "Ini," ucapnya singkat, suaranya hampir tidak terdengar di tengah kebisingan bandara yang semakin ramai.

Aeris mengambil barang-barangnya, matanya menatap Theo tanpa kata. Theo membalas tatapan itu dengan kebingungan, dan mereka berdiri dalam keheningan yang tegang. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya pandangan penuh rasa yang mengambang di udara di antara mereka.

Theo akhirnya membuka mulutnya setelah waktu yang terasa lama. "Apa?" tanyanya, suaranya datar dan penuh kebingungan. Aeris merasakan sebuah keraguan di hatinya, seakan bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang patut diucapkan-kata-kata perpisahan, atau mungkin, nasihat atau sejenisnya.

Dalam hati, Aeris berbisik penuh amarah, Apa tidak ada yang ingin kamu katakan? Hati-hati, atau apapun itu? Namun Theo tetap diam, wajahnya menyiratkan kebingungan yang mendalam, tidak mampu menangkap nada hati yang ingin diungkapkan oleh Aeris.

Aeris merasakan frustasi yang semakin membesar, dan dalam hembusan nafas yang penuh kekesalan, ia berkata dengan nada ketus, "Tidak ada. Aku pergi."

Dengan keputusan yang tegas, ia berbalik dan melangkah meninggalkan Theo yang tertegun di belakang, seolah setiap langkahnya adalah sebuah langkah menjauh dari kenangan yang penuh luka. Saat ia menyusuri lorong menuju pintu keberangkatan, air mata mulai berkumpul di sudut matanya. Dalam bisikan lembut yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri, ia mengucapkan, "Sampai jumpa—ah, tidak... maksudku, selamat tinggal."

Theo, berdiri tegak dengan mata yang mulai memanas, menatap kepergian Aeris dengan rasa sakit yang terukir di wajahnya. Keheningan kembali menyelimutinya, namun kali ini, itu adalah keheningan yang penuh dengan penyesalan yang mendalam. Dalam kesendirian, ia hanya bisa merasakan beratnya kehilangan yang tidak bisa diungkapkan, sementara Aeris melanjutkan perjalanannya, meninggalkan semua yang pernah mereka miliki di belakang.

 Dalam kesendirian, ia hanya bisa merasakan beratnya kehilangan yang tidak bisa diungkapkan, sementara Aeris melanjutkan perjalanannya, meninggalkan semua yang pernah mereka miliki di belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Whuush... angin kencang membelai wajah Aeris, membuat tubuhnya bergetar karena rasa dingin yang menusuk. Dalam kebingungannya, ia tersadar. "Eh? Kenapa ada angin?" pikirnya, terjaga dari mimpi yang tidak biasa. Bukankah ia seharusnya berada di dalam pesawat?

Matanya terbuka perlahan, dan apa yang ia lihat mengundang ketidakpercayaan. Langit biru yang cerah, diiringi oleh suara gemercik air di sekitar. Ia menoleh ke samping dan mendapati dirinya terbaring di tepi danau yang tenang, dengan air yang berkilau di bawah sinar matahari. "Hah?! Ini di mana?" pikirnya. Kebingungan menyelimuti pikirannya. "Aku seharusnya berada di pesawat!"

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang